tanahindie | La Galigo dan Assikalabineang dalam Sarung Pedang Panjang
309
post-template-default,single,single-post,postid-309,single-format-standard,ajax_fade,page_not_loaded,,qode-title-hidden,qode-content-sidebar-responsive,qode-theme-ver-10.0,wpb-js-composer js-comp-ver-4.12,vc_responsive

La Galigo dan Assikalabineang dalam Sarung Pedang Panjang

 

Melihat judul dan nama penulis buku di atas, saya langsung memutuskan untuk membelinya saat pertama kali melihatnya terpajang di tumpukan buku yang berlabel ‘New Arrival’ di sebuah tokobuku. Saya selalu menyukai tulisan-tulisan Pimpinan Redaksi Cosmopolitan ini. Sebagian besar buku Fira Basuki sudah saya lahap, mulai dari Novel Trilogi [Jendela-Jendela, Pintu, Atap], Biru, Rojak hingga serial Ms. B; “Panggil Aku B!”, “Will U Marry Me!” sampai “Cool Cucumber”. Pemilihan judul ‘Kapitan Pedang Panjang’ saja sudah menawarkan hal baru dan menarik, jika melihat judul-judul buku Fira sebelumnya seperti yang saya sebut di atas.

Tengah malam, saya tak dapat tidur dan memutuskan untuk membaca novel yang sampulnya bergambar seorang pemuda bersurban menunggangi kuda sembrani itu. Kisahnya mengalir dengan lancar. Fira memilih penuturan cerita melalui dua diari, yaitu diari Laras Maharani Djagad, dan diari kakek Laras, Lelananging Djagad. Bagi saya, sebuah buku bagus adalah buku yang mampu membuat saya terus membacanya hingga tuntas. Dan saya melahapnya hingga habis tepat ketika adzan subuh bergema.

Saya membayangkan ‘Kapitan Pedang Panjang’kan laris dan mengalami cetak ulang. Dalam pembacaan satu malam itu, saya menemukan beberapa hal yang, menurut saya, perlu mendapat sedikit sentuhan ulang dari editor Grasindo yang menerbitkan buku bagus ini. Tulisan ini akan mengurai I La Galigo dan beberapa hal tersebut.

Selain kisah dan penceritaan yang renyah, hal lain yang membuat saya lahap mencerna novel ini adalah adanya epik mitos Bugis La Galigo [sureq Galigo ], Assikalabineang dan penggambaran beberapa bagian kota Makassar pada tahun 1944 dalam diari Lelananging Djagad. Melalui tokoh La Patau dalam diari Lelananging Djagad, Fira Basuki menulis bahwa pencetus karya sastra terbesar di dunia ini adalah I La Galigo putra Sawerigading [hal 65].

I La Galigo sebagai pengarang epik mitos La Galigo adalah anggapan Sir Thomas Stamford Raffles dalam History of Java [1817]. Pada buku itu Raffles, seperti yang dikutip dalam I La Galigo terbitan KITLV – Penerbit Djambatan Jilid I tahun 1995, menulis: “La Galiga, yang dikatakan orang putra Sawira Gading, dianggap sebagai pengarang kisah Sawira Gading… ” [Raffles 1817: Appendix F, hlm. CLXXXVIII]

La Galiga [atau La Galigo] sebagai pengarang epik mitos I La Galigo tidak ditegaskan oleh sumber lain. R.A Kern seorang ahli bahasa dan sastra Bugis, yang menyusun katalog-katalog yang terdiri dari ikhtisar-ikhtisar terperinci dari jumlah naskah La Galigo yang tersimpan di berbagai perpustakaan Eropa dan Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan, bahkan berpendapat bahwa hal itu tidak benar.

Adalah Benjamin Frederik Matthes, wakil Nederlandsch Bijbelgenootschap [Lembaga Alkitab Belanda] untuk Sulawesi Selatan, yang mula-mula tertarik mengumpulkan naskah I La Galigo ketika ia meneliti bahasa dan sastra Bugis. Matthes berpendapat pada mulanya ada cerita Galigo yang utuh, yang lama kelamaan ‘pecah’ dan tinggal beberapa fragmen.

Meski telah melakukan perjalanan ke daerah-daerah Bugis [Maros, Pangkajene, Tanete, Amparita hingga Lagusi di Wajo], Matthes tidak berhasil mengumpulkan seluruh Naskah La Galigo yang berserakan dan hidup sebagai budaya lisan masyarakat Bugis. Menurut Kern, jumlah halaman I La Galigo sendiri kira-kira mencapai 6000, setiap halaman folio mengandung sekitar 50 baris dimana setiap baris jumlah suku katanya antara 10-15. Berarti, seluruh cerita Galigo itu kurang lebih 300.000 kata baris panjangnya. Jauh melampaui epos India Mahabharata yang jumlah barisnya antara 160.000 – 200.000.

Oleh Christian Pelras, taksiran Kern di atas adalah lebih ke taksiran minimal. Dalam novel ini, Fira juga mengutip Pelras. Dalam halaman 70, Fira menuliskan, … –dikutip dari “Manusia Bugis,” Christian Pelras, Blackwell Publisher, 1996. Jika editor Grasindo jeli, harusnya sumber kutipan itu adalah “The Bugis”, judul asli “Manusia Bugis” yang diterjemahkan oleh Tim Penerjemah Ininnawa dan diterbitkan oleh Penerbit Nalar pada tahun 2005.

Pada halaman 64, Fira Basuki juga mengutip kisah petualangan I La Galigo sebagai pelaut hebat menjelajahi banyak negeri hingga ke Cina. Fira lebih memilih penggunaan ‘Tiongkok’ dibanding ‘Cina’. Penggunaan ‘Tiongkok’, tidaklah terlalu tepat karena hingga kini masih terjadi perdebatan, apakah daerah ‘Cina’ yang dimaksud dalam epik mitos itu adalah Cina Tiongkok atau sebuah daerah bernama Cina di wilayah Pammana Kab. Wajo sekarang, dalam kalangan peneliti epik mitos I La Galigo.

Mungkin saja, Fira meyakini pendapat kalangan yang percaya bahwa ‘Cina’ yang dimaksud adalah Tiongkok. Juga, bisa jadi Fira hanya mengikuti saran Gus Dur agar menggunakan kata Tiongkok sebagai pengganti Cina tanpa mengetahui perdebatan di mana letak Cina seperti yang dimaksud dalam epik mitos I La Galigo.

Satu lagi khasanah budaya Bugis yang diangkat oleh Fira dalam novel ini ialah Assikalabineang. Tokoh Lelananging Djagad menulis dalam diarinya; Laksmanana La Patau menghadiahiku buku terjemahanAssikalabineang atau kitab persetubuhan Bugis… [hal 71]. Sebagai sebuah buku, Assikalabineang:Kitab Persetubuhan Bugis barulah terbit pada tahun 2008, seperti yang dikutip sendiri oleh Fira pada hal. 73, jadi agak aneh bila buku tersebut dihadiahkan pada tahun 1944.

Assikalabineang adalah sistem pengetahuan masyarakat Bugis Makassar tentang hubungan suami istri dengan segala aspeknya, juga filosofinya, yang terdapat dalam manuskrip seks berhuruf lontara [aksara Bugis-Makassar]. Pengetahuan Assikalabineang ini dalam waktu cukup lama hanya dimiliki oleh kalangan elit. Adalah Muhlis Hadrawi yang melakukan penelitian akan teks-teks lontara assikalabineang ini sebagai tesis S2-nya. Tesis ini lah yang kemudian dibukukan dan diterbitkan oleh Penerbit Ininnawa dengan judul Assikalabineang: Kitab Persetubuhan Bugis. Jadi, Assikalabineang bukanlah buku terjemahan.

Selain kedua hal tersebut di atas, novel ini juga menggambarkan Makam Pangeran Diponegoro di Makassar. Bagian ini dibuka dengan kalimat: “Selama di Makassar aku lupa mengunjungi makam kakek moyangku, Pangeran Diponegoro,…” Editor novel ini sekali lagi tampak kurang jeli, karena cerita justru mengalir menggambarkan bagaimana Lelananging Djagad sowan di makam Pangeran Diponegoro [hal. 75-78].

Pun, pada hal 76, Fira menjelaskan letak makam ini yaitu; “… Kampung Jawa, tepatnya di Jalan Diponegoro, …” Penggunaan nama Pangeran Diponegoro sebagai nama jalan di mana makam putra Hamengkubuwono III ini pada tahun 1944 juga meragukan. Kemungkinan besar penggunaan nama-nama pahlawan nasional Indonesia sebagai nama jalan adalah setelah masa Negara Indonesia Timur atau bahkan mungkin pada era orde baru.

Ada dua hal lain yang juga mengganggu pembacaan saya yaitu adanya kesalahan penulisan nama tokoh pada hal. 230 dalam percakapan antara Bowo dan Laras. Dalam percakapan itu, tertulis Bowo menyebut lawan bicaranya dengan Astria [tokoh lain], padahal ia sedang bercakap dengan Laras. Hal ini terjadi dua kali dalam halaman tersebut.

Editor novel ini juga terkesan tergesa ingin menerbitkan novel ini, hal ini tampak pada tiga halaman akhir. Digambarkan tokoh Laras sedang berbicara dengan rekan kerjanya ketika ia menerima sms dari Rain. Lalu, mereka pergi ke sebuah tempat dan memesan minuman. Dan, tiba-tiba saja setting berpindah ke apartemen Laras tanpa ada tanda pemisah.

Mungkin, saya agak cerewet pada beberapa bagian, utamanya pada akurasi data. Novel ini memang hanyalah sebuah kisah fiksi, tapi sebuah karya fiksi haruslah tetap mengedepankan logika berpikir. Dan untuk bisa menggunakan logika yang baik, haruslah didukung oleh data yang akurat yang bisa diperoleh melalui riset. Hanya saja, dibutuhkan kesabaran dalam melakukan riset.

Terlepas dari semua yang saya uraikan di atas, novel Kapitan Pedang Panjang adalah sebuah novel bagus. Terlebih karena mengangkat khasanah budaya Bugis-Makassar dan budaya-budaya lain di dunia dan merangkumnya menjadi kisah yang sangat menarik. Dua jempol tuk Fira Basuki. [Mansyur Rahim]

No Comments

Post A Comment