tanahindie | Smart Box
421
post-template-default,single,single-post,postid-421,single-format-standard,ajax_fade,page_not_loaded,,qode-title-hidden,qode-content-sidebar-responsive,qode-theme-ver-10.0,wpb-js-composer js-comp-ver-4.12,vc_responsive

Smart Box

Catatan kali ini dari Dirga Sirajuddin, alumni Hubungan Internasional Universitas Hasanuddin. Ia menulis pengalaman mengenal komputernya kali pertama lebih reflektif. 

Sumber Gambar: www.feelthefunk.com

Smart box, mungkin seperti itu julukan dari saya buat benda yang satu ini. Bagi sebagian orang mungkin dia adalah jawaban atas segala pertanyaan ini, jawaban atas segala ke-instant-an masa kini atau bahkan jelmaan tuhan yang membuat segalanya menjadi mudah dan efektif untuk diselesaikan. Selamat tinggal dunia kemalasan, selamat tinggal waktu yang telah banyak terbuang semua segera akan menjadi lebih baik.

Saya  mengenal komputer saat saya masih duduk di kelas I SMP pada tahun 2001. Saya bersekolah di SMP Negeri 4 Makassar. Mata pelajaran teknologi informasi tepatnya yang memperkenalkan saya dengan benda tersebut. DOS Operating System itu yang pertama kali disebut guru pelajaran ini. Selanjutnya kami, para murid, diharuskan membeli satu disket kecil dan satu disket besar yang katanya berguna untuk menyimpan data.

Saya menyampaikan ini kepada orangtua saya agar segera memenuhi permintaan guru saya. Ayah saya pun membelikan saya disket kecil. Tapi ia juga mengatakan bahwa disket besar sudah tidak diproduksi lagi. Serentak saya pun merasa, apakah ini bentuk keterbelakangan saya atau perkembangan dunia yang memang cepat. Apapun itu saya tidak perlu. Yang terpenting pada masa itu saya masih dan harus tetap bermain dengan teman-teman di sekitar saya.

Singkat cerita, pertama kali saya memiliki benda tersebut yakni ketika memasuki bangku sekolah menengah atas. Itu pun bukan karena asas kebutuhan, melainkan pengaruh lingkungan sekitar dan takut tertinggal dengan teman-teman saya (mungkin lebih tepatnya hanya karena gengsi dan enggan dikatakan gaptek [gagap teknologi]). Untuk itu, orangtua saya harus menjual sepetak sawah miliknya di kampungnya, Palopo, sekitar 300 kilometer utara Makassar. Harapannya agar benda ini bisa membantu proses belajar saya. Namun tentu saja benda ini bukan tujuan kepemilikan untuk saya sendiri, tapi saya pakai berdua dengan kakak saya. Fungsi lainnya, benda itu furniture tambahan di dalam rumah.

Kehidupan saya pun berubah drastis sesaat setelah hadirnya benda tersebut. Budaya konsumerisme semakin melekat dengan saya. Saya hanya memikirkan bagaimana cara mempercantik atau pun memperbagus benda tersebut, baik secara isi maupun penampilannya. Waktu saya banyak terbuang di hadapan benda tersebut. Bukan untuk sesuatu yang lebih berguna melainkan hanya untuk memutar lagu, bermain game, menonton dan mengoleksi film biru (hal yang wajar untuk usia saya pada waktu itu), dan terkadang juga untuk mengetik tugas manakala guru mengharuskan menggunakan benda tersebut.

Banyak hal yg tanpa saya sadari berubah secara drastis. Saya tak pernah lagi keluar rumah untuk bermain dengan teman-teman saya. Saya hanya memikirkan bagaimana cara secepat mungkin untuk bertemu dengan benda tersebut. Bahkan sering saya harus berlomba pulang sampai ke rumah dengan kakak saya hanya untuk bertemu dengan benda ini. Dan konsekuensinya, yang kalah (karena terlambat pulang) harus mengantri sampai yang menang (si cepat pulang) puas bertemu dengan benda tersebut. Aneh kan!

Melangkah jauh ke depan, belakangan ini saya baru menyadari akan apa yg telah terjadi di kehidupan saya tentunya sangat mengkhawatirkan akibat dari benda ini. Bayangkan saja jika dulu ketika saya masih kecil dulu segala bentuk permainan tak akan nikmat jika tak dilakukan bersama. Dalam setahun dulu ada berbagai musim, seperti musim layangan, kelereng, wayang, bola gebo, permainan karet, main bom, petak umpet bahkan sampai musim sepeda terasa aneh jika dilakukan sendiri. Dalam setiap permainan tersebut kita diajarkan untuk kekompakan, kebersamaan, rasa memiliki, berkompetisi, dan sebagainya.

Namun seiring perkembangan yang diciptakan komputer, permainan rakyat di atas tak lagi populer bahkan terancam punah (ini merupakan bagian dari budaya). Segala sesuatunya harus dilakukan sendirian dengan jarak yang jauh. Sebut saja jaringan sosial yang marak sekarang ini, ia takkan nikmat jika memainkannya secara bergerombol dalam suatu ruang meskipun masing-masing personal memiliki benda tersebut.

Apatis? Mungkin itu yang akan terjadi jika dilakukan bersama. Kita tak perlu saling bertatap muka dan salaman lagi jika hendak berkenalan ataupun mengucapkan sesuatu (ucapan selamat sampai permohonan maaf).

Apakah ini merupakan suatu kemajuan atau kemunduran?

Bayangkan saja jika dalam sepuluh atau dua puluh tahun ke depan orang-orang yang tumbuh dewasa bukan lagi dari orang-orang yang hidup di zaman sebelum hadirnya komputer. Mungkin tepat juga kata Marcos, perang dunia keempat tengah berlangsung dengan cara yang berbeda. Anda tidak perlu menghancurkan manusianya, cukup menghancurkan sisi kemanusiaannya. [Dirga Sirajuddin]

Tags:
No Comments

Post A Comment