tanahindie | Membayangkan Merentang Benang dari Makassar ke Kota Lain
493
post-template-default,single,single-post,postid-493,single-format-standard,ajax_fade,page_not_loaded,,qode-title-hidden,qode-content-sidebar-responsive,qode-theme-ver-10.0,wpb-js-composer js-comp-ver-4.12,vc_responsive

Membayangkan Merentang Benang dari Makassar ke Kota Lain

Mari membayangkan, bila kita merentang seutas benang rajutan, sambung-menyambung, dari Lapangan Karebosi hingga Kota Maros, maka kita membutuhkan 70 gulung benang (segulung 350 meter). Nah, mari juga membayangkan benang itu dirajut menjadi kain. Jika kain tersebut dibalutkan ke sebatang pohon, maka gambaran yang bisa kita dapatkan adalah sebatang pohon mangga arum manis di depan Kampung Buku, Jalan Abdullah Daeng Sirua 192 E, Makassar, yang dibalut selama dua hari, 23-24 Juni 2012.

Pohon mangga di depan Kampung Buku. (foto: Anwar J Rachman)

Ragam warna itu adalah kain hasil rajutan Quiqui’—nama komunitas perajut di Kota Makassar. Para anggota Quiqui’ mengerjakan rajutan itu sejak dua bulan lalu. Aksi itu sebagai serangkaian Festival Rajutan Indonesia yang akan berlangsung di Bandung, 30 Juni – 1Juli 2012.

Quiqui’ dengan berani menyatakan bahwa itu adalah pola lain dari seni grafiti. ‘Grafiti benang’ namanya. Kalau disebut demikian, saya akan menjadi pendukung utama mereka. Saya membayangkan, benang itu akan melewati belokan, tanjakan, turunan, dan persimpangan yang ramai kendaraan ketika menuju Kota Maros. Dalam perjalanan perentang benang itu, mereka akan menyaksikan jalan rusak, pohon tumbang, dan baliho yang begitu marak dan dengan janji-janji mereka masing-masing.

Quiqui’ telah mengajak kita berpikir bersama terkait banyak hal yang terjadi di Makassar. Mereka telah menyatakan sesuatu yang luput kita pikirkan. Sebagai warga kota, anggota Quiqui’ juga memberi perhatian besar pada ranah kota dengan melakukan hal-hal sederhana.

Mari membayangkan kembali perjalanan benang tak putus itu menuju Maros. Benang rentangan itu akan melewati persimpangan Tol Reformasi dan Jalan Andi Pangeran Pettarani. Mari berhenti sejenak di ujung Kilometer 4 ini. Luruskan pandangan Anda ke selatan, ke arah Universitas Negeri Makassar. Apa yang terlintas di kepala kita?

Yang tampak bagi kita bisa jadi adalah ruas Jalan AP Pettarani, salah satu dari sekian jalan di Makassar yang paling sering direnovasi. Pemerintah melebarkan jalan ini satu dua tahun lalu. Belakang mediannya diperbaiki. Begitu selesai, entah kenapa, pembatas jalurnya diperbaiki lagi. Bahkan lebih parah; beberapa pohonnya malah ditebang!

Pohon yang tumbang di Jalan AP Pettarani. Foto direkam pada 11 Mei 2012. (foto: Anwar J Rachman)

Jalan AP Pettarani berada di sekisaran kawasan Kecamatan Panakkukang, daerah perdagangan barang dan jasa di Kota Daeng. Di sana berdiri megah ruang pamer agen mobil dan motor, swalayan, Kantor DPRD Makassar, juga sejumlah hotel. Setiap perhelatan berskala regional, nasional, dan internasional, jalan itu akan penuh dengan baliho dan spanduk. Jalan ini pun kerap diramaikan bendera-bendera partai. Belum lagi pariwara-pariwara produk yang juga dalam bentuk bentangan baliho. Kota terasa kian sesak bila jalan itu macet, utamanya di jam sibuk atau ketika hujan turun. Pikir-pikir, kok justru macet kalau hujan? Apa karena warga kota ini main hujan-hujan ya?

Pengelolaan jalan bagi saya sebagai cerminan bagaimana Pemerintah mengelola kota dan kabupaten di Sulawesi Selatan. Ini bukan skala Makassar saja. Di pusat kota kabupaten pun nyaris mengalami hal serupa. Bila Anda punya kesempatan jalan-jalan ke luar kota Makassar, Anda akan bertemu hal yang sama. Baliho dengan wajah tersenyum ramah mengenakan kemeja dan dasi akan menyambut laju kendaraan tumpangan Anda. Bentangan vinyl lain yang bergambar pria berpeci atau perempuan berkerudung seakan memberi takzim pada Anda sampai ke tujuan.

Suasana ini bukan gembung balon tanpa isi. Dalam berita-berita online maupun media cetak, baliho yang marak sudah sangat mengganggu. Di ruang maya twitter.com marak umpatan warga Makassar soal ini. Hal serupa terjadi di dalam media cetak. Teguran-teguran tentang ini sudah pernah dilayangkan. Kebanyakan baliho yang tampil ke umum itu tanpa stempel Dinas Pendapatan Daerah. Ini benar-benar ruang menunjukkan cengkeraman penguasa. Karena baliho-baliho yang tumbuh itu, ya gambarnya foto-foto siapa yang berkuasa masa sekarang.

Kembali, mari kita membayangkan benang itu harus sambung-menyambung, saling berkesinambungan. Begitu pula kiranya pembangunan. Perlu kajian matang dan memerhatikan segala segi kehidupan masyarakat. Baliho mutlak merampas ruang-ruang para pejalan kaki dan ruang-ruang lowong lainnya yang diperuntukkan bagi warga.

Sekarang apa yang tersisa? Mari coba merentang benang lagi dari Lapangan Karebosi dan ke kota lain. Apakah berbeda dengan yang kita saksikan?[Anwar Jimpe Rachman]

No Comments

Post A Comment