tanahindie | Mengenalkan Shin Hyeongman
188
post-template-default,single,single-post,postid-188,single-format-standard,ajax_fade,page_not_loaded,,qode-title-hidden,qode-content-sidebar-responsive,qode-theme-ver-10.0,wpb-js-composer js-comp-ver-4.12,vc_responsive

Mengenalkan Shin Hyeongman

SAYA tak pernah membayangkan seseorang berangkat ke negeri lain untuk waktu lama tanpa bekal bahasa. Tapi Shin Hyeongman menjadi pengecualian. Pemuda dari Gwangju ini kemudian sampai di Makassar, ketika tiba tanggal kedatangannya, seperti pesannya lewat Facebook.

Kami menjemputnya di Bandara Hasanuddin sore pertengahan Juni tiga bulan lalu. Kami katakan padanya bakal telat tiba sebab simpangan tol-Bandara macet parah. Itu juga masih lewat Facebook.

Gelagat kendala bahasa mulai terbaca ketika Shin menelepon dengan kalimat yang tidak selesai, “How many…?”. Pertanyaan tak rampung ini diulangnya tiga kali. Mungkin ia mau tanyakan berapa lama lagi kami tiba di Bandara. Belakangan kami tahu ternyata ketika itu dia kena marah petugas bandara. Agaknya karena Hyeongman hanya bercakap dalam bahasa Korea ke petugas informasi.

Tapi lupakan. Hyeongman sudah aman. Yang kami tahu ketika itu, ia baru saja tiba dari perjalanan jauh. Jadi kami mengantarnya ke warkop menikmati semerbak kopi Toraja, semacam sambutan selamat datang.

Program residensi pun dimulai begitu kami tiba di Kampung Buku. Beberapa mahasiswa dan seorang alumni jurusan Hubungan Internasional Unhas yang mempelajari Bahasa Korea datang membantu menerjemahkan. Namun satu yang pasti begitu pertemuan itu selesai: saya harus mengunduh aplikasi Google Translate.

Kedatangan Hyeongman berawal dari Andan yang bertemu dengan salah seorang pegiat komunitas seniman di Korea Selatan untuk mengirim rekannya beresidensi di Indonesia.

Dalam obrolan saya sebelumnya dengan Andan, kami juga berusaha melihat kemungkinan bagaimana proyek residensi juga bisa menjajal Kota Makassar. Selama ini, kabar tentang itu baru satu sepengetahuan saya, yakni Gertjan Zuihof (Belanda) yang beresidensi 30 hari di Rumata Artspace.

Rasanya pertukaran pengalaman jelas sesuatu yang penting bagi siapa pun, mulai dari soal metode bekerja sampai sudut pandang.

Selama tiga bulanan masa residensi ini sebenarnya ada beberapa orang yang menjadi “korban”. Di hari pertama kedatangan Hyeongman, teman (tak perlu saya sebut namanya) yang membantu menjemput Hyeongman sudah patah hati duluan. Rupanya, orang Korea yang akan kami jemput berjenis kelamin laki-laki. Bukan perempuan, seperti harapannya dan sebagaimana yang ia sering saksikan lewat film-film produksi Korea Selatan.

Tapi dua bulan setelahnya, giliran saya patah hati. Tak lama, Shin Hyeongman juga begitu. Saya hanya kiasan. Dia tidak.

Saya dan rekan-rekan di Kampung Buku masih menyayangkan mengapa ia datang ke Makassar dengan bekal bahasa Inggris yang teramat sedikit. Begitu banyak kerja bersama yang bisa dilakukan kalau saja bahasa bukan kendala. Tapi tentang itu, menurut obrolan Hyeongman dengan seorang teman, ia bertekad kembali ke kampungnya dan segera kursus bahasa Inggris. Ia berencana ke Makassar lagi tahun depan.

Lewat pameran The Makassar Impression inilah (rasanya) Hyeongman akan menjelaskan perasaan-perasaannya selama berinteraksi dengan kota ini dan manusia yang hidup di dalamnya, juga perihal yang membuatnya ingin kembali.[]

Anwar Jimpe Rachman

31 Agustus 2014

 

No Comments

Sorry, the comment form is closed at this time.