tanahindie | Gerobak Bioskop Dewi Bulan: Kota Dalam Film Vol. 1
142
post-template-default,single,single-post,postid-142,single-format-standard,ajax_fade,page_not_loaded,,qode-title-hidden,qode-content-sidebar-responsive,qode-theme-ver-10.0,wpb-js-composer js-comp-ver-4.12,vc_responsive

Gerobak Bioskop Dewi Bulan: Kota Dalam Film Vol. 1

 

DB Agustus copyProgram reguler bulanan Rumah Budaya Tanahindie, Gerobak Bioskop Dewi Bulan, datang telat untuk bulan Agustus ini. Yah, semangat Dewi Bulan yang senantiasa beriringan dengan purnama setiap bulannya diadakan di akhir bulan, ketika langit malam seolah menelan bulan, tiada sisa.

Tentu saja kami, tim penggiat selalu berusaha memberikan sajian ketika purnama. Agustus bukannya akan alpa. Kali ini berbagai hal menjadi alasan sehingga kita tidak ditemani purnama atau sesungging bulan sabit ketika layar dikembangkan. Adanya dukungan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia menjadi alasan utama. Kami melakukan penyesuaian agar semua agenda bisa berjalan lancar.

Penyematan tema obrolan khusus untuk edisi ini adalah dalam rangka meluaskan isu perkotaan yang selama ini menjadi salah satu perhatian utama Rumah Budaya Tanhindie. Kemungkinan di waktu-waktu mendatang, tema ini akan bertahan dalam perjamuan Dewi Bulan. Kita akan saling mengobrol, berbagi teh, kopi dan menikmati kota, dalam film.

Membutuhkan waktu bagi kami bisa sampai menentukan untuk membincangkan kota dalam film. Pada awalnya, berbagai hal dikumpulkan saja sehingga ketika beberapa hal tersedia, semuanya bisa diramu. Kumpulan selalu menemukan bentuk, membentuk. Keterkaitan berbagai kegiatan yang selama ini kami jalani menemukan beberapa titik pertemuan. Seolah sungai, pertemuannya selalu menkjubkan.

Film, sebagai sebuah kesatuan multi dimensi niscaya memiliki dimensi keruangan di dalamnya. Sisi ini kerap menjadi arsiran yang menampilkan kota, secara fisik, secara keruangan, secara imaji. Belum lagi dimensi psikologis, tema maupun sub tema dari film, kerap menampilkan kesan mental maupun sekadar gejala psikososial kota. Silangan yang bukan sengkarut, sebagaimana film adalah seperangkat pesan yang sangat bermaksud. Sisi sempit inilah yang coba dibesarkan dalam obrolan.

Pijakan di atas jugalah yang mengarahkan pada dua film untuk dinikmati dalam dua hari.

The Best Exotic Marigold Hotel, film lintas budaya ini menampilkan relik dan ornamen yang begitu khas dari dua ruang perkotaan yang berbeda. Awal film dilatari suasana perkotaan yang statis, hal yang menjadi ciri kebanyakan kota-kota di Eropa, tepatnya di Inggris. Tampilan keruangan ini dibarengi dengan kompleksitas masyarakatnya, potret yang begitu nyata merepresentasi kenyataan sebenarnya. Latar ini saling berkontras dengan suasana kota-kota India dan potret masyarakatnya, latar dominan film.

Hari kedua, Broken City, film yang dilatari ruang metropolitan. Sejenak kita tinggalkan keruangan kota dalam film ini, teropong kita arahkan pada bagaimana representasi kekuasaan yang melatari banyak interaksi sosial dari sebuah kota. Seperti cermin, sebenarnya sangat common sense bagi kita, masyarakat Indonesia.

Obrolan kita untuk hari pertama akan ditemani oleh Irwanto Hamid, sutradara independen Makassar. Edy Djunaedy, pakar produksi visual akan menemani untuk hari kedua.

Mari merayakan kebersamaan. Selamat menikmati

 

No Comments

Sorry, the comment form is closed at this time.