tanahindie | Shopping di Jejaring Sosial
292
post-template-default,single,single-post,postid-292,single-format-standard,ajax_fade,page_not_loaded,,qode-title-hidden,qode-content-sidebar-responsive,qode-theme-ver-10.0,wpb-js-composer js-comp-ver-4.12,vc_responsive

Shopping di Jejaring Sosial

Nindya Karlina, perempuan mungil yang suka barang kerajinan. Nindya yang berkuliah di Jurusan Arsitektur Universitas Hasanuddin merupakan salah seorang pengguna internet untuk keperluan belanja kebutuhan dan minatnya. Berikut ini ia membagi pandangannya tentang budaya belanja daring (dalam jaringan/online).

Kutipan gambar dari: http://lapar.com

A : Barangnya ready stock ya sist?

B : Ready sist. Berminat?

A : Ia. Ongkir ke Mks berapa?

B : 20rb. No. rek saya PM ya sist

A : Sudah saya transfer

B : Ok 😀

A : Barangnya sudah sampai. Makasih ya

B : Ia. Sama-sama 😀

(sumber: facebook.com)

Percakapan di atas merupakan contoh proses transaksi dalam kegiatan jual beli yang memanfaatkan adanya jejaring sosial Facebook. Pada zaman sekarang ini hampir semua orang sudah akrab dengan jaringan ini. Anak kecil sekali pun sudah memiliki akun di salah satu jejaring sosial. Sebut saja, yang paling dikenal saat ini, Facebook, Kaskus, Friendster, dan Twitter.  Hal ini tidak bisa lepas dari sebuah mesin canggih yang disebut komputer.

Padahal jika kita menengok ke beberapa waktu yang lampau, komputer merupakan salah satu barang mahal dan sangat jarang masyarakat yang memilikinya. Namun sekarang berkat perkembangan teknologi yang begitu pesat, komputer telah memiliki sistem OSyang lebih canggih sehingga siapa pun pun bisa mengoperasikan komputer. Dan dengan adanya persaingan dari banyak vendor, maka komputer saat ini tersedia dengan range harga yang beragam sehingga siapa pun bisa memilikinya.

Jejaring sosial sebenarnya sudah lama merebak di tengah-tengah masyarakat khususnya masyarakat Indonesia. Kaskus sudah mulai dipergunakan sekitar pertengahan tahun 1990-an. Kemudian sekitar tahun 2000-an, masyarakat mulai mengenal Friendster danmySpace namun keberadaannya mulai tersingkirkan dengan adanya facebook yang memiliki aplikasi yang lebih beragam dan menarik. Namun saat ini jejaring social Twitter sudah mulai menguasai eksistensi jejaring-jejaring sosial yang ada dikarenakan beberapa keunggulan yang dimilikinya.

Pada tahun 2012 masyarakat Indonesia sebagai pengguna facebook berada di urutan ke-3 setelah Amerika Serikat dan India dengan sekitar lebih dari 43 juta pengguna (sumber: tempo.com) dan berada di urutan ke-5 dengan 19.5 juta pengguna twitter (sumber:media.kompasiana.com). Hal ini tidak terlepas dari sifat masyarakat yang haus akan informasi terbaru, kebutuhan akan kemudahan dalam berkomunikasi, dan juga sifat konsumtif dari masyarakat itu sendiri sehingga telah menjadi bagian dari gaya hidup. Hal seperti inilah yang mulai dicoba untuk dimanfaatkan para pelaku pasar dalam menjaring konsumen dengan menggunakan jenis marketing baru yang disebut New wave Marketing.

New Wave Marketing sesungguhnya merupakan dekonstruksi terhadap pendekatan marketing tradisional yang bersifat “vertikal”(yuswohady.com). Sifat vertikal yang dimaksud adalah cara pemasaran yang bersifat satu arah yaitu dengan melalui iklan yang menggunakan media massa seperti televisi, radio, koran untuk penyampaiannya. Hal ini menyebabkan tidak memungkinkan terjadi interaksi yang intens antara pelaku pasar dengan pihak konsumen. Dari segi biaya juga tergolong saat mahal, muali dari biaya pembuatan iklan sampai biaya pemuatan atau penayangan iklan tersebut. Hal ini biasa diistilahkan ”high budget low impact”. New Wave Marketing lebih bersiafat horizontal dengan kata lain bersifat dua arah. Sistem pemasaran ini memiliki keunggulan antara lain bersifat interaktif antara penjual dan pembeli dan berbiaya rendah tapi memiliki efektifitas tinggi atau disebut juga dengan ”low budget high impact”.

Kegiatan jual-beli melalui jejaring sosial memiliki dampak positif dan negatif baik pada penjual maupun pembeli. Secara tidak sengaja, ketika sedang online  di facebook saya menemukan satu komunitas online shop yang mewadahi para online shopper dan juga parabuyer. Tujuan utama dari komunitas ini selain untuk ajang silaturahmi antar sesama penjual maupun antara penjual dan pembeli, sekaligus meminimalisir penipuan-penipuan yang mungkin terjadi. Dari beberapa diskusi yang terjadi di komunitas ini, saya mendapatkan beberapa informasi mengenai keuntungan dan juga kekurangan ketika berjual-beli di jejaring sosial.

Bagi penjual keuntungan yang dapat diperoleh secara langsung yaitu dari segi biaya. Penjual dapat memangkas habis biaya tempat dan biaya promosi. Mereka menjula barang dagangan hanya bermodalkan sebuah perangkat computer atau laptop dan modem yang berisikan pulsa untuk koneksi internet. Dengan berjamurnya kafe dengan fasilitas Wi-Fi maka biaya untuk pulsa modem pun dapat dipangkas. Hanya dengan membeli minimal segelas minuman di kafe tersebut, kita pun dapat online gratis sampai puas.

Sekarang ini juga dikenal penjualan dengan sistem dropship. Sistem ini sangat memungkinkan penjual tidak memerlukan modal sepeser pun untuk berjualan. Penjual tinggal mencari akun yang dapat bertindak sebagai supplier kemudian penjual hanya mempromosikan produk di akunnya dengan menaikkan harga yang disepakati dengan supplier sebagai untung yang diperoleh si penjual. Jika ada yang berminat membeli maka yang mengurus proses transaksi dengan pembeli adalah si penjual tadi. Setelah produk terbeli alias pembeli telah mentransfer sejumlah uang ke penjual, maka penjual kemudian mentransfer uang kepada supplier sejumlah harga yang telah disepakati tadi dan telah dipotong dengan keuntungan bagi si penjual. Kemudian sang supplier pun langsung mengirimkan barang ke alamat pembeli dengan atas nama si penjual.

Di lain pihak, keuntungan bagi si pembeli yang dapat langsung dirasakan yaitu tidak perlu keluar rumah untuk berbelanja. Para pembeli bisa dengan bebas memilih produk apapun yang diinginkan ataupun sekadar cuci mata tanpa perlu merasa tidak enak kepada penjual. Barang yang dijual secara online biasanya unik dan jarang didapatkan di pasaran serta tidak jarang dari segi harga juga lebih murah.

Ketika pertama kali saya berbelanja online, waktu itu saya secara iseng membuka album foto sebuah online shop. Di situ saya melihat-lihat produk yang mereka jual. Produk tersebut unik dan dengan harga yang murah. Saya pun tertarik. Tapi sebelum membeli produk tersebut saya bertanya dahulu tentang beberapa spesifikasi dari produk tersebut dan juga membaca komentar-komentar calon pembeli lainya untuk meyakinkan saya. Setelah cukup yakin barulah saya berani untuk deal dengan online shop tersebut. Setelah deal,kemudian saya mentransfer sejumlah uang dan tidak lebih dari tiga hari barang tersebut sudah sampai di rumah saya dengan menggunakann jasa ekspedisi. Saya takjub saat pertama kali berbelanja secara online dan menyadari bahwa di zaman sekarang ini begitu mudahnya orang berbelanja. Pernah juga suatu ketika berbelanja secara online, rasa kecewa juga pernah saya rasakan. Waktu itu barang yang saya beli tidak semirip foto yang ada akan tetapi saya juga menyadari bahwa itu adalah bagian dari risiko yang harus saya terima.

Kegiatan jual-beli di jejaring sosial yang harus diingat yaitu dibangun berdasarkan sistem kepercayaan. Tanpa adanya rasa percaya dari pembeli terhadap penjual maupun sebaliknya maka proses transaksi pun tidak dapat terjadi. Kedua pihak juga harus sudah memahami risiko dari proses transaksi tersebut. Sehingga tidak ada pihak dirugikan. Saat ini komputer tidak hanya sekadar sebuah alat yang digunakan untuk menbantu pekerjaan manusia dan sebagai sarana hiburan tetapi juga sebagai alat untuk mata pencahariaan. [Nindya Karlina]

No Comments

Post A Comment