13 Apr Passerpis Hempong; Makkomputer Hingga Ke Malangke
Siapa bilang komputer hanya diperlukan oleh kalangan kampus atau pegawai kantoran? Perangkat canggih untuk data processing ini rupanya tidak hanya digunakan di ruang kelas, kost-kostan atau kantor ber-AC, tapi juga dengan mudah ditemukan di kios-kios pinggiran jalan. Maraknya pemakaian telepon genggam sejak awal dekade 2000-an menumbuh-suburkan ceruk usaha sampiran di industri ini: menjadi passerpis hempong. Bahkan nun jauh hingga ke Malangke’.
Ini bukan pengalaman saya pribadi tentang perkenalan awal dengan Komputer, saya hanya meminjam latarnya dimana saya terlibat hanya sebagai orang kedua atau ketiga. Sebetulnya, ini cerita tentang sepupu-sepupu saya di Palopo yang mencoba turut riuh dengan teknologi canggih ini.
Di awal-awal tahun 2000-an, ketika teknologi telepon genggam tidak secerdas saat ini, telepon hanya berfungsi a la kadarnya; sebagai perangkat penerus komunikasi suara dan pesan singkat, sesekali juga menjadi perangkat hiburan dengan games sederhana atau lagu/video berdurasi singkat di dalamnya. Meski tak seberapa cerdas, telepon ini tetap membutuhkan penanganan cerdas dari ahlinya ketika suatu waktu bermasalah. Pemilik handphonebermasalah umumnya tak berani mengutak-atik sendiri karena ketakmengertian soal teknis perangkat itu, khawatir akan malah semakin error. Mereka lebih memilih menyerahkan urusan ini ke ahlinya. Pemeo “Serahkan ke ahlinya” meminjam jargon sesumbar gubernur ibukota saat itu, rupanya menjadi pemicu tumbuh suburnya ceruk usaha baru di Palopo: menjadi Passerpis hempong – pengucapan populer di lidah penutur bugis untuk teknisi handphone!
Telepon-telepon genggam yang diperjual belikan di Palopo dan sekitarnya lazimnya adalah telepon-telepon bekas atau lebih populer sebagai handphone seken. Telepon genggam baru hanya dimiliki oleh orang-orang berkocek tebal, dan setelah bosan dan mulai tergiur dengan keluaran terbaru, handphone lama akan dilego ke lapak-lapak penjual handphone yang marak tersebar hingga ke mulut lorong. Lazimnya barang bekas, telepon genggam jenis seken ini juga rentan dengan masalah; layar yang tiba-tiba gelap, suara yang tak jelas seperti frekuensi radio amatiran, tombol keypad yang tak berfungsi, tak bisa ter-cas (bhs inggris: charged) secara sempurna, atau hang tiba-tiba -meminjam istilah komputer.
Menjadi Passerpis hempong tentu beda dengan teknisi elektronik lainnya. Tak hanya butuh alat solder, obeng atau adaptor untuk mengutak-atik perangkat, tapi juga butuh komputer untuk merambah perangkat lunak telepon genggam yang sedang “sakit” itu. Dengan menghubungkan handphone ke komputer yang sudah terinstall dengan berbagai software untuk membenahi system yang ada di dalam handphone tersebut, konon masalah bisa dengan mudah teridentifikasi.
Suatu ketika di tahun 2006, saya dan kakak saya menerima pesan singkat di handphone. Sepupu saya, Anto memohon bantuan dana untuk membeli seperangkat komputer yang akan digunakan sebagai modal menjadi passerpis hempong. Tak tanggung-tanggung, Anto menyebutkan spesifikasi komputer yang saat itu terbilang canggih: Pentium III dengan berbagai assesorries multimedia nya. Pesan dibalas, kami menanyakan apa perlunya komputer secanggih itu untuk memperbaiki handphone di Palopo? Tapi Anto bersikukuh bahwa komputer yang canggih diperlukan untuk meng-install software program-program yang akan digunakan untuk memperbaiki system handphone. Juga, dimaksudkan untuk menyimpan lagu-lagu dan games yang juga akan dijual sebagai usaha sampingan selain perbaikan handphone.
Alhasil, bantuan diberikan dan Anto kemudian membuka lapak kecil di salah satu sudut jalan di Palopo bersama La Muli, salah satu keponakan kami yang kebetulan terjun di usaha yang sama. Anto menjadi passerpis hempong, sementara La Muli berjualan handphone seken dan assesoriesnya seperti casing, sarung handphone, baterei, lampu dan sebagainya. Modal dikumpulkan parohan, termasuk juga pembelian komputer.
Anto, sepupu saya berumur 30tahun yang hanya tamatan SD ini, tak pernah bersentuhan dengan komputer sebelumnya. Sebelum menikah dan punya dua anak perempuan, ia bekerja serabutan; dari penjual arloji di pasar Palopo, hingga menjadi buruh tambang di Kalimantan. Pada suatu kesempatan, ia menetap di rumah kami di Bogor selama enam bulan di tahun 2004. Selain membantu kakak saya yang sedang merintis usaha furniture, Anto juga menyempatkan diri mengikuti kursus teknisi handphone di Rawamangun Jakarta. Dengan biaya kursus sebesar Rp 1,200,000, Anto punya kesempatan belajar langsung tiga kali seminggu ke teknisi berpengalaman, termasuk mengoperasikan komputer untuk dihubungkan dengan handphone yang rusak.
Lepas belajar selama enam bulan, Anto meminta diri untuk pulang ke Palopo. Di sana, dia membuka usaha passerpis hempong. Dari usaha inilah, Anto kemudian intens bersentuhan dengan Komputer. Meski tak begitu paham bahasa inggris, tapi dengan kebiasaan meng-klik tombol-tombol yang tertera dalam bahasa asing itu, ia menjadi mahfum beberapa istilah komputer. Komputer kemudian tak hanya menjadi “kendaraannya” untuk mengeruk nafkah, tapi juga menambah pemahamannya tentang teknologi yang lebih akrab dengan akademisi atau usahawan formal.
Sepupu saya yang lain, La Tare’ juga berprofesi sebagai passerpis hempong. Dia tidak membuka kios sendiri, hanya menitip “menerima panggilan” ke beberapa kios penjual handphone kenalannya sekira ada pelanggan yang membutuhkan jasanya. Meski tak punya latar belakang khusus sebagai teknisi handphone sebagaimana Anto, tapi La Tare’ sudah cukup lama ‘menggeluti’ isi perangkat komunikasi itu. Berbekal dari pengalaman membongkar pasang handphone-handphone rusak, dia menjadi paham bagaimana memperbaikinya. Terkadang, ia hanya menepuk-nepukkan handphone pasien itu ke telapak tangannya dan beres; duit 10ribu rupiah kemudian berpindah ke tangannya.
Anshar, kakak La Tare’ juga kepincut untuk menjadi passerpis hempong disamping profesi utamanya sebagai tukang reparasi TV dan Radio di Malangke, sekitar 2jam naik motor ke utara Palopo. Di tahun 2008 adik saya menghibahkan laptop bekasnya ke Anshar yang katanya akan digunakan untuk memperbaiki handphone dan (juga) televisi. Meski kebingungan dengan permintaan ini, adik saya tetap mengirim perangkat komputer itu ke Makassar untuk dibawa oleh Anshar ke Malangke. Di Malangke, laptop itu kemudian menjadi rongsokan karena tak terawat dengan baik.
****
Sejak telepon genggam pertama kali dibuat oleh Martin Cooper, seorang karyawan Motorola pada tanggal 03 April 1973, teknologi ini mengalami momentumnya di tahun 2002. Pada tahun ini BlackBerry 5810 diluncurkan dengan fitur games, headset dan email. Nokia 7650 dengan games, built-in kamera, 4.096 warna serta 30 pilihan ringtone juga mulai beredar. Beberapa ponsel2 canggih ini juga telah berintegrasi dengan Java yang memungkinkan games diunduh ke handphone. Juga fitur musik dengan lagu-lagu berformat mp3 bisa didengarkan dengan resolusi tinggi.
Oleh produsennya, telepon genggam baru dikemas berbentuk kotak (kits box). Di dalam kotak ini dilengkapi dengan headset, charger, kabel data, buku petunjuk dan CD berisi program yang bisa diunduh ke handphone. Keberadaan CD inilah yang kemudian juga memicu para passerpis hempong untuk melengkapi dirinya dengan komputer.
Hingga kini, komputer seperti menjadi barang wajib di kios-kios penjualan dan perbaikan handphone. Selain digunakan untuk perbaikan dan installasi program, komputer juga lebih banyak berfungsi untuk download nada dering, lagu dan games. Dengan tarif macam-macam dari Rp 3000 per lagu dan Rp 15,000 per games, usaha ini cukup laris manis hingga kemudian mulai berkurang sejak lagu-lagu mp3 bisa diunduh langsung dari internet.
Bisa dikatakan bahwa teknologi handphone ini cukup membantu para passerpis hempongyang umumnya hanya tamatan SMA untuk kemudian ikut mengenal dan melek computer. [Daeng Rusle]
daengrusle
Posted at 06:00h, 17 Aprilkurru sumange’ atas pemuatannya.
tuantanah
Posted at 17:07h, 17 Aprilsama-sama, daeng. menuliski lagi…