tanahindie | Komputer, Dari Pacman ke Twitter
240
post-template-default,single,single-post,postid-240,single-format-standard,ajax_fade,page_not_loaded,,qode-title-hidden,qode-content-sidebar-responsive,qode-theme-ver-10.0,wpb-js-composer js-comp-ver-4.12,vc_responsive

Komputer, Dari Pacman ke Twitter

Gambar PC buatan IBM (sumber gambar dari sini)

Saya masih SMP kala itu, sekitar tahun 1991. Seorang kawan sekelas, anak dari seorang pejabat di PLN mengajak kami ke rumahnya selepas jam sekolah. Ada komputer katanya. Kami tentu saja girang. Sekumpulan anak kampung yang tidak tahu apa itu komputer meski pernah mendengarnya dari banyak sumber.

Selepas jam pelajaran sekolah, beranjaklah kami ke rumah teman yang berada dalam kompleks PLN. Sebuah benda kotak berwarna krem terletak di atas meja. Di atas benda itu ada sebuah benda lain yang mirip dengan televisi 14 inci. Di depannya sebuah benda persegi panjang dengan banyak tombol kecil huruf dan angka. Inilah komputer, kata teman saya.

Dia memencet sebuah tombol di kotak krem yang pertama, memasukkan sebuah benda tipis ke dalamnya. Tak lama layar itu menyala dan menampilkan gambar hitam. Saya dan teman lainnya hanya menatap, mungkin menatap kagum atau penuh tanya. Saya sudah lupa. Yang saya ingat, hari itu kami diberi kesempatan menyentuh benda bernama komputer itu, memainkan sebuah permainan. Namanya Pac Man. Dalam permainan sederhana kita harus mengontrol sebuah karakter berbentuk bola yang memakan banyak benda dalam sebuah labirin.

Itulah persentuhan pertama saya dengan komputer. Sebuah benda yang kala itu masih sangat jarang ada di Makassar, bahkan mungkin di Indonesia. Setelah persentuhan pertama itu, saya butuh waktu sekitar 4 tahun sebelum kembali menyentuh komputer dengan intens. Dalam rentang waktu itu beberapa kali saya sempat menyentuhnya. Seorang kerabat dekat yang hobi mengutak-atik barang elektronik rupanya sering mendapat orderan memperbaiki komputer. Beberapa kali ketika saya berkunjung ke rumahnya saya dapat kesempatan menyentuh komputer. Dan Pac Man selalu jadi pilihan.

Belajar Ws7 dan Lotus123

Almarhum Bapak membawa pulang seperangkat komputer empat tahun kemudian. Komputer itu milik sekolah tempat Bapak bekerja, dibawa pulang selepas diperbaiki dan kebetulan sekolah sedang masa libur. Saya dan adik-adik saya tentu saja menyambut gembira. Kami bisa memuaskan diri bermain Pac Man dan beberapa game lain. Sayang saya tidak tahu apa spesifikasinya. Yang saya ingat hanya kita harus punya sebuah disket besar sebagai medium agar komputernya bisa dipakai.

Urutannya, masukkan disket besar sebelum menyalakan komputer. Komputer akan menyala dan sistem operasinya akan mulai membaca data yang tersimpan di dalam disket besar. Setelah itu untuk mengoperasikan perangkat lunak yang kita inginkan kita harus memasukkan lagi disket yang lain sesuai perangkat lunak yang kita inginkan. Memang agak repot karena kita harus punya banyak disket yang waktu itu masih besar untuk bisa menikmati perangkat lunaknya.

Semua operasi dilakukan dengan mengetikkan beberapa perintah di papan kunci. Tetikus (mouse) belum ada kala itu. Tidak heran perintah seperti: CLS, CD, CD, DIR, dan lain-lain adalah perintah yang harus dihapal dalam operating system berbasis DOS.

Waktu almarhum Bapak tidak hanya memberi kesempatan kepada kami untuk bermain game di komputer. Beliau juga mengajarkan saya mengenal WS7, sejenis perangkat lunak pendahulu Microsoft Word dan belajar Lotus 123, perangkat lunak pendahulu Microsoft Excel. Kata Bapak, saya bisa menangkap dengan cepat semua ajarannya dan bisa membuat satu halaman ketikan yang rapi serta beberapa perhitungan sederhana dengan menggunakan Lotus 123.

Persentuhan saya dengan komputer makin intens selepas itu. Di ujung masa sekolah di sebuah STM di Makassar, saya sempat lama bersentuhan dengan komputer. Kala itu saya dan teman-teman satu kelompok harus membuat laporan tentang kegiatan Praktek Kerja Lapangan ( PKL ) dan Bapak membawa kami ke laboratorium komputer di sekolah tempatnya bekerja. Di sanalah saya dan teman-teman sekelompok intens mengetik laporan dan belajar cara mencetaknya menggunakan printer merek Epson yang entah seri berapa. Saya hanya ingat suaranya yang berisik karena masih menggunakan pita atau dikenal dengan printer dot matriks.

Kala itu proses mencetak hasil kerja belum semudah sekarang. Ada beberapa perintah dan langkah yang harus dilakukan. Beda dengan proses cetak sekarang yang begitu mudah dengan banyak bantuan. Komputer waktu itu juga belum menggunakan hard disk sebagai penyimpan data. Kita harus punya floppy disk yang lebih kecil untuk menyimpan data yang sudah kita buat.

Mulai Mengenal Windows

Selepas sekolah di STM saya tidak langsung mendaftar kuliah. Ada masa senggang ketika saya menjadi pengangguran, prioritas saya waktu itu memang ingin bekerja dulu dan nantinya membiayai sendiri kuliah saya. Selama masa senggang itu Bapak memasukkan saya ke sebuah kursus komputer di sekolah tempatnya bekerja. Jadilah saya tiga kali seminggu menyambangi sekolah elit di Makassar itu untuk belajar komputer. Dari mulai DOS, WS7 hingga Lotus 123.

Saya belum sempat menyelesaikan pelatihan ketika sebuah kabar menyebutkan kalau saya diterima bekerja di sebuah perusahaan properti, Oktober 1996. Saya sungguh senang luar biasa. Ternyata di kantor inilah persentuhan saya dengan komputer kian intens, hampir setiap hari.

Hari pertama bekerja saya diminta menyalakan komputer. Saya diterima sebagai staf administrasi proyek dan tugas saya banyak berhubungan dengan komputer. Saya berdiri di depan sebuah komputer, yang katanya komputer paling canggih di kantor itu. Saya kebingungan mencari disket besar yang biasanya saya pakai untuk menyalakan komputer. Ketika sedang kebingungan, seorang staf mendatangi saya.

”Kenapa ?“ tanya si staf.

”Disket besarnya mana, Pak ?“ saya balas bertanya.

Dia tertawa dan menekan tombol power. Rupanya komputer yang digunakan di kantor ini sudah tidak perlu disket boot lagi. Operating system-nya sudah menggunakan Windows 3.1.1, dilengkapi hard disk penyimpan data. Duh, saya sungguh malu, ilmu komputer saya ternyata sudah ketinggalan zaman.

Di divisi tempat saya bekerja ada dua komputer berspesifikasi berbeda. Komputer tercanggih menggunakan prosesor Pentium 486 dengan RAM (memory) 16MB, kalau tidak salah, hard disknya berkapasitas 64MB. Dilengkapi dengan CDROM 2x, sungguh sebuah kemewahan kala itu. Komputer yang satu spesifikasinya lebih rendah: Pentium 386, dengan memory 8MB dan hard disk 32MB.

Di kantor itu juga kecintaan saya pada komputer mulai tumbuh. Setiap hari saya belajar tentang operating system yang baru saya temukan, Windows 3.1.1. Pun saya belajar mengoperasikan Microsoft Office seperti Word dan Excel yang belum pernah saya temukan sebelumnya. Semua terasa jauh lebih mudah, apalagi waktu itu sudah ada tetikus yang mempermudah proses.

Saya makin intens belajar komputer. Belajar menginstall Windows dan belakangan belajar merakit perangkat keras serta belajar memberikan pertolongan pertama pada komputer yang bermasalah. Bahkan saya kemudian memilih untuk kuliah pada jurusan komputer, meski bertahun-tahun kemudian ilmu yang saya dapatkan perlahan hilang karena tidak pernah diamalkan.

Dalam rentang waktu hampir 21 tahun ternyata perubahan komputer sangat pesat. Dari sebuah komputer yang bergantung pada cakram lunak agar bisa dioperasikan hingga komputer jinjing yang begitu tipis dengan spesifikasi yang dulu mungkin tidak pernah terbayangkan. Dulu komputer membuat saya begitu antusias karena ada Pac Man-nya, sekarang komputer membuat saya antusias karena bisa bebas berkicau di Twitter.[Syaifullah Daeng Gassing]

No Comments

Post A Comment