12 Apr Komputer, dari Urusan Mata hingga Skripsi
Awal perkenalan Kamaruddin Azis dengan ‘komputer’ justru lewat pelisanan pada tahun 1980-an. Kata itu bertaut pada segala sesuatu yang canggih dan berhubungan dengan perihal yang tak bisa dijelaskan oleh orang awam. Berikut ini ia membagi pengalaman masa Daeng Nuntung, nama panggilannya, bersekolah menengah sampai sekarang.
Kampung kelahiran saya bernama Jempang, secara administratif masuk wilayah Desa Kalukuang (dulu bernama Pa’rasangang Beru), Kecamatan Galesong, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Rumah hanya berjarak 1 kilometer dari kompleks Balla Lompoa Galesong, kediaman raja-raja Galesong turun temurun.
Walau lahir di Jempang, saya kerap menyebut diri lahir dan besar di Galesong, tepatnya Galesong Kota. Pusat kota kecil Galesong dan Makassar hanya berjarak sekitar 20 kilometer. Entah sejak kapan, Galesong mendapat julukan ‘kota’. “Galesong Kota”, kata orang-orang.
Selama 30 tahun terakhir terjadi perubahan yang relatif cepat. Pada ujung tahun 1980-an, biaya angkuatan umum (pete-pete) hanya berbanderol Rp 500. Kini, tahun 2012, naik 10 kali lipat. Harga untuk anak sekolah seperti saya yang sempat pergi-pulang Galesong Makassar saat masih kelas I SMA, masih boleh ditawar hingga Rp 200,- sekali jalan.
Tahun awal tahun 1980-an, di Galesong, marak layar tancap, video dengan kaset besar hingga teater film. Di pertengahan tahun 80an, berbagai sarana komunikasi mulai berseliweran di kampung: intercom (komunikasi bentangan kabel langsung), handy talkie yang kemudian menjelma radio jarak pendek hingga masuknya informasi tentang komputer dari mulut-ke-mulut.
“Pergi mako di Makassar kalau mau ko periksa mata. Nikomputerekko!” kata tetangga saya di Jempang, kira-kira tahun 1985 pada beberapa kesempatan pada warga yang kesulitan melihat obyek di sekitarnya. Maksudnya, pergilah ke Makassar kalau hendak periksa mata, akan diperiksa dengan komputer.
Itulah kali pertama saya mendengar dan mulai serius mencari tahu tentang komputer. Di kampung, warga sangat akrab dengan istilah komputer dan dikaitkan dengan kecanggihan pemeriksaan mata. Tahun-tahun pertengahan 80-an itu saya tidak menemukan komputer seperti yang dibincangkan banyak orang di sekolah saya, SMP Negeri Galesong. Boro-boro melihat dan memegang langsung, membahasnya pun tidak pernah.
Tidak Berani
Tahun 1986, ketika saya bersekolah di salah satu SMA di Makassar, saat itulah saya melihat dan menyentuh komputer. Itu pun digunakan untuk mendengar program bahasa Inggris yang telah disetting di CPU. Tepatnya di Laboratorium Bahasa. Selama bersekolah di sana, praktis hanya sekali menyentuh komputer hingga tamat. Ya, hanya sekali. Psssttt!
Sejak mula kuliah di Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan Unhas tahun 1989, ada yang aneh. Kuliah pengantar tentang Komputer tapi saya bahkan tidak merasa pernah menyentuh komputer. Ada ketakutan. Ada kesan bahwa komputer adalah barang mewah yang rentan rusak sehingga saya tidak berani menyentuhnya. Beberapa teman yang ‘luar biasa’ memang sangat fasih menjelaskan tentang pernik komputer. Mungkin karena mereka anak orang berada dan mudah memperoleh akses.
Perkenalan saya dengan komputer harusnya bermula saat mulai mengerjakan proposal penelitian S1 di ujung tahun 1994 namun ternyata itu tidak saya lakukan, saya percayakan kepada juru ketik komputer di salah satu pondokan di sekitar kampus Unhas Tamalanrea, Makassar, saya lupa namanya.
Kerap kali, dalam deras hujan, jalan becek dan gelap menyergap Tamalanrea, tempat saya mondok, saya menyusuri jalan pondokan demi mengejar hasil ketikan. Seingat saya pondokan itu baru, belum seminggu mereka membuka jasa layanan pengetikan. Di bayangan saya, komputer ternyata hanya alat mengetik yang lebih baik dari mesin ketik.
Tahun 1995, saat saya menyelesaikan penelitian S1 di Taman Nasional Taka Bonerate, kabupaten kepulauan Selayar, saya memperoleh akses untuk mengerjakan skripsi di Jalan Abdullah Daeng Sirua, tepatnya di sisi jembatan menuju jalan Abdurrahman Basalamah (dulu Jl. Racing Center).
Adalah Kun Praseno, si empunya rumah sekaligus teman saya melaksanakan penelitian di Selayar. Dengannya saya mulai belajar program WordStar (WS) dan Lotus. WS untuk pengetikan dan Lotus untuk perhitungan dan tabel. Saya beruntung karena di sana, ada dua komputer sehingga saya agak leluasa menggunakannya. Saya pun dibantu diarahkan oleh beberapa mahasiswa UMI yang kerap datang di rumah itu.
Ada yang menyita perhatian masa pertengahan tahun 90an itu, yaitu banyaknya mahasiswa Kelautan Unhas, tempat saya kuliah yang mempunyai keahlian menggunakan komputer dengan spesialisasi pada Autocad. Dengan program ini mereka dapat menyelesaikan disain gambar, instalasi berdasarkan penggunaan vektor. Semacam program untuk membuat peta jaringan. Beberapa dari mahasiswa bahkan telah bergaji ratusan ribu hingga sejutaan sebagai drafter di perusahaan konsultan disain telekomunikasi. Oh, jadi keahlian di komputer bisa menjadi alat bantu dalam mengembangkan mata pencaharian? Begitu pikiranku pada saat itu. Karena pertimbangan itu saya pun harus meminjam buku seorang teman untuk belajar Autocad. Sayangnya, gagal.
Komputer dan Pekerjaan
Bekerja pada tahun 1996 semakin mendekatkan saya pada kerja berbasis komputer. Saat itu saya harus belajar mengetik, berhitung, membuat tulisan di komputer. Itu terjadi di Jalan Urip Sumoharjo, depan kantor Gubernur Sulawesi Selatan. Kantor pertama saya di situ. Namun belum lama menjamah komputer saya diminta untuk tinggal di pulau jauh di Selayar. Selama 3 tahun di Selayar, saya tidak semakin akrab dengan komputer.
Beberapa teman bahkan mengatakan, komputer hanya cocok untuk orang kantoran. Tahun 1998, saat sedang booming penggunaan telepon genggam dan internet (dulu ada wasantara.net, indosat.net, cbn.net dll) saya bahkan teralienasi untuk urusan begini.
Namun, situasi menjadi berbeda, karena saya dan beberapa teman harus membuat laporan, maka tahun 1999, semua menjadi berbeda, kami dibekali komputer. Kantor lapangan kami di Selayar mulai mendapat keleluasaan menggunakan komputer. Mulai memberi akses untuk menggunakan koneksi Telkom untuk berselancar ria di dunia maya, sayangnya, jaringan telekomunikasi di Pulau Selayar yang masih terbatas membuat saya malas untuk berlama-lama di depan komputer.
Tahun 2004-2005, saya bekerja di salah satu LSM asal Amerika, saya ditempatkan di Kota Palopo untuk melayani kegiatan kelompok petani kakao di Luwu dan Luwu Utara, terus terang saya tidak terlalu tertarik untuk akrab dengan komputer, internet, hingga komunikasi online.
Nah, situasi menjadi berbeda ketika saya jauh dari rumah, saya bekerja untuk salah satu proyek recovery mata pencaharian Aceh dan Nias pasca gempa bumi dan tsunami. Di sini, walau sempat membiarkan selama setahun koneksi internet di kantor, saya kemudian sadar bahwa ada banyak hal yang membuat pekerjaan lebih mudah, yaitu berselancar di dunia maya.
Suasana menjadi semakin mengasikkan karena dengan mengarungi dunia maya, interaksi dengan banyak orang semakin dinamis dan menguntungkan. Komputer yang saya kenal pertama kali karena diidentikkan sebagai alat periksa mata itu, telah menjadi barang penting dan menakjubkan.
Komputer dan internet, ibarat dua sisi mata uang, walau saya terlambat akrab dengannya. [Kamaruddin Azis]
daengrusle
Posted at 05:54h, 16 Aprilkomputer, dengan perangkat selancar di dunia maya, memang mengubah hidup manusia modern saat ini termasuk cara mereka berinteraksi dengan manusia lain. tapi di sisi lain, mereka dijauhkan dari dirinya sendiri…:( – makin sedikit waktu untuk menelisik ke dalam diri pribadi
*sok filsuf, he3*