tanahindie | Makassar Nol Kilometer
349
post-template-default,single,single-post,postid-349,single-format-standard,ajax_fade,page_not_loaded,,qode-title-hidden,qode-content-sidebar-responsive,qode-theme-ver-10.0,wpb-js-composer js-comp-ver-4.12,vc_responsive

Makassar Nol Kilometer

Untuk Anwar Jimpe Rachman

Sebenar-benarnya penyesalan melakoni pekerjaan sebagai seorang travel writer adalah: kau sudah menuliskan kisah tentang negeri-negeri yang jauh, tapi belum pernah sekalipun mengulas kota yang kau tinggali. Bumi yang kau pijak.

Ini bukan pepesan kosong. Saya pernah tanya ke Dina Duaransel, seorang nomad traveler asli Surabaya yang sudah keliling dunia, adakah tempat yang ingin ia eksplor lebih jauh lagi? Jawabannya: Indonesia. Dina sudah menjajal berbagai tempat eksotik di muka bumi bersama suaminya, Ryan. Tapi ia merasa kurang begitu dalam mengenal negerinya sendiri.

Saya pun dihinggapi sindrom yang sama. Hampir-hampir saya tidak pernah menulis panjang tentang Surabaya, dan tidak pernah menulis satu travelogue pun tentang Jember, kota kelahiran saya. Pemeo rumput tetangga jauh lebih hijau daripada rumput sendiri itu benar adanya. Karena sudah terbiasa, seringkali indera kita jadi lebih tumpul, radar kita jadi semakin mandul.

Tapi Jimpe sudah terbebas dari dosa besar macam itu. Pada awal 2005 dia mengumpulkan empat belas temannya, melakukan reportase berjamaah, lantas menerbitkan buku yang diberi judul ciamik: “Makassar Nol Kilometer”. Ini adalah buku pertama yang ditulis anak-anak muda Makassar tentang budaya kontemporer Makassar.

Saya paham ini bukan pekerjaan mudah. Sudah saya bilang di awal bahwa kita akan lebih sulit menulis keunikan yang ada di sekitar kita ketimbang mendedah keunikan daerah lain yang baru pertama kali kita datangi. Beruntung Jimpe dan kawan-kawan tidak menyerah. Indera yang tumpul kembali diasah dan radar disetel ulang. Mereka pun menekuni daerah yang begitu familiar dan (barangkali) sudah terlihat biasa saja di mata mereka.

“Buku ini kami kerjakan selama sepuluh bulan, setiap minggu kami bertemu melakukan curah pikiran. Editing dilakukan secara ping-pong,” kata Jimpe yang bertugas sebagai penyunting dan penjaga iman dalam proyek buku ini. Dengan sensor jurnalistik yang ketat, tak heran buku ini menjadi sekumpulan feature yang hebat. “Sampai informasi paling kecil juga kami verifikasi kebenarannya,” kata Jimpe.

Saya sungguh menikmati berbagai tulisan yang ada di dalam buku ini. Isinya terkesan gado-gado, temanya luas dan beragam. Mengangkat gaya hidup hingga kuliner. Kisah para suporter bola hingga sepiring Palubassa. Dari pete-pete (angkot Makassar) hingga kafe-kafe di sepanjang Pantai Losari.

Gaya menulisnya pun beragam. Masing-masing penulis memiliki gayanya sendiri. Ada yang bergaya Tempo, ada yang bergaya Sindhunata, ada yang reflektif, ada yang kritis, ada yang lekas panas, ada pula yang intronya terlalu panjang. Personalitas menjadi bumbu dalam tulisan itu sendiri. Seringkali saya harus memberi jeda antar tulisan untuk sekedar mengambil nafas, menunggu kejutan apa yang akan saya dapat di tulisan berikutnya.

Melalui susunan mosaik potret-potret kecil inilah kita akhirnya bisa melihat wajah kota dalam potret yang lebih besar. Saya pun mendapatkan perspektif baru dalam memandang Makassar. Rangkaian narasi yang disajikan membuat saya merasa dekat dengan keseharian. Tukang becak, mahasiswa, bahkan pendatang menjadi narasumber penting dalam buku ini. Setiap kisahnya berangkat dari sudut antroposentris yang kental.

Barangkali hal kecil seperti ini yang jamak dilupakan oleh para travel writer Indonesia. Karena sibuk mengulik keindahan sebuah destinasi, seringkali kisah manusia yang ada di dalamnya terlewatkan. Tulisan yang dihasilkan pun dingin tidak bernyawa. Bertabur deskripsi, namun miskin dialog. Dari buku ini kita belajar tentang dialog yang kaya dengan penduduk lokal.

Sayangnya saat membaca kumpulan tulisan yang renyah ini saya beberapa kali terganggu barisan footnote yang rakus merebut batas-batas halaman. Bahkan pada tulisan “Memotret Pernikahan di Makassar”, ada catatan kaki yang luasnya hampir sepertiga halaman. Saya pikir fakta-fakta tersebut sebaiknya disisipkan saja pada tulisan.

Bagi saya pribadi, buku ini ibarat sepatu baru; padat tapi tetap empuk. Enak buat diajak jalan. Ukurannya kecil dan kertasnya yang ringan bisa jadi teman yang ramah selama bertetirah. Saya merekomendasikan buku ini untuk dibaca sebelum menjelajahi pesona kota Makassar! [dikutip dari hifatlobrain]

No Comments

Sorry, the comment form is closed at this time.