tanahindie | Membaca Identitas dalam Kekuasaan
497
post-template-default,single,single-post,postid-497,single-format-standard,ajax_fade,page_not_loaded,,qode-title-hidden,qode-content-sidebar-responsive,qode-theme-ver-10.0,wpb-js-composer js-comp-ver-4.12,vc_responsive

Membaca Identitas dalam Kekuasaan

sumber foto: http://penerbit-ininnawa.blogspot.com

Membaca karya Imam Mujahidin Fahmid, seorang akademisi, yang juga ‘pekerja lapangan’ (karena pengalaman suksesnya di berbagai bidang), terasa bagaikan membaca sebuah karya yang kompleks, rumit, dan agak sukar dicerna oleh orang biasa. Hal ini terjadi, mungkin karena terlihat saling tumpuknya pengalaman akademik dan berbagai latar belakang lapangan Imam, sehingga membaca jalan pikirannya saja (atau karena karya ini sejatinya adalah disertasi doktoralnya), kita yang orang biasa saja ini, mengalami kerepotan yang luar biasa. Akan tetapi demi munculnya beragam makna dan interpretasi atas karya beliau, maka saya mencoba menyederhanakannya dengan cara membacanya sebagai berikut dibawah ini.

Menurut saya, sebenarnya Imam ingin mengatakan kepada kita beberapa hal (secara sistematis dan berkaitan).  Pertama, Pak Imam ingin menunjukkan kepada kita bahwa terdapat perbedaan yang mendasar antara etnis Bugis dan  etnis Makassar, secara politik, sosial dan ekonomi. Pak Imam khawatir akan munculnya kekaburan paham atas kedua suku itu, sehingga beliau menyatakan penolakannya atas upaya intelektual yang cenderung menyamakan dan memposisikan kedua etnis ini mirip, seragam, sejajar dalam banyak konteks. Argumen beliau,  pada faktanya terdapat banyak keragaman budaya, sistem sosial dan politik, yang menjadi ciri khas kedua etnis yang berbeda itu, sehingga, perbedaan itu berpotensi menimbulkan konflik antar kedua etnis. Menurut Pak Imam, potensi konflik itu bisa muncul karena dipicu oleh kepentingan elit yang memanfaatkan semangat etnisitas. Basis etnis merupakan senjata pamungkas bagi elit Bugis dan Makassar untuk meraih kekuasaan politik dan ekonomi (Hal. 4 – 8). Dengan kata lain, Pak Imam memposisikan dirinya pada kubu yang mengamini adanya perbedaan antara Bugis dan Makassar. Untuk mendukung argumennya, Pak Imam kemudian mendemonstrasikan perbandingan kedua

Kedua, Pak Imam menuntun kita untuk membenarkan argumentasi bahwa sesungguhnya terdapat relasi kuasa-uang-simbol-pengaruh-komitmen nilai dalam cara berpikir elit Bugis dan Makassar. Cara-cara berpikir elit kedua etnis inilah yang dieksplorasi lebih jauh perkembangannya oleh Pak Imam dengan menggunakan dua jenis fase yang diyakini pak Imam berkontribusi dalam transformasi (kepentingan) elit. Mulai dari produksi (dan reproduksi) kekuasaan dengan meminjam (dan menggabungkan) tahapan perkembangan masyarakat Gibson dan tahapan perkembangan pemikiran manusia Comte (Hal. 129), hingga tahapan pembentukan kelompok elit yang menggunakan gabungan abstraksi pemikiran Comte, Weber dan Gibson (Hal. 149).

Dengan menggunakan modifikasi model tahapan-tahapan tersebut, Pak Imam berupaya menjelaskan kepada kita bahwa relasi kuasa-uang-simbol-pengaruh-komitmen nilai yang ada didalam proses (transformasi) pembentukan elit di etnis Bugis dan etnis Makassar, ternyata memiliki kemiripan, terutama yang terlihat pada  pola pembentukan elit di masing-masing etnis.

Ketiga, dengan menggunakan perspektif strukturalisme Andre-Gunder Frank, Pak Imam menunjukkan kepada kita bahwa intervensi kapital internasional melalui jalur-jalur imperialisme, tidak menyebabkan perbedaan etnis Bugis dan etnis Makassar larut berkolaborasi, karena jauh sebelum kolonisasi Eropa, kompradorisasi memang telah terjadi dalam etnis Bugis dan Makassar dalam dua bentuk, yaitu komprador feodalisme dan komprador kesukuan (Hal. 155 -163). Komprador feodalisme merujuk pada upaya status-quois elit kekuasaan dengan kegiatan pemungutan pajak kepada struktur sosial-politik-ekonomi yang lebih rendah. Sedangkan komprador kesukuan merujuk pada upaya menghapus sentralisasi peran politik negara, dengan kegiatan menguasai berbagai sumber daya lokal yang dapat digunakan untuk mendekati elit berkuasa / kekuasaan, meskipun kelompok komprador kesukuan tidak mendapatkan tempat dalam struktur politik formal.

Keempat, Pak Imam memperlihatkan kepada kita bahwa dalam segala aspek perbedaannya dan juga potensi konfliknya, etnis Bugis dan Makassar, melalui perilaku elit politiknya, memiliki kecenderungan untuk selalu berupaya ‘akur’ meskipun dalam level makro. Dinamika persaingan etnis Bugis dan Makassar dalam arena pertarungan politik menunjukkan bahwa elit Bugis dan Makassar memiliki kemampuan untuk mengatur, merebut, dan mempertahankan kekuasaan pada berbagai aras, mulai dari aras mikro (desa), mezzo (kabupaten) dan aras makro (propinsi, Sulsel). Kemampuan ini mendorong terus dinamisnya persaingan etnis Bugis dan etnis Makassar.

Persaingan pada level mezzo misalnya, menunjukkan upaya kontestasi identitas yang konsisten antara kedua etnis yang bertujuan untuk menjaga keberagaman etnisitas dalam kehidupan bersama. Penggunaan simbol, uang dan kuasa pada seluruh level memperlihatkan kemampuan alamiah dari elit masing-masing etnis, dalam menumbuhkan kesadaran budaya politik yang (akan selalu) bersifat hibrid, baru. Menurut Pak Imam, elit Bugis dan Makassar mampu mengatur keseimbangan kekuasaan (share of power) dengan menggunakan strategi  politik ranjang, dan dalam implementasinya, politik ranjang ini berhasil mengurangi semangat persaingan politik yang berbasis identitas ataupun etnisitas. Dan pada akhirnya, politik pencampuran etnis ini lalu menghasilkan budaya politik baru yang lebih toleran (Hal.209). Kesimpulan saya, semakin banyak kawin-mawin antar etnis Bugis dan Makassar. stabilitas struktur politik, sosial dan ekonomi di Sulawesi Selatan akan tetap terjaga, meskipun dengan dinamika persaingan yang tinggi. Semakin besar kesempatan dibukanya ruang ketiga,ruang baru dengan mekanisme hibridasi antara etnis Bugis dan Makassar, maka akan semakin kokoh solidaritas Sulawesi Selatan.

Demikian saya membaca kompleksitas tekstual Pak Imam. Membaca interaksi antara pengarang dan teksnya, saya mendapat kesan bahwa Pak Imam adalah seorang kolaborator tulen. Hal itu terlihat dari kemampuan beliau menyatukan berbagai aspek, teknik dan strategi riset yang berkaitan dengan topik karyanya, meskipun bertentangan dengan cara yang halus. Genealogi Foucauldian di mix dengan Cultural Hybridities Babha dan Empirisme Comte.  Hal tersebut merupakan hal yang pasti sulit dilakukan oleh peneliti biasa.  Selamat Pak Imam.


Arief Wicaksono, Pengajar pada Jurusan Hubungan Internasional Universitas 45 Makassar. Direktur Lembaga Kajian Demokrasi dan Otonomi (LeDO) Makassar

Tulisan ini disampaikan di kupas buku “Identitas dalam Kekuasaan: Hibriditas Kuasa, Uang, dan Makna dalam Pembentuka Elite Bugis dan Makassar”, Ruang Redaksi Harian FAJAR, Graha Pena, 29 Juni 2012)

Tags:
No Comments

Post A Comment