07 Apr Menanam, Memasak, Makan, dan Nonton Bareng di Halaman
Memasak di halaman rumah merupakan bagian budaya warga Sulawesi Selatan. Halaman dipakai sebagai tempat warga bekerja bersama, seperti suka-rela saling membantu menyiapkan hajatan keluarga. Tapi di lingkungan perkotaan, kegiatan seperti ini makin berkurang.
Siang menjelang sore, halaman Kampung Buku yang beberapa terakhir basah karena hujan, berteduhkan selembar terpal. Kursi dan meja diatur sedemikian rupa agar digunakan sebagai tempat mengolah buah yang disumbangkan para partisipan dan sayur dari Makassar Berkebun (MB), yang dipanen dari kebun-kebun yang mereka rawat di beberapa tempat di Kota Makassar.
Kehadiran Rumah Konseling dan Mediasi menjadi kejutan. Komunitas yang didominasi oleh ibu rumah tangga dari Kelurahan Batua, Makassar. Mereka dengan sigap mengolah bahan yang ada menjadi kapurung, makanan berbahan dasar sagu, khas Luwu, Sulawesi Selatan.
Hari itu Tanahindie dan MB bekerja sama menggelar rangkaian acara menanam, memasak, makan dan nonton bareng di halaman Kampung Buku. Program itu juga rangkaian kegiatan yang diisi Dewi Bulan, program rutin Gerobak Bioskop Tanahindie. Kegiatan ini menggunakan media film sebagai pengantar obrolan dalam berbagi ide dan gagasan dari penonton yang juga sebagai warga dalam merespon kota dan berbagai keriuhan di dalamnya.
Acara kali ini dijuduli “Tiada Masa Paling Indah, Masak-masak di Halaman”. MB merupakan komunitas yang bergerak dalam isu dan program bertani dan berkebun di kota. Komunitas ini mengolah lahan tidur di Makassar menjadi lahan produktif. MB pun menyempatkan berbagi pengalaman dan teknik bertani dan berkebun di halaman rumah.
Kegiatan kali ini bermaksud menghidupkan kembali halaman rumah sebagai tempat bekerja sama dan bertemunya warga. Cara ini juga diharapkan menjadi metode mempertemukan orang, merawat hubungan dengan tetangga, teman, dan sanak-famili.
Dalam hunian (rumah tinggal), dapur adalah ruang yang mewadahi aktivitas memasak, sedang area di luar hunian yang disebut halaman, menjadi ladang dan kebun untuk bertani dan berkebun. Halaman Kampung Buku menjadi arena untuk itu dengan menggunakan polibag sebagai media tanam. Kantong berlubang sebagai jalur sirkulasi air ini diisi tanah pilihan yang dicampur sekam, agar mempermudah tanaman menyerap unsur hara. Campuran lainnya adalah pupuk kompos yang diolah dari feses sapi agar tanah lebih subur. Polibag diisi tanah yang menyisakan sekitar 5-7 cm dari ujung kantong. Permukaan tanah lalu disiram dengan pupuk organik cair yang terbuat dari fermentasi urin kelinci. Cairan ini juga untuk menyuburkan tanah. Dan, media tanam pun siap.
Hasilnya:10 polibag terisi tanah berikut benih. Kini tinggal merawat dan menjaga kandungan air dan pupuk dalam durasi tertentu hingga siap panen. Rencananya, pemanenannya, yang diperkirakan bulan depan, juga akan dirayakan dengan rangkaian kegiatan serupa. Kegiatan terakhir adalah makan dan nonton bareng. Dewi Bulan memutar tiga film, yakni “Cook, What it Takes to Make It in a Michelin-Starred Restaurant”, “Planning for a Sustainable Local Food System”, dan “The Hundred Foot Journey”.
Film pertama “Cook, What it Takes to Make It in a Michelin-Starred Restaurant” (Nathan Sage) menceritakan koki bernama Joseph Johnson yang memaknai proses memasak dan tahap yang dilaluinya menjadi koki di restoran 2 Michelin, tempatnya bekerja.
Berdurasi lima menit, film berikutnya “Planning for a Sustainable Local Food System” menceritakan bahwa perencanaan kota, idealnya juga mencakup perencanaan sistem pangan yang berkelanjutan. Film ini mendokumentasikan program yang mengajak masyarakat lokal untuk memperkuat sistem pangan lokal di Chicago yang dibuat dalam cerita tentang perjalanan pangan yang dimulai sejak lahan pertanian hingga ke meja makan.
Terakhir, film berdurasi 122 menit “The Hundred Foot Journey” (Lasse Hallström) mengangkat cerita novel berjudul yang sama tentang benturan dua budaya kuliner, Prancis dan India.
No Comments