tanahindie | Menengok Halaman yang Hilang
702
post-template-default,single,single-post,postid-702,single-format-standard,ajax_fade,page_not_loaded,,qode-title-hidden,qode-content-sidebar-responsive,qode-theme-ver-10.0,wpb-js-composer js-comp-ver-4.12,vc_responsive

Menengok Halaman yang Hilang

membaca ulang sejumlah ‘halaman’ yang dilupakan selama ini di dalam ‘buku’ bernama kota.

Dari jarak sekitar seratus meter, tampak beberapa rumah panggung berjejer. Dindingnya berbahan papan dan seng. Tiangnya setinggi dua meter. Selain di tanah, ada juga rumah yang berdiri di atas air, dan dihubungkan dengan jembatan bambu. Seorang anak lelaki bertelanjang dada, berenang tak jauh dari pemukiman.

Di suatu sore itu, air laut cukup tenang. Lorong beralas paving block yang membelah pemukiman, lengang. Sebuah perahu bersandar di sisi lorong yang berujung di laut. Jauh di belakang, tangan-tangan kendaraan alat berat berwarna kuning di proyek pembangunan, menjulang tinggi.

Pemandangan kini lebih dekat. Tiga orang wanita bercengkerama di sebuah bale papan, di bawah kolong rumah. Dua orang berkaos, duduk berbaris. Dari belakang, wanita yang satu memegangi kepala wanita di depannya. Dengan membelah untaian rambut temannya itu, si wanita sedang mencari kutu. Satu wanita lainnya cermat menonton.

Satu adegan cerita lain terjadi di ujung lorong yang sekaligus menjadi dermaga. Bertelanjang, dua bocah lelaki asyik berenang di air laut. Kemudian datang seorang wanita dengan satu tangan memegang sebilah potongan bambu, dan tangan lain menggendong bayi. Wanita itu berteriak memanggil anaknya yang berenang untuk naik ke daratan. Ceritanya, sang ibu marah karena anak yang disuruh menjaga jualan di rumah, malah asyik berenang. Sesampainya di atas, sang anak kena pukul di pantat. Menangislah dia.

Pemandangan di atas merupakan sebagian dari foto yang dipajang di Kampung Buku, Jalan Abdullah Daeng Sirua, Makassar, Kamis, 27 Maret, malam lalu. Melalui pameran berjudul Lembaran Halaman yang Hilang, Komunitas Tanahindie merangkum 41 karya penggiat foto bernama Sofyan Syamsul yang bertema kehidupan sehari-hari masyarakat pinggiran kota. Objeknya dikhususkan pada aktivitas warga kampung Buloa, yang terletak di kawasan pesisir bagian barat Makassar.

Kampung Buloa terletak di muara sungai Tallo, kecamatan Tallo. Konon, di awal orde baru, banyak nelayan mendirikan rumah apung di daerah ini. Kemudian pemerintah Orde Baru membangun Pelabuhan Soekarno-Hatta, yang tanah kerukannya dibuang menjadi timbunan di Buloa. Nelayan mulai membangun rumah di darat. Kini, Buloa dalam sengketa karena jadi target proyek pembangunan.

Pepeng- sapaan Sofyan Syamsul- mengabadikan momen di Buloa dengan Nikon D300 dan lensa 35 milimeter. Selama tiga bulan, ia menekan rana kameranya hampir seribu kali di sana. Pepeng mengaku tidak punya patokan khusus soal teknik pemotretan. “Yang jelas temanya kehidupan sehari-hari,” ia mengatakan.

Ide memotret Buloa muncul jelang akhir tahun lalu, saat ia membaca artikel soal wilayah itu di salah satu situs di internet. Satu waktu, pemuda yang tinggal di jalan Yos Sudarso itu lalu bertemu dengan Jimpe di di warung kopi dan membicarakan dengan serius rencana pameran. “Kebetulan daerahnya dekat dengan rumah.”

Sejak dua tahun lalu, Pepeng sudah memotret kehidupan warga di wilayah pesisir Tallo. Namun waktu itu dia belum tahu tentang tempat bernama Buloa. “Ternyata tempatnya bersebelahan,” katanya. Rasa penasaran Pepeng dengan kehidupan warga Buloa terus meningkat seiring maraknya ekskavator masuk ke sana, dan ramai dibincangkan di media sosial.

Pepeng menggunakan tiga pekan pertamanya memperkenalkan diri dengan warga Buloa. Baru setelah itu dia berani membawa kamera dan mulai memotret. Selanjutnya, ia leluasa membidikkan lensa. Semakin hari semakin intens. Kebetulan, kata dia, orang di sana memang senang difoto.

“Orang di sana sudah seperti keluarga,” kata Pepeng. Selain memotret, dia sudah terbiasa numpang istirahat, makan, dan bercengerama dengan warga. Pasangan suami Saharuddin dan Aminah disebut keluarga yang paling akrab dengannya. Mereka yang paling sering curhat soal kehidupan masyarakat di sana.

Menurut Pepeng, sengketa tanah Buloa membuat kehidupan warga setempat tidak cukup tenang. Setiap saat mereka harus siap berhadap-hadapan dengan preman bayaran oknum yang mengklaim tempat itu sebagai tanahnya. Mereka terancam tergusur. Saharuddin, kata dia, orang yang paling ngotot menentang penggusuran.

Sebagian warga Buloa bekerja sebagai nelayan dengan alat tangkap tradisional. Namun belakangan jumlah nelayan semakin menurun. Warga memilih pekerjaan lain, karena makin sulit mendapatkan ikan. Beberapa menjual perahu untuk mencari nafkah lain dengan membeli becak motor. Ada juga yang beralih jadi kuli bangunan.

Ibaratnya sebuah buku, kota terdiri dari berbagai ‘halaman’. Setiap halaman punya cerita masing-masing. Tapi pembangunan kota yang mengarusutamakan modal dan berbagai ekonomi marko, menimbun hidup warga lainnya. Akibatnya, beberapa ‘halaman’ terlupakan. Pelan-pelan menghilang.

Kurator pameran, Anwar Jimpe Rachman, mengatakan, pameran karya fotografi merupakan upaya untuk menegaskan bahwa kamera menjadi pisau bedah dalam melihat persoalan-persoalan spesifik. Misalnya fenomena kehidupan di wilayah kota seperti Buloa. Pameran mencoba menghadirkan kembali dan membaca ulang sejumlah ‘halaman’ yang dilupakan selama ini di dalam ‘buku’ bernama kota.

Buloa dipilih sebagai objek karena wilayah itu kini berkembang menjadi wilayah sengketa akibat perkembangan kota. Namun pameran Lembaran Halaman yang Hilang tidak mendokumentasikan soal itu. Seperti yang dikatakan Jimpe, “Melainkan pada para penghuni kawasan itu sekarang: manusia-manusia dan lingkungan sekitar.” Selama ini objek ‘halaman’ seperti Buloa lepas dari pengamatan fotografer maupun media massa.

Pameran digelar dengan sangat sederhana di teras seukuran 3×6 meter. Tidak ada bingkai dan dinding khusus untuk foto pajangan. Enam lemari rak buku disusun membentuk huruf L membentengi teras. Foto-foto ditempelkan di bagian belakang lemari sehingga pameran terkesan tersembunyi. Rangkaian foto disusun besar-kecil; tunggal dan sekuel.

Tiga puluhan orang hadir di malam pembukaan pameran. Karena tak kebagian tempat duduk, beberapa pengunjung memilih duduk di atas sepeda motor yang mereka parkir di depan pagar. Sambil sesekali menepuk badan karena tergigit nyamuk. Pengunjung melihat foto sambil dihibur musik agustus. Pameran itu berakhir 30 Maret.

Pemilihan tempat pameran sesuai tajuk. Halaman rumah, kata Jimpe, merupakan titik mula kerja-kerja kebudayaan. Halaman rumah tempat penting memulai pertemuan tatap muka, membahas, dan bekerja. “Kami bersama jaringan semata mengerjakan ulang apa yang selama ini menjadi kebiasaan leluhur.” (Aan Pranata, Tempo Makassar)

No Comments

Sorry, the comment form is closed at this time.