tanahindie | Narasi Kecil dan Gagasan Turisme Myung-woo
960
post-template-default,single,single-post,postid-960,single-format-standard,ajax_fade,page_not_loaded,,qode-title-hidden,qode-content-sidebar-responsive,qode-theme-ver-10.0,wpb-js-composer js-comp-ver-4.12,vc_responsive

Narasi Kecil dan Gagasan Turisme Myung-woo

“Sebelum ke Makassar, saya berpikir untuk membuat karya yang spesial.” Myung-woo, seniman 33 tahun dari Gwangju, Korea Selatan, mengungkapkan hal itu di hari pembukaan pamerannya 1 Agustus 2015, di Tanahindie Gallery, Jl. Abdullah Daeng Sirua 192E, Makassar.

4

(Foto: Sofyan Syamsul)

Eksebisinya itu merupakan presentasi akhir karyanya setelah hampir 50 hari melakukan residensi di Makassar yang diinisiasi oleh dua ruang alternatif Tanahindie (Makassar, Indonesia) dan Mite-Ugro-Zaza (Gwangju, Korea Selatan).

Butuh waktu 30 hari memikirkan karya seperti apa yang ingin digarap Myung. Sampai pada akhirnya dia menemukan dan menarik persamaan antara Gwangju-Makassar di satu sisi tapi di sisi lain ia juga merasakan perbedaan antara Korea Selatan-Indonesia dari interaksi keseharian orang-orang terhadap kota.

2

(Foto: Sofyan Syamsul)

Lewat video multichannel, Myung mengerdilkan atau membekukan waktu dengan merekam matahari terbenam sebagai wujud Indonesia dan lalu lintas kota tersebut dengan teknik high speed sebagai gambaran Korea Selatan secara umum. Satu video ditampilkan lewat TV layar datar dan lainnya ditembakkan melalui proyektor. Kedua video itu diputar secara bersamaan, saling membelakangi, dan tumpah tindih.

Apa yang dilakukan Myung-woo pada dasarnya tidak lepas dari gagasan turisme saat seseorang merasakan perbedaan-perbedaan dari tempat asalnya sampai melakukan perbandingan antara dua tempat. Pendekatan yang diambil Myung-woo layaknya seseorang yang bepergian jauh dari tempat asalnya, lalu secara spontan tuntunannya adalah merogoh kepekaan seninya untuk mencipta.

Gagasan turisme pada karya Myung bisa jadi terlalu asyik bermain sendiri dengan subjektivitas – hal ini memang tidak bisa dihindari – yang mengelilingi hingga determinasi ke-aku-an begitu terasa. Namun, hal itu bisa diredam saat dia mengajak Jasmine Isobel HB untuk berkolaborasi.

Myung menyejajarkan dirinya dengan perempuan mungil berusia 6 tahun untuk membagikan pengalamannya lewat gambar-gambar krayon, yang otomatis menjadikan pameran ini bukan sepenuhnya milik Myung-woo seorang. Eksebisi yang berlangsung selama 3 hari (1-3 Agustus 2015) ini memamerkan karya instalasi video dan sebuah motor matic yang menemani Myung-woo selama residensi di Tanahindie.

Munculnya impresi Myung terhadap Isobel adalah cara mereka berinteraksi pertama kali saat anak perempuan yang cerewet tapi polos ini coba membuka percakapan pada Myung dengan bahasa Inggris dan bertanya, “are you like Frozen?”. Meskipun secara gramatika Inggris itu salah, tapi lekas jadi sebuah pertatutan antara kedua orang ini untuk berkolaborasi dan memilih “R U Like?” sebagai judul pamerannya. Jargon “semua orang bisa jadi seniman” atau “semua orang adalah seniman” kemudian berlaku pada eksebisi ini.

3

(Foto: Sofyan Syamsul)

Secara visual tidak mudah untuk mendapati korelasi antara karya Myung dan Isobel. Selain medium yang berbeda, karya mereka juga terkesan berbicara masing-masing pada audiens dan tampak seperti entitas tersendiri dalam sebuah pameran. Kolaborasi dalam pameran ini baru akan dipahami saat berbicara konteks, di mana sepertiga dari tembok ruangan galeri dijejeri karya Isobel yang coba menangkap maksud Myung-woo ketika diminta untuk menggambar dirinya, pemandangan, atau kucing misalnya.

Dari sini bisa dimengerti bahwa apa yang ingin diangkat oleh Myung-woo adalah narasi-narasi kecil tentang dirinya selama di Makasar dari pandangan seorang anak kecil yang ditampilkan lewat visual. Sedangkan bagi Isobel ini mungkin pengalaman baru bagaimana mengekspresikan dirinya lewat gambar dengan arahan, berbeda di mana bahasa punya dinamikanya sendiri untuk mengatasi komunikasi antara dua orang yang berbeda generasi dan perbedaan geografis tempat mereka tumbuh.

draft-poster-3-small

Karena yang dikedepankan adalah narasi kecil, Myung-woo lantas tidak terjebak untuk tiba-tiba menjadi peka terhadap kondisi sosial masyarakat kelas bawah di Makassar, seperti kemiskinan dan lain sebagainya yang sudah jadi bagian narasi besar. Menganggap hal tersebut bukan sesuatu yang baru bagi dirinya karena dia sudah melihat kemiskinan 25 tahun lalu di Korea Selatan. Sikapnya untuk tidak mengeksploitasi kemiskinan atau hal-hal lainnya sebagai sesuatu yang seksi dijadikan karya bisa dibaca sebagai cara Myung untuk tidak berlagak sok tahu akan kondisi sosial di suatu tempat dan memilih jalur aman dengan mengedepankan pengalaman pertamanya melakukan residensi. Kemiskinan sudah punya ruang pada masing-masing orang yang siap menginterupsi kapan pun dan itu tidak perlu digembar-gemborkan untuk menarik perhatian. Myung-woo hanya ingin menceritakan pengalamannya lewat medium video, mengajak kita untuk duduk sejajar dengan dirinya atau berusaha mengajak untuk bertindak sebagai dirinya.

Secara tersurat eksebisi ini memang menampilkan perbedaan-perbedaan, tapi jika dikorek lebih dalam, konteksnya adalah merekam kesaman-kesamaan yang tersirat dalam gagasan turisme setiap orang. “Tapi setelah karya saya selesai, saya tidak lebih dari Hyeongman – seniman Gwangju yang melakukan residensi tahun lalu – yang menceritakan pengalamannya selama di sini, hanya jenisnya yang berbeda.”

(Rahmat Arham, @rahmatarham)

NB: Katalog pameran ini dapat Anda akses di sini!

No Comments

Post A Comment