31 Okt Bincang soal Waktu dalam “Kisah Para Penyintas”
Membuat foto dokumenter butuh waktu lama dan pendekatan yang panjang.
Vonny Harnanelly ingat, ketika berusaha memotret Bu Subaedah dan tiga cucunya dalam keadaan tidur, ia harus menginap di rumah keluarga tersebut. Perempuan berjilbab itu lantas mengendap jam dua dini hari dan memotret. Jadilah satu adegan berlatar depan kelambu hijau beserta empat orang yang tidur berhimpitan di satu ranjang.
Bu Subaedah adalah perempuan 68 tahun, tinggal di daerah Daya, Makassar, penderita TB (tuberkulosis) paru. Ia memelihara cucunya, tiga anak laki-laki yang ditinggal orangtuanya merantau ke Malaysia.
Vonny mengaku, pernah datang ke rumah Subaedah dengan maksud yang sama. Tapi hasilnya tidak maksimal. Ketiga cucu Subaedah pura-pura tidur. “Selama di sana juga, saya tidak pakai masker. Tidak nyaman. Saya berusaha berbaur dengan keluarga. Saya ingin diterima sebagai bagian dari keluarga itu,” jelas Vonny yang sehari-hari bekerja di RSK Dr. Tajuddin Chalid Makassar.
Rangkaian karya foto Vonny diberi judul “Kisah Kasih Nenek Subaedah di Gubuk Tua” itu lantas dipamerkan bersama karya Ardyanto Patandung, Dewi Lestari, Haryamin, Ratna Juwita, dan Wildan Setiabudi dalam ekshebisi “Kisah Para Penyintas” di Societeit de Harmonie, Makassar, 26 September – 2 Oktober lalu. Pameran ini merupakan bagian akhir dari kelas dokumenter GFJA (Galeri Foto Jurnalistik Antara) Makassar.
Keenamnya bukanlah jurnalis. Mereka masing-masing sibuk sebagai pegawai negeri, pekerja NGO, dan wiraswasta. Tiga minggu kemudian, mereka hadir dalam sesi artist talk “Kisah Para Penyintas” yang digelar Tanahindie dan GFJA Makassar 28 Oktober 2016, di Kampung Buku, Jalan Abdullah Daeng Sirua 192 E, Makassar.
Dewi Lestari, dipanggil Tari, yang membawa seri cerita foto tentang dua perempuan penyandang HIV/AIDS yang tertular dari suami mereka. Dua perempuan yang didokumentasikan dalam kisah “Mereka Masih Cantik” kini mendampingi orang-orang yang senasib. Tari bercerita, dari pengalamannya dari dekat dengan keduanya, penyandang HIV sangat tegar dan tidak ada keraguan menjalani hidup.
Dalam melakukan pendekatan, Tari mencari orang yang mereka percayai. Sebab ini adalah status yang disembunyikan. Untuk memamerkan karya itu pun Tari harus meminta izin kepada penyandang HIV yang ingin ia masukkan dalam pameran, karena bersifat privat. Bahkan ditera dalam perjanjian tertulis dan bermaterai.
“Membangun kepercayaan adalah proses yang agak lama. Awalnya terjadi penolakan, tapi saya berusaha kembali membangun kepercayaan, sehingga dipertemukan kembali. Dalam pendekatan keduanya harus terbuka, penanya dan narasumber. Sekitar satu bulan, sampai saya masuk di komunitas itu tanpa diwaspadai lagi,” jelas Tari.
Hal sama juga dialami Ratna Juwita (Ita) dengan karya foto dokumenternya tentang para penderita kusta di kawasan Jalan Daeng Tata, Makassar. Awal mengunjungi penderita kusta, ada kekhawatirannya bahwa soal penyandangnya akan minder. Namun ketika masuk berkeliling di dalam permukiman, justru Ita mendapati mereka sangat percaya diri. “Mungkin karena kesuksesan dari pembinaan di kampung tersebut,” kata Ita.
Di sana, penderita kusta memiliki pekerjaan seperti kebanyakan lainnya, seperti tukang kayu, tukang cukur, bahkan ada seorang tukang parkir yang berhasil umrah. Para penderita kusta ini dituangkan dalam seri foto “Ketidaksempurnaan yang Sempurna”. Anggapan bahwa keturunannya harus lebih baik dari mereka, membuat para penderita kusta berusaha membuat hidupnya lebih baik, menanamkan pada diri sendiri bahwa kusta tidak menghentikan langkah mereka. “Mereka hidup secara bersemangat, masa kita yang normal tidak?” kata Kak Ita.
Ardyanto melanjutkan diskusi dengan menceritakan kisah anak-anak yang terkena Celebral Palsy, gangguan sensor motorik, yang menjadi cerita foto dokumenternya berjudul “Perjuangan Penderita Cerebral Palsy”. Pendekatan Ardy cukup berbeda dengan ketiga fotografer sebelumnya. Ia mengambil rangkaian fotonya di tempat terapi. Dari situ, Ardy menyaksikan bagaimana semangat para orangtua yang membawa anaknya terapi demi kemajuan si buah hati. “Banyak anggapan bahwa anak-anak yang lambat jalan itu berarti catat.”
Ia ceritakan salah seorang anak yang menjadi objeknya. Namanya Rezky. Kakinya lemah, namun omongannya masih lancar. Penyakit ini lebih kepada gangguan perkembangan alat gerak dan postur tubuh akibat adanya kelaianan pada otak yang mempengaruhi sensor motorik. Penyebabnya kebanyakan ketika ibu hamil, banyak mengonsumsi makanan yang memiliki bahan pengawet.
Sedang Haryamin membawa kisah perokok anak. Menurut lelaki yang bekerja di Dinas Kesehatan Sulawesi Selatan ini, perokok anak sudah sampai pada tahap yang mengkhawatirkan. Ia mengaku mudah menemukan rangkaian foto bertema ini. Ia dekati sekolah, dengan meminta izin pada kepala sekolah. Dengan lensa tele, ia menangkap beberapa momen penting bagi seri dokumenternya.
Perokok anak menjadi target pengedar narkoba, kata Haryamin. “Sekali diberikan narkoba gratis, secara cepat pasti melahap, karena psikologi anak yang masih ‘melawan’ dan tertarik dengan hal-hal baru,” katanya.
Tema ini diambil Haryamin sebagai advokasi untuk menekan angka perokok anak. Ia ceritakan bagaimana ia mendapati anak sekolah merokok di belakang sekolah, juga guru yang merokok di kelas saat mengajar. Dalam satu kesempatan juga ia dapati tiga anak yang membeli rokok. Haryamin ‘mengejar’ dengan 3 anak kecil yang merokok itu. Ia terus mengejar ketiganya demi mendapatkan foto terbaik dari tiga anak tersebut.
Sesi bincang ini juga menghadirkan Yusuf Ahmad, kurator pameran “Kisah Para Penyintas”. Yusuf mengatakan, seri foto yang dibukukan ini menegaskan lagi pernyataan fotografer legendaris, Robert Capa, “Bila fotomu kurang bagus, itu berarti kamu kurang dekat (if your pictures aren’t good enough, you aren’t close enough)”.
Memang kata Yusuf, waktu lama tak bisa dihindari mengingat pendekatan yang mereka lakukan sangat personal. Itu ditambah juga dengan kekhawatiran dengan penyakit menular yang menjadi fokus para fotografer. “Saya juga sempat ingatkan mereka untuk memakai pengaman jika berada di lokasi.” Tapi seperti jawaban Vonny, itu membuatnya tidak nyaman. “Saya ingin berbaur dengan mereka”.
Pameran ini merupakan kelas foto dokumenter pertama GFJA Makassar. Meski baru dibuka tiga tahun lalu, kelas ini adalah kelas pertama yang dibuka di lingkup GFJA. Bahkan menurut Yusuf, GFJA Jakarta yang sudah memasuki kelas ke-22 belum pernah membuka kelas ini.
Mungkin saja Yusuf ingin mengatakan bahwa kesiapan mencoba hal baru bukan lagi tentang kematangan soal waktu. Itu lebih pada kebulatan tekad.[]
No Comments