25 Agu Bom Benang 2013: Warna, Warga, Makassar
BOM BENANG 2013 segera digelar! Ini kali pelaksanaan kedua. Bom Benang tahun lalu berlangsung di Kampung Buku, dengan membungkus pohon mangga yang tumbuh di depan perpustakaan tempat komunitas perajut Makassar itu kerap berkumpul. Tahun ini, bom benang akan “jatuh” di salah satu taman di Kota Daeng 25 Agustus.
Bila membandingkan setahun lalu, Bom Benang 2013 tampak lebih siap. Persiapan mereka pun jauh lebih matang. Sejak empat bulanan lalu anggota Quiqui bersibuk merajut. Masing-masing anggotanya yang berjumlah dua puluhan orang ditugasi membuat rajutan selebar setengah meter. Setiap lembar hasil rajutan akan disambung sesuai kebutuhan beberapa hari menjelang pelaksanaan. Dari segi estetika, karya para perajut lebih berani karena merajut bermacam motif. Berbeda Bom Benang 2012 rajutan polos dengan bermacam warna benang.
Amunisi mereka pun lebih banyak. Tahun 2012 mereka ‘hanya’ menghabiskan 70 gulung benang. Pada 2013 ini mereka mendapat banyak pasokan lewat berbagai cara dan dari banyak pihak. Lima puluhan benang yang digulung ulang dari proyek 2012 mereka pakai lagi. Quiqui lewat garage sale mereka menjual beraneka barang bekas yang disumbangkan anggotanya maupun simpatisan. Dari sini mereka mampu menghimpun dana pembelian benang yang menghasilkan 150 gulung. Ada juga simpatisan seperti Rara, seorang perajut di Yogyakarta, mengirim 20 gulung benang baru dan benang sisa. Simpatisan dari Makassar, Luna Vidya, menyumbang benang 3 cone besar (gulungan besar pakai bobbin di tengah) sekisar 3 kilogram atau 30 gulung (1 gulung = 100 gram).
“Jumlahnya kalau dikalkulasi bertambah lagi karena ada juga perajut memakai benang sendiri karena tidak sempat datang ambil benang karena sibuk ngantor. Akhirnya, tidak habis dipakai semua karena waktu yang tidak cukup. Perkiraan saya sekisar 200 gulung benang dihabiskan untuk bom benang tahun 2013,” terang salah seorang anggota Quiqui, Fitriani A Dalay.
Setiap gulungan benang rajutan mencapai 350 meter. Bila saja kita sambung tiap gulungan berarti panjang benang rajutan itu mencapai 70 kilometer!
BOM BENANG adalah istilah pengindonesiaan dari “yarn bombing”, yang berdasarkan berbagai sumber pertama kali tercatat di Den Helder, Belanda, pada 2004 lalu. Proyek semacam ini menyebar pula ke Texas, Amerika Serikat. Gerakan ini dipertalikan dengan Magda Sayeg dari Houston, seorang perempuan yang menyebut bahwa ide itu berawal ketika ia membungkus handel pintu butiknya. Meski sebenarnya jejak itu bisa dilacak lewat karya seniman di kota yang sama, Bill Davenport, tatkala memamerkan benda-benda yang ia bungkus dengan rajutan. Pada dasawarsa 1990-an, Houston Press dalam “Art: The Third Dimention” mengatakan, “Bill Davenport bisa dianggap sebagai pelopor patung rajutan dari Houston”.
Quiqui baru terbentuk dua tahunan lalu di Makassar. Mereka setiap pekan berkumpul di Kampung Buku, membuka kelas sampai kegiatan berskala besar seperti Bom Benang 2012. Sekali sebulan Quiqui janjian berpiknik di Benteng Fort Rotterdam—yang tentu saja sambil merajut dan memberi ruang bagi anak-anak mereka untuk menikmati taman di Benteng Ujungpandang.
Beberapa kali mereka mendapat kunjungan dari aktivis dan pemerhati soal gender dan ikut berbincang dengan para perajut. Anggota Quiqui kebanyakan perempuan—mulai perempuan muda, ibu muda dan baru berumahtangga, sampai yang sudah punya cucu. Wajar bila kegiatan mereka, semisal, kegiatan pada tahun lalu dirangkai sesi yang tidak berhubungan langsung dengan seni merajut tapi sesuai kebutuhan, seperti konsultasi kesehatan reproduksi.
Beberapa awalnya ikut sebagai terapi psikologis lantaran perubahan hidup karena memasuki jenjang rumah tangga. Belakangan mereka menganggap bahwa merajut dapat menghemat pengeluaran sehari-hari. Dengan merajut, kata mereka, beberapa kebutuhan bisa dibuat sendiri dan tidak menggantungkan diri lalu menjadi konsumen.
Tapi, tentu saja, merajut bukan hanya pekerjaan perempuan. Ini tampaknya cuma gambaran yang dibangun televisi karena kerap menyajikan adegan-adegan di dalam film yang menunjukkan pekerjaan itu dilakoni oleh perempuan tua di depan televisi dengan kursi goyang. Laki-laki pun melakukannya, sebagaimana Bill Davenport. Quiqui pun beranggota pria. Bahkan kepanitiaan Bom Benang 2013 dipimpin oleh Mubarak AM, pegiat Tanahindie dan Kampung Buku.
Tanggapan terhadap Bom Benang 2012 sangat semarak. Media cetak dan media elektronik menurunkan laporan perihal kegiatan dan memprofilkan komunitas ini. Para pegiat Twitter juga turut membantu persebaran informasi kegiatan ini. Sesekali pula pada pemerhati dan aktivis perempuan mengambil peran dalam kegiatan mereka, semisal menjadi narasumber diskusi tentang gender atau kesehatan reproduksi.
BOM BENANG tidak hanya memikat mata. Di balik itu, proyek Quiqui ini memiliki berlapis-lapis dimensi. Dua dari sekian dimensi itu yang bisa saya paparkan di sini adalah konteks ‘seni rupa’ dan bagaimana mereka menyikapi Makassar sebagai ‘kota’.
Dalam konteks seni rupa, cara kerja semacam ini patut mendapat perhatian sebab berhasil melibatkan banyak orang tanpa ada mengajukan diri sebagai sosok utama. Cara kerja begini tidak menonjolkan dan memunculkan aktor utama di atas ‘panggung’. Kerjasama-lah yang berjaya. Tidak kurang 30 orang terlibat dalam kerja besar merajut ini, ditambah dengan 10 relawan yang menjahit dan membuat bingkai untuk hasil rajutan. Jumlah ini sangat mungkin bertambah pada hari pelaksanaan. Dalam catatan saya, kerja-kerja semacam ini masihlah wacana baru di Makassar.
Quiqui memilih panggung luas bernama ‘kota’, yakni Makassar—kota yang disebut-sebut media lokal, sekira lima tahun terakhir memiliki pertumbuhan ekonomi tertinggi di Indonesia. Di luar dari itu, pusaran politik dan ekonomi kota ini begitu deras, tak menyisakan ruang bagi warganya. Kota ini memberhalakan benda-benda, tempat segala jenis kepemilikan fisik lebih dihargai. Kendaraan lebih dimuliakan di jalan. Ruang-ruang kosong bagi pejalan kaki diisi pariwara politik dari lembaran plastik, yang parahnya, tanpa jeda barang sekejap. Diperparah dengan karakter politik yang berisi pendukung yang homogen. Berani berbeda berarti bentrok!
Kota semacam Makassar, dalam pandangan antropolog Setha M. Low, adalah kota jenis post-industrial yang merevitalisasi pantai untuk menciptakan pusat kawasan turisme. Quiqui telah memberi sebentuk perbandingan dengan keramaian yang terjadi di Pantai Losari dan sekitarnya. Tampak jelas bagi Quiqui bahwa pelancongan bukan soal tempat atau titik geografis, melainkan cara berpikir bagaimana menghabiskan waktu bersama orang-orang terdekat. Tema Bom Benang 2013 “Waktu adalah Ruang” menegaskan semua itu.
Kota Makassar, bagi Quiqui secara tersirat, kota yang mengasingkan warganya sendiri. Bom Benang, mungkin ini langkah secuil menuju Makassar yang artistik, di antara belantara pencapaian yang dilakukan oleh pemerintah, korporasi, dan warga kota sendiri. [Anwar Jimpe Rachman]
No Comments