tanahindie | Bukan Galau Biasa
1048
post-template-default,single,single-post,postid-1048,single-format-standard,ajax_fade,page_not_loaded,,qode-title-hidden,qode-content-sidebar-responsive,qode-theme-ver-10.0,wpb-js-composer js-comp-ver-4.12,vc_responsive

Bukan Galau Biasa

(Muhaimin Zulhair)

Tulisan ini mayoritas terstimulasi oleh dua hal. Pertama, kalimat teman di salah satu media daring dan buku terbaru Ariel Heryanto, Identitas dan Kenikmatan (2015), serta beberapa hasil pengamatan sehari-hari. Untuk stimulan yang pertama akan disebutkan pada akhir tulisan ini dan yang kedua akan dibeberkan pada bagian awal. Data yang digunakan sebagian besar bersumber dari buku tersebut.

Saat ini kita hidup di zaman (yang secara pertama kalinya semenjak dunia ada) sangat membingungkan dan kompleks. Hal ini tidak terlepas dari Revolusi IT pasca Perang Dingin yang sangat signifikan mempengaruhi segala lini kehidupan termasuk budaya. Oleh karena itu, tidak heran kiranya pamor kajian Budaya Pop-Populer (Pop-popular culture) dalam dekade terakhir terlihat menanjak dan sepertinya tren kajian ini akan terus berlangsung pada dekade ke depan, terlebih di Indonesia.

Satu hal yang membedakan kajian budaya popular dan kajian budaya yang lebih dahulu hadir adalah bahasannya berdasarkan ideologi. Kajian budaya popular yang abai terhadap ideologi akan terjatuh pada kajian budaya non-popular. Beberapa tokoh prominent kajian ini antara lain Stuart Hall, Richard Hoggart, Raymond Williams, E.P Thompson, Paddy Whannel, para tokoh Mazhab Frankfrut dan sebagainya (lihat John Storey, 2015).

Perbedaan konsep budaya “pop” dan “popular” yaitu “pop” untuk komoditas industrialisasi (industrialized) bersifat top-down, sedang “populer” relatif  independen serta terdistribusi-acak. Kategorisasi konsep tersebut juga sejalan dengan konsep Chua (dalam Ariel, h.22). Sebagai contoh Hollywood sebagai  pemasok komoditas sinema satu arah (top-down) berarti budaya “pop”, sedangkan pergelaran musik indie yang menjalin asa melalui crowdfunding di salah satu kota merupakan budaya “populer”. Analogi komunikasi dari keduanya bisa kita anggap bahwa “pop” searah/monolog dan “populer” dialog. Permisalan analogi produksi “pop” untuk model produsen, distribusi dan konsumen; sedangkan “populer” untuk model sebagai produsen sekaligus distributor sekaligus konsumen. Seperti kata Anwar J. Rachman (2015), perbedaan model ekonomi populer ini berpola demikian menjadi produsen sekaligus konsumen.

Kebutuhan akan mengerti fenomena budaya manusia kontemporer dalam lingkup historis-geografis-ekonomi-sosial-politik partikular secara sistematis membuat kajian ini multidisiplin, hibrid, kompleks, dan padat, serta kaya perdebatan demi mendapatkan penjelasan komprehensif dibanding melakukan justifikasi berbasis prasangka. Dalam nuansa demikianlah nafas buku Ariel hadir, tentunya dengan teks umum yang selalu muncul di buku, yaitu “menyumbangkan sesuatu”.

Terdapat tiga variabel utama yang coba dijelaskan dalam buku ini, yaitu (1) post-islamisme, (2) budaya layar (screen culture) dalam kalkulasi lapis politis dan historis (yang juga menambah sub-variabel etnis), dan (3) asianiasi. Tentunya analisa kelas dan dimensi historis juga dimasukkan. Ketiga hal tersebut membentuk identitas dan kenikmatan.

Secara singkat berikut tesa pokok yang disampaikan Ariel (2015) dalam bukunya terkait variabel tersebut:

  1. Perdebatan fenomena islamisasi tidak dapat disimplifikasi dalam dikotomi Islamisasi vs Komersialisasi/Komodifikasi tetapi hendaknya dilihat sebagai dialektika antara bagaimana ketaatan beragama menemukan perwujudan dalam sejarah kapitalisme industrial Indonesia yang spesifik dan bagaimana logika kapitalis memberikan tanggapan (respons) pada pasar yang sedang tumbuh bagi revitalisasi dan gaya hidup islami (h.39).
  2. Analisis budaya layar (sinema, televisi, internet, media sosial)  tidak dapat terlepas dari konteks politik – kekuasaan rezim berkuasa dilihat secara historis.
  3. Analisis Asianiasi (fenomena K-Pop) dalam pergeseran sosial kultural tidak dapat melepaskan diri budaya popular “Barat” misalnya dalam hal keterkaitan produksi.

Lagi Galau? Like…

1Tentunya pembaca yang budiman familiar dengan fenomena like yang banyak tersebar di Line. Sesuatu fenomena yang lucu, aneh dan semakin umum. Untuk menyukai Rasul diharuskan “like”. Jelas, ini kekerasan teks! Ini seperti ingin menyatakan: “tidak (menekan tombol) like” berarti “tidak suka” pada Rasul. Padahal, setahu saya, resepnya sederhana menurut firman-Nya dan Nabi, yakni “jalankan perintah, jauhi larangan”. Tidak ada perintah “like”. Ini semacam tipu-tipu pemilik akun agar akunnya tetap “laku” di pasar. “Tapi kenapa banyak yang me-like bisa ratusan sampai ribuan orang?” menjadi pertanyaan yang terus mengemuka, sembari memikir apa gerangan yang terjadi lebih satu dekade awal abad ke-21 ini? Untuk jawaban false consciousness (kesadaran palsu) sudah pasti tetapi belum memuaskan. There must be a complex one!

3

2

Belum lagi novel-novel yang homogen, sinema yang plotnya berakhir di luar negri, kata-kata bijak motivator menginvasi setiap lini (bahkan baju kaos). The world is going crazier than ever. Tentang homogenisasi ini telah diperingatkan Franz Magnis S (2015) bahwa kapitalisme kontemporer membentuk masyarakat homogen dan budaya semu hanya menjadi orang kalau kita membeli barang terakhir yang mereka lontarkan ke pasar, nir-makna, dan terlalu berfokus pada diri sendiri. Yang terakhir dapat berwujud pemikiran individu yang tidak ingin berubah, keras kepala—sekalipun hanya mengandalkan nalar dan argumen acakadut atau jastifikasi yang lemah. Terlalu otonom dalam kekurangan.

Awal pikir, dua hal yang mungkin menjadi landasan orang-orang yang melakukan aktivitas like itu adalah (1) iseng dan (2) kenyataan se-desperate itu. Kalau iseng, mengapa teman dunia maya melakukannya hampir tiap hari? Oleh karena itu, dugaan pertama saya salah/gagal. There must be no iseng at all. Maka jatuhlah pada dugaan yang kedua bahwa kenyataan memang menyedihkan.

Hal tersebut diperkuat dengan informasi individu bahwa orang yang saya kenal melakukan daily like ini orang-orang yang belum menemukan jodohnya sekalipun telah mendapatkan pekerjaan yang tergolong bagus secara finansial (kelas menengah). Ada juga teman dari kelas pekerja yang masalah perekonomian menjadi masalah utama percintaannya. Apakah hidup semenyedihkan begitu seperti mitos Yunani Sisifus yang ditulis Camus? Absurd! Ataukah fenomena sosial ini hanyalah bentuk sublimasi individu untuk menguatkan dirinya sendiri. Singkatnya, dugaan mengenai “galau” ini menguat dan sekali lagi terjatuh pada psikologi sosial yang banal.

Setiap risalah menemukan pembacanya. Jalan ke Gramedia untuk membaca gratis mempertemukan pertanyaan-pertanyaan yang belum mendapatkan jawaban memuaskan tersebut dengan buku ini. Setelah membaca karya Ariel ini, dugaan galau itu melemah digantikan dengan analisis yang lebih luas, bukan “galau biasa”, lebih sistematis dan komprehensif, serta reflektif.

Pemaparan buku ini memperlihatkan fenomena adanya revitalisasi hidup gaya Islami dalam industri kapitalis mutakhir dan respons kapitalis itu sendiri. Ini adalah sebuah proses yang berlangsung tidak hanya dalam lingkar domestik, tetapi juga di belahan bumi lainnya (regional-internasional) seiring dengan perubahan geopolitik dan perkembangan ilmu dan teknologi.

Meminjam dan menyesuaikan konsep Asef Bayat, Ariel mencoba menerapkannya untuk menganalisa fenomena di Indonesia. Konsep Asef Bayat tentang “Post-Islamisme” dibangun oleh serangkaian penelitian dan pengamatan perubahan politik dan kebudayaan di Timur Tengah. Post-Islamisme bukan merupakan fase historis dalam pengertian mekanis dan deterministik; tetapi bisa saja berlangsung bersamaan. Asef Bayat (dalam Ariel h.50) mencontohkan kebangkitan bintang dakwah TV Mesir, Amr Khalid yang pada tahun 1999 menyampaikan 21 pelajaran per minggu di rumah-rumah keluarga terpandang puncaknya 99 pelajaran bada bulan Ramadan. Di Indonesia, bintang dakwah ini dimulai dari AA Gym dan beberapa orang setelahnya. Hingga kini bahkan muncul penceramah yang malah mirip stand up komedi dengan akting yang mumpuni dalam sekian menit berubah dari riang ke tangis penuh air mata. Bayat (h.53) lebih lanjut menyebutkan, kelompok anak muda di Iran ditahan karena memainkan musik dan membuat berisik di tempat umum. Mereka adalah sekelompok pemusik underground dan rock berjaya di pesta-pesta tersembunyi. Sejumlah anak perempuan, dalam mengejar individualitas dan hasrat memiliki pacar, kabur dari rumah. Jumlah mereka sudah mencapai 60 ribu orang pada tahun 2002. Sayangnya, banyak dari mereka berakhir di komunitas jalanan, penjara, atau tempat penampungan. Untuk lebih jelas, konsep Bayat tentang Post-Islamisme sebagai suatu kondisi dan sebuah proyek dapat dibaca langsung di buku ini.

Di Indonesia, menurut Ariel (h.55), status baru orang muda Muslim menemukan diri mereka sejajar dengan kelas menengah lain di seluruh dunia dalam hal pendidikan, kecanggihan budaya, kehormatan diri dan gengsi, sembari tetap secara khusus membanggakan ketakwaan keagamaan mereka. Ketaatan ini dapat membangkitkan berbagai macam tanggapan: perasaan unggul secara moral bagi sebagian mereka, kerendahan hati yang penuh percaya diri dan tercerahkan, atau sebuah sikap yang beralih-alih antara perasaan keunggulan moral dan kerendahan hati.

Lebih lanjut generasi post-Islamisme di Indonesia dibentuk oleh media (buku ini mengambil contoh besar yaitu layar [dasinema]). Pertempuran sinematis terjadi film Ayat-ayat Cinta (2008, Bramantyo), Perempuan Berkalung Sorban (2009, Bramantyo), dan Ketika Cinta Bertasbih (2009, Chaerul Umam). Ariel menjelaskan, pertempuran-pertempuran sinematis tersebut dengan gamblang baik dari kapitalis produser, debat hangat seputaran fans novel maupun produk sinema dan sebagainya. Untuk menunjukkan kontroversi dalam produksi sendiri misalnya dengan mengutip blog Hanung Bramantyo (h.84):

“Membaca novel Ayat-ayat Cinta membuatku muak. Aku tidak tahan melihat karakter Fahri yang too good to be true. Ganteng, pintar, alim dicintai perempuan cantik secara bersamaan. Seolah begitu mudah perempuan datang kepadanya tanpa sedikitpun Fahri aktif melakukan pendekatan. Aku tidak selesai membaca novel itu…”

Sedikit refleksi, novel AAC laku keras di zamannya. Beberapa orang yang mengonsumsi novel itu berubah bentuk kepribadian dan identitas terselimuti dengan karakter tokoh. Pernah terpikir ingin juga pergi ke Mesir melihat keindahan alam Sungai Nil. Tetapi setelah dipikir-pikir, mengapa saya mau ke Mesir? Sebagai orang yang tahu sedikit horizon konflik yang ada di Timur Tengah, mending saya ke Enrekang menikmati alam, tenang, makan sayur tuttu’ (sayur daun ubi), dan mandi pagi dengan gigi yang bergemeretak. Orang Timur Tengah banyak yang kabur dari negaranya. Mengapa saya mau ke sana? Dapat dikatakan Novel itu magis pada tahunnya. Habiburrahman El Shirazy telah menerima bayaran dari Penerbit Republika Rp 1,5 miliar dan bayaran per bulan Rp 100 juta pada tahun 2007 (Kartanegara dalam Ariel h.83), atau sekitar 40-50 kali lebih tinggi ketimbang rata-rata gaji bulanan seorang dosen yang baru meraih doktor.

Kesuksesan itu membawa sinema-sinema lain dalam gerbong yang sama muncul pada tahun-tahun berikutnya. Kritikus film Indonesia, Eric Sasono (dalam Ariel h.57) mengatakan:

“Hampir semua film yang bertema Islami pada masa pasca-Soeharto menganggap capaian pribadi sebagai perwujudan dari ketakwaan. Capaian pribadi ini dalam beberapa film berarti kemakmuran ekonomi, sementara pada yang lainnya bermakna pendidikan yang lebih tinggi. Seberapa pun kuatnya ikatan kebersamaan dan persahabatan yang menjadi latar belakang karakter-karakter dalam film tujuan terpenting mereka adalah untuk mencapai pendidikan yang tinggi atau menjadi kaya…”

Selain layar, tentunya hal lain dalam pembentukan identitas pop-populer ini berasal dari novel, media sosial, aktor motivator, kurikulum (misalnya usahawan) dan sebagainya. Namun buku Ariel Heryanto membatasi lingkup pada media layar.

Untuk mengetahui tentang Asianisasi (gelombang K-pop) yang sedikit banyak mempenetrasi kebudayaan pop anak muda dapat langsung dibaca pada bukunya Ariel atau Chua Beng Huat (East Asian Culture, Analysing the Korean Wave, 2008). Suatu gelombang budaya pop setelah J-Pop yang telah memulai sejak awal 1990-an dan sekarang kehilangan daya dan pamor. Yang mengherankan fakta keras, Korea Selatan hanya berpenduduk 51,5 juta jiwa (tidak lebih banyak dari penduduk Provinsi Banten + Jawa Barat) dan luas 100 ribu km2 (tidak lebih luas dari Provinsi Kalimantan Barat) tetapi mampu menyihir banyak kawula muda melalui budaya layar.

Galau Sejarah

Tidak lupa juga Ariel mengantisipasi generasi yang tercabut dari akar sejarahnya. Dengan memperlihatkan sinema digunakan sebagai alat propaganda penguasa dalam menciptakan narasi sejarah versi resmi pemerintahan diktator Soeharto, buku ini mengungkapkan sejarah perpolitikan dan idiologi berkuasa. Pemerintahan Soeharto membutuhkan “hantu” yang terus menakuti sehingga kekuasaannya akan terus terlegitimasi dan membentuk pola pikir, sebagaimana digunakannya saluran TV nasional dalam pemutaran dan dikeluarkannya instruksi Negara seperti Kep-16/KOPKAMTIB/4/1969 untuk pembentukan “Proyek film KOPKAMTIB” yang bertanggung jawab membuat film dokumenter sebagai psywar (h.118).  Dua film awal yang disponsori Negara adalah Janur Kuning (1979) dan Serangan Fajar (1981). Menyusul film Pengkhianatan G30 September (tontonan wajib sampai tahun 1999), Penumpasan Sisa PKI di Blitar Selatan [Operasi Trisula] (1986), Djakarta 1966 (1988).  Penjelasan mengenai kontroversi sinema membentang di bagian isi buku ini sampai film The Act of Killing (2012).

Beririsan dengan itu, Ariel menjelaskan (h.44-45) pada tahun awal dekade 1990-an Soeharto beralih haluan secara radikal dalam strategi politiknya dengan secara aktif mengajak kelompok-kelompok Islam dari berbagai orientasi ideologi untuk masuk ke dalam pemerintahannya. Langkah ini sebagai langkah darurat menyelamatkan kekuasaannya ketika gesekan di lingkar terdekatnya serta basis kekuasaannya mencapai titik yang tidak terselamatkan lagi, serta mengancam tiga dekade kediktatorannya. Pada dekade 1970-an – 1980-an, rezim Soeharto melakukan stigmatisasi terhadap kelompok Islam politis dan menindas segala bentuk aktivisme Islam politik. Pada pertengahan dekade 1980-an, para perempuan pelajar mendapatkan hukuman karena menggunakan jilbab di sekolah negeri. Dua dekade setelahnya (pasca Reformasi) semua berbalik, baik yang berorientasi liberal sampai ekstremis tumbuh subur dan regulasi di beberapa provinsi mensyaratkan pemakaian jilbab.

Komentar kecil ditujukan kepada penelitiaan Siahaan (dalam Ariel h.172) yaitu ketika sekelompok mahasiswa (umur 20-an)  belum pernah mendengar pembunuhan massal 1965-1966. Ketika ditanya apakah cerita itu perlu disampaikan kepada seluruh bangsa Indonesia, salah seorang mahasiswa Fakultas Hukum menjawab, “Untuk apa? Zaman Soeharto sudah berakhir.”

Jawaban “untuk apa?” ini menarik. Dari segi penelitian bisa saja data minoritas ini sesungguhnya menggambarkan kuantitas yang lebih besar yang membentang dari Sabang sampai Merauke. Harusnya ini dijawab dengan nalar yang sederhana saja bahwa agar kita memiliki sejarah yang jelas demi jalan masa depan. Nalar sederhana dengan cara populer bisa saja dikembangkan tidak perlu diskusi kopi dan rokok sampai pagi ala aktivis. Bagi mereka kebanyakan akan tidak tahan dengan diskusi mengernyitkan dahi seperti itu. Generasi mereka dapat dikatakan tanpa beban utang budi di orde Soeharto bahkan mungkin ada yang belum pernah nonton film propaganda G30S/PKI; berbeda dengan orang yang mendapat jabatan ketika zaman Soeharto atau hidup semasa kecil mengonsumsi film propaganda tersebut dan mengkristal di pikirannya. Jadi sebenarnya generasi yang berjalan mempunyai peluang objektif dalam penilaian tetapi tidak menutup kemungkinan juga ignored.

Jika diibaratkan zaman Sukarno (tesa) – Soeharto (anti-tesa) – pasca Reformasi (sintesa). Sintesa yang sampai sekarang masih mencari dan bertarung bentuk.

Nalar sederhana cara populer itu misalnya begini. Sejauh ini kita mendapatkan dua narasi sejarah yang berbeda: narasi sejarah bentukan Soeharto dan narasi sejarah yang berada di seberangnya. Bila ditekankan dari posisi pembunuhan massal, apakah penjagalan itu baik-buruk atau benar-salah? Tentu alasannya tidak dapat dibenarkan. Apakah pertikaian petinggi militer benar-salah atau baik-buruk? Penilaiannya situasional. Contoh, intrik petinggi militer atau dahulu di zaman kerajaan menjadi hal yang biasa, semisal dibunuhnya Julio Caesar (Raja Kerajaan Romawi) sekitar tahun 44 SM oleh konspirasi beberapa orang senat dan Brutus. Apakah Brutus cs membunuhi semua pendukung Julio Caesar sampai ke desa-desa? Tentu tidak. Untuk kasus Indonesia, apakah benar pertikaian elite beberapa nyawa melayang dibalas dengan ratusan ribu nyawa melayang juga? Apakah benar dan adil bila tiba-tiba keluarga Anda di desa dibunuh beramai-ramai hanya dikarenakan pelabelan oleh Negara dan menggunakan perpanjangan tangan rakyat membunuh rakyat secara masif dan sistematis? Negara hadir melindungi rakyatnya. Jika rakyat dibunuh, apakah Negara/Pemerintah yang berkuasa itu benar dan baik? Jawabannya tentulah tidak. Genosida tetap genosida. Akan sama ceritanya dengan diktator Polpot di Kamboja (1975-1979) atau Slobodan Milosevic (1995) yang menggelorakan nasionalisme untuk membunuh muslim Bosnia dan lain-lain. Cerita yang sama apa? Pembunuhan massal, kejahatan kemanusiaan.

Sejarah harus jelas mengakui keburukan itu dengan dagu terangkat harus mengakui itu kejahatan kemanusiaan. Apakah benar membela pemimpin yang melakukan itu dan mengatakan itu sesuatu yang patut dilakukan? Jelas tidak.  Piagam Madinah saja yang dibuat Nabi Muhammad SAW (622 M) melindungi yang berbeda agama dalam teritorialnya. Masak sudah sama warna kulit, sama bahasa, sama agama, cuman berbeda waktu nyoblos partai atau menerima bantuan dari salah satu parpol dibunuh secara massal! Logikanya apa?

Meski dalam metode sejarah terdapat fallacy apabila menilai masa lalu menggunakan kondisi kekinian, tetapi hal ini berhubungan metode populer saja dalam menyampaikan ke generasi yang ke depannya akan semakin “putus”. Lalu pelabelan bahwa yang membela sejarah non-resmi berhubungan dengan kegiatan “laten” “antek” itu lain soal (meski tuduhan datang bersamaan). Pertama, akui dulu bahwa pembunuhan massal itu dosa besar bangsa dan sejarah buruk rezim yang bertahan 3 dekade setelahnya, biar tidak galau lagi mengenai sejarah. Kelas menengah disindir, kelas menengah diharap, tapi harapan tetap jatuh di kelas menengah juga dikarenakan mereka lebih punya energi untuk mengurusi hal non-ekonomi dibandingkan kelas bawah.

Taat Online

Kembali ke masalah like, setelah mengetahui sedikit, maka terang benderanglah “bukan galau biasa” yaitu generasi yang mengonsumsi budaya pop dan sedang dalam proses revitalisasi gaya hidup Islami dalam industri kapitalis kontemporer. Di lain sisi, para kapitalis juga merespons memanfaatkan hal ini. Sehingga adagium “kita adalah yang kita konsumsi” menjadi terbukti. Taat dalam online agaknya akan semakin menjadi-jadi, baik generasi yang baru tumbuh (digital native), generasi digital immigrant, ataupun generasi yang mapan secara ekonomi. Taat dalam online (apapun kepercayaannya) menjadi identitas dan kenikmatan, di saat bersamaan ia menjadi ekspresi kelas. Semakin bunglonlah manusia.

Oh iya, harga buku Ariel Heryanto Rp 60.000. Tentu worthy untuk dibeli dibandingkan membeli sepinggan pizza, yang ujungnya berakhir di toilet.

Untuk yang terakhir, teman menuliskan di salah satu media sosial “Selamat siang, sudahkah anda mengupload kata-kata bijak yang didahului kata “terkadang” “ada saatnya” hari ini?

Tak ada nyinyir, hanya satir.

Buku:

Ariel Heryanto, Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia, 2015

Chua Beng Huat (editor), East Asian Culture: Analysing Korean Wave, 2008

Franz Magnis Suseno, Agama, Keterbukaan dan Demokrasi: Harapan dan Tantangan, 2015

John Storey, Cultural Theory and Pop Culture: An Introduction 7th Edition, 2015

No Comments

Post A Comment