tanahindie | Buzz, 100 Doa Pendek Ala Iwang
29
post-template-default,single,single-post,postid-29,single-format-standard,ajax_fade,page_not_loaded,,qode-title-hidden,qode-content-sidebar-responsive,qode-theme-ver-10.0,wpb-js-composer js-comp-ver-4.12,vc_responsive

Buzz, 100 Doa Pendek Ala Iwang

Sabtu malam di pertengahan Juni 2008, suara tawa renyah terdengar di Ruru Gallery. Tawa itu lepas dari lima remaja putri yang tengah asyik membaca kumpulan doa di salah satu sudut galeri yang terletak di kawasan Tebet Jakarta Selatan. Pemandangan itu tentu bukan hal yang lazim kita temui terjadi di sebuah galeri. Bagi sebagian besar masyarakat kita, galeri adalah tempat orang-orang dewasa menikmati karya seni dalam hening dengan dahi berkerut.Kumpulan doa yang berisi 100 doa pendek yang dibaca lima remaja putri itu adalah salah satu bagian dari pameran bertajuk ‘Happiness’ karya Irwan Ahmett yang akrab dipanggil Iwang. Pameran “Happiness” ini adalah program pertama yang dilakukan oleh Ruru Gallery yang dikelola oleh Ruang Rupa sebuah initiative artist yang hadir sejak delapan tahun lalu.Iwang membuka pamerannya dengan membuat sebuah presentasi kisah tentang makna kebahagiaan dari orang terdekatnya. Bagi ibunya, kebahagiaan adalah ketika ia bisa mencium tangan Abdullah Gymnastiar. “Tampak sepele bagi kita, tapi bagi ibu saya, mencium tangan Aa Gym membuat ia bahagia. Singkatnya, kebahagiaan itu sangat personal dan sebuah kekuatan besar di balik tindakan seseorang” tuturnya.

Berangkat dari hal yang sangat personal yaitu pertanyaan-pertanyaan seperti; “Kenapa saya dilahirkan?”, “Siapa orang yang paling saya sayangi” dan “Sudah bahagiakah saya” yang sangat mungkin juga dipertanyakan semua orang, kegelisahan akan pencarian makna kebahagiaan itu kemudian diolah dan diformulasikan dengan caranya sendiri.

Ia kemudian menghampiri publik dengan gagasan sederhana bahwa kebahagiaan adalah sesuatu yang dapat dipelajari dan dengan sendirinya dapat diraih oleh siapa saja tanpa terkecuali. Gagasan sederhana ini lalu diterjemahkan melalui medium-medium yang sangat intim dengan kesehariaan masyarakat urban. Buku, handphone, kaset, pakaian dalam, kumpulan doa dan berbagai medium yang berhasil membunuh jarak antara karya seni dengan penikmatnya dalam kemasan urban art.

Urban art hadir menggantikan fungsi seni yang tadinya agung, klasik, murni, tinggi serta tradisional. Nilai-nilai tersebut kemudian diruntuhkan dalam urban art dengan cara menghadirkan karya seni ke tengah publik melalui media-media yang lekat dengan keseharian masyarakat kota. Seni tak lagi hanya ditampilkan dalam galeri saja, tapi juga menjadi media ekspresi yang bertarung di fasilitas publik dengan media lain semacam iklan di TV, billboard iklan, poster promosi dan lain-lain yang mendominasi hampir setiap ruang publik.

Salah satu sarana ekspresi yang menarik dalam pameran ini adalah sebuah buku kumpulan doa dan ruang bagi orang untuk berdoa yang diletakkan menghadap ke kiblat di salah satu sudut galeri. Dalam buku kumpulan doa itu ia memodifikasi doa-doa umum yang biasanya panjang menjadi doa-doa pendek. Kumpulan seratus doa pendek dengan cerdas memotret sekaligus juga melakukan sindiran pada masyarakat urban yang kian hari semakin terjebak pada kehidupan instan. Segala hal dilakukan dalam ketergesaan, bahkan untuk berdoa!

Kumpulan doa ini menampilkan permasalahan-permasalahan yang kerap terjadi dan mendominasi masyarakat urban mencakup masalah sosial, ekonomi, politik dan budaya. Dibuka dengan doa “Kau tahu yang kumau”, sebuah plesetan dari tagline iklan sebuah produk fresh drink yang setiap hari menyapa melalui tv. Tentunya, juga tanggapan bagi iklan-iklan lain yang menyergap masyarakat melalui tv. Respons-respons terhadap iklan ini hadir dalam berbagai doa; “Hilangkan bau badanku” dan “Putihkan warna kulitku”.

Konsumerisme yang muncul seiring serbuan propaganda iklan yang gencar dilakukan oleh media massa, memaksa masyarakat urban kian konsumtif. Fenomena ini dihadirkannya dalam doa “Biarkan discount terjadi setiap hari” dan “Tuhan! Uang seribu sudah tak laku”. Dua lembar uang seribuan juga diletakkan begitu saja di lantai galleri untuk menunjukkan tak berartinya uang seribuan dalam budaya konsumerisme.

Iwang tak hanya memberi respons pada serbuan iklan, ia juga meledek masyarakat urban yang terjebak dalam budaya televisi. Simaklah doa “Semoga aku masuk tv”, dengan cerdas Iwang menangkap harapan akan surga yang kini beralih pada televisi yang menjanjikan beragam mimpi.

Permasalahan kemacetan yang menimpa masyarakat urban di tengah hidup yang menuntut segalanya serba cepat juga dapat kita temukan di dalam buku kumpulan doa ini. Baca doa-doa berikut; “Hijaukan semua lampu merah untukku”, “Jangan lagi aku dioper di metromini” atau “Perpendek jarak kantorku”.

Pada acara artist talk yang diadakan Ruangrupa, Iwang menuturkan ketergantungannya pada internet, “Sehari tanpa internet, serasa kiamat deh,” ungkapnya. Internet dan hape kini bukan lagi sesuatu yang mewah bagi masyarakat urban kita. Konter-konter penjual pulsa dan warung internet marak bermunculan di perkotaan. Fenomena ini memberi gambaran betapa konsumsi pulsa dan internet masyarakat urban mungkin sebanding dengan kebutuhan pokok lainnya.

Tak mengherankan bila permasalahan yang dihadapi dalam hal teknologi komunikasi dan informasi mendapat tempat yang luas dalam kumpulan doa ini. Terdapat sedikitnya 15 doa; “Awetkan pemakaian pulsaku”, “Cepatkan koneksi internetku” atau “Cepatkan jariku untuk ketik sms” serta beragam doa lainnya. Fasilitas tehnologi komunikasi yang menawarkan beragam kemudahan juga mengikut-sertakan dampak negatif. Ketersediaan phonebook dalam hape kemudian berperan dalam penurunkan kemampuan daya ingat seseorang. Doa “Kuatkan ingatanku untuk mengingat nomer telepon” dan “Jauhkan aku dari lupa”

Tekanan hidup dan beban pekerjaan yang menimpa masyarakat urban tak luput dari pengamatan Iwang yang dalam kesehariannya bekerja sebagai desainer grafis. Tak mengherankan bila ia menyodorkan doa semacam “Cepatkan datangnya week end” dan “Perbanyak tanggal merah tahun depan” bagi audiens-nya. Di antara himpitan waktu yang kian sempit tuk bisa sejenak lepas dari rutinitas, doa-doa ini bisa jadi memang hadir dalam keseharian masyarakat urban.

Tak hanya mendekatkan publik dengan karyanya Iwang juga melibatkan mereka dalam proses kreatifnya. Pelibatan publik, dalam hal ini orang-orang terdekatnya dan bukan dari kelas menengah ke atas, ke dalam proses kreatif juga menjawab mengapa Iwang bisa menghilangkan sekat dengan publik “Happiness”. Pemilihan foto-foto, salah satu medium yang dipakai Iwang, dilakukan oleh pembantu dan tukang kebunnya. Tak heran bila yang hadir adalah foto-foto yang begitu akrab dengan audiens. Tukang ojek, mahasiswa, ibu rumah tangga tentulah orang-orang yang tak asing lagi dengan kesehariaan kita.Menggunakan medium foto Iwang melukiskan betapa kebahagiaan adalah sesuatu yang sangat personal. Ada enam foto, ditampilkan melalui poster, yang menggambarkan sumber-sumber kebahagiaan yang berbeda bagi setiap orang. Bisa jadi sumber kebahagiaan itu sangat sederhana seperti es krim, sepatu atau seks yang menyenangkan.Tak lupa, Iwang juga mengundang publik untuk menuangkan rumusan kebahagiaan ke dalam ruang berukuran sekitar 1 x 2 meter di atas tripleks. Kebahagiaan ternyata gampang-gampang susah semisal ‘Saya mau kawin lagi’ atau ‘Kebahagiaan itu adalah bila kita mampu melihat diri kita seutuhnya dan mensyukurinya”Iwang juga sangat total meleburkan diri dalam proyek-proyeknya. Dalam project (proyek) sebelumnya yang bertajuk Change Your Self, Iwang bahkan sampai menambah kata Ahmett di belakang namanya sebagai bagian dari project itu. Dalam proyek di mana ia mengajak orang untuk melakukan perubahan dengan memberi nama baru di belakang nama masing-masing. Peleburan dirinya sampai batas sejauh-jauhnya hingga ia membuka diri seluas-luasnya dengan kesediaannya menerima email, sms dan telepon dari publik selama kurun waktu 2005 – 2007 ketika proyek itu berlangsung.Bagi Iwang, sebuah karya dinilai bukan pada apa yang terlihat atau terasa tapi bagaimana karya itu bisa bekerja menyampaikan gagasan dan, kalau bisa, menawarkan solusi akan sebuah masalah. Ia meminjam pendapat Steve Job “Design is not just what it looks like and feels like. Design is how it works” yang juga dituliskannya pada dinding galeri sebagai bagian dari pameran.

Latar belakangnya sebagai pelaku desain komunikasi visual berperan penting dalam usahanya memahami konsep komunikasi dan ungkapan kreatif, teknik dan media untuk menyampaikan pesan dan gagasan. Melalui desain komunikasi visual ia mengembangkan bentuk bahasa komunikasi visual berupa pengolahan pesan pesan untuk tujuan sosial yang ditujukan kepada pemirsanya.


Pada prinsipnya desain komunikasi visual adalah perancangan untuk menyampaikan pola pikir dari penyampaian pesan kepada penerima pesan, berupa bentuk visual yang komunikatif, efektif, efisien dan tepat. terpola dan terpadu serta estetis, melalui media tertentu sehingga dapat mengubah sikap positif sasaran. elemen desain komunikasi visual adalah gambar/foto, huruf, warna dan tata letak dalam berbagai media. baik media cetak, massa, elektronika maupun audio visual.
Tidak seperti seniman yang mementingkan ekspresi perasaan dalam dirinya, Iwang selaku seorang desainer komunikasi visual adalah penerjemah dalam komunikasi gagasan. Menurutnya, ekspresi itu harus dimengerti dan harus membuat sesuatu terjadi. Jadi sebuah karya seni bukan hanya asal coret kuas saja, tetapi harus ada yang bisa diberikan di baliknya. Ini kemudian ia wujudkan ketika menanggapi bencana Lumpur Lapindo yang terjadi di Porong, Sidoarjo. Iwang menawarkan pendekatan berbeda dan menarik melalui medium yang setiap hari kita lihat yaitu cetak urban berupa stiker dengan tulisan ukuran tinggi lumpur dan dipasang dengan ketinggian yang sama. Stiker tersebut ditempel di area-area publik untuk menyentil kesadaran masyarakat akan kondisi bencana lumpur Lapindo tersebut.Bagi Anda yang melewatkan pameran ini, bisa melihat karya tersebut di situs pribadi Iwang, www.ahmettsalina.com. Di situs itu, ia juga mencantumkan jam yang menghitung mundur waktu ke banjir 5 tahunan Jakarta yang merupakan sebuah kritik agar kita bisa membenahi Jakarta agar tidak tenggelam lagi seperti awal tahun 2007 ini.Seniman lain tentu memiliki kepedulian dan komitmen yang sama akan realitas sosial yang terjadi pada masyarakat sekitarnya tapi menggunakan pendekatan berbeda dan medium lain. Mungkin banyak lukisan yang tercipta karena bencana banjir tahunan Jakarta itu. Pertanyaannya adalah seberapa efektif lukisan itu bisa membangkitkan kesadaran masyarakat bila hanya segelintir orang bisa melihatnya di dalam galeri. Di celah inilah Iwang dan urban art hadir dengan gagasan dan medium yang begitu intim dengan masyarakat.
No Comments

Sorry, the comment form is closed at this time.