tanahindie | Cerita Komputer di Pegunungan Latimojong
258
post-template-default,single,single-post,postid-258,single-format-standard,ajax_fade,page_not_loaded,,qode-title-hidden,qode-content-sidebar-responsive,qode-theme-ver-10.0,wpb-js-composer js-comp-ver-4.12,vc_responsive

Cerita Komputer di Pegunungan Latimojong

Persentuhanku dengan komputer kira-kira berawal pada pertengahan tahun 1990-an. Sejak usia sekolah dasar, seingatku, kami sering disuguhi cerita masa depan yang terang benderang berisikan salah satu barang imajiner, komputer.

Mungkin akses informasi dan kebutuhan akan barang zaman masa depan itu adalah bujukan urbanisasi bagi kami, bocah-bocah pedalaman lereng pegunungan Latimojong. Nyatanya, barang itu bisa sesekali diimajikan lewat tayangan Layar Emas RCTI yang butuh perjuangan keras untuk bisa menontonnya. Tahun 1995, antena parabola baru ada dua di kampungku.

Komputer acap kali menjadi isi pidato kepala sekolah kami saat menjadi pembina upacara bendera tiap Senin. Biasanya, pembicaraan yang menyertai pengucapannya adalah masa depan itu disebutnya era pasar bebas dan globalisasi—yang serba mudah dan kita harus terdidik agar bisa menjadi salah satu pemain dalam lapangan kerja.

Akhirnya aku benar-benar melihat dan menyentuh komputer saat bersekolah di SLTP Negeri 1 Baraka. Laboratorium komputer topik perbincangan yang tak henti-hentinya diucapkan para guru bahwa sekolah kami yang pertama mendapat fasilitas begini di Kabupaten Enrekang. Tahun 1997 pertama kali aku memiliki barang canggih berupa disket DOS dan floppy disk, kami namai disket A. Setiap siswa wajib memilikinya, syarat mengikuti mata pelajaran komputer di laboratorium.

Tidak ada lagi yang bisa kuingat tentang “Disk Operating System”. Aku lupa bagaimana cara membuat tabel yang dulunya bisa kulakukan dengan mudah. Laboratorium komputer di sekolahku menjadi tempat favorit saat hari terik. Ruangan itu satu-satunya yang berpendingin ruangan. Ruangan itu kadang aku gunakan sebagai panggung dongeng kepada teman-temanku tentang aktivitas kakakku sebagai pencinta alam yang memang mengagumkan saat itu.

Tahun 2000, aku melanjutkan bersekolah menengah atas jauh dari kampung halaman. Sekolahku terletak di Dusun Pangajiang, Desa Salutoa, Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa. Sekolah menengah tingkat atas itu disebut SMA Plus oleh penduduk sekitar, berjarak sekitar 72 kilometer timur Makassar. Meski namanya SMU Plus, bagiku, laboratorium komputernya tidak bisa disebut “plus”. Hanya terdapat beberapa unit PC tua yang jarang digunakan. Aktivitas belajar mengajar di laboratorium itu sangat jarang terjadi. Seingatku, kami bahkan sangat jarang mengakses tempat itu.

Sekali waktu, aku pernah merasa sangat takjub ketika salah seorang senior kami yang kala itu berkuliah di Teknik Elektronika ITB Bandung, datang dan berdemonstrasi di Laboratorium tentang bagaimana sistem kerja hardware (piranti keras) pada komputer. Kak Darmawan, begitu kami memanggilnya, terlihat begitu menguasai cara menangani piranti keras, membongkar dan memasangnya kembali.

Komputer laboratorium sekolah kami adalah PC (personal computer) tua bantuan pangkalan militer Amerika Serikat di Filipina yang telah ditutup beberapa tahun sebelumnya. Bantuan PC itu satu paket dengan ribuan eksemplar buku berbahasa Inggris yang menghuni rak-rak perpustakaan sekolah kami. Saat itu, buku-buku berbahasa Inggris bagi saya lebih menarik untuk dijamah ketimbang memikirkan komputer IBM yang ada di Lab.

Peraturan penggunaan barang elektronik sekolah kami tergolong ketat. Radio tape compo saja hanya boleh ada satu untuk setiap blok asrama. Penggunaan HP pun sangat dilarang. Ada beberapa temanku yang telah memiliki barang canggih itu sekitar tahun 2001-2002. Seorang teman kamarku malah telah  memiliki laptop pada tahun itu. Kami hanya bisa melihatnya kalau keadaan asrama dirasa sedang aman. Biasanya dipergunakan untuk menonton film atau mendengarkan lagu.

Teman kamarku itu sering mengajakku pulang ke rumahnya di Sungguminasa saat jadwal keluar asrama setiap bulannya. Kami melakukan banyak hal bersama, termasuk mencuri koneksi telepon rumah yang kabelnya dia sambungkan ke komputer saat orang tuanya sudah lelap tidur. Bersamanya, saya akhirnya melihat tampilan layar website untuk pertama kali. Aku belum melakukan apapun dengan internet, hanya menonton yang dia lakukan. Temanku ini memang melek berbagai hal tentang komputer, game, dan internet. Dia bahkan berlangganan majalah Chip, majalah komputer dan IT yang terbit bulanan. Kerap kali dia mengeluhkan kecanggihan isi artikel atau katalog majalah yang barangnya belum dijual di Makassar.

Aku tidak begitu mengingat apakah pada tahun 2002 atau 2003 aku membuat akun untuk email pertama kalinya. Jelasnya, aku membuat akun itu di Cyber Surf, sebuah warung internet (warnet) di sudut pertigaan Jalan Ahmad Yani dan Jalan Kajaolalido, Makassar. Bersama dengan seorang teman, hanya situs yahoo.com, 17tahun.com, dan helloween.org yang kami akses saat itu. Aku juga lupa berapa tarif per jam main internet di tempat itu.

Setamat SMA tahun 2003, aku menjadi lebih sering bersentuhan dengan komputer dibanding sebelumnya. Aku tinggal di sebuah gerai outdoor lifestyle “Leang” di depan seberang jalan kantor gubernur Sulawesi Selatan, Jalan Urip Sumoharjo Makassar. Toko itu menjual berbagai keperluan olahraga kepencintaalaman. Terdapat dua unit PC di tempat itu yang sering aku gunakan sekadar belajar mengetik atau bermain solitaire.

Pertengahan 2003, aku melanjutkan pendidikan di Yogyakarta. Aku lebih menikmati pergaulanku di kota itu ketimbang memikirkan bagaimana perkuliahan. Aku sering menghabiskan hari di depan layar komputer milik seorang kawan di kamar kontrakannya ketimbang berangkat kuliah. Menonton berbagai jenis film lebih menarik bagiku ketimbang mempersiapkan seragam kuliah. Aku menonton “Beth” yang dibintangi  oleh Ine Febrianty dan Bucek Depp berulang-ulang mungkin hingga 15 kali sampai hampir menghapal semua dialog dalam film itu.

Beberapa bulan di Yogyakarta meninggalkan begitu banyak kesan pada diriku. Salah satu di antaranya, bahwa dunia carding menjadikan sebagian barang dan pakaian yang kami kenakan asalnya dari luar negeri, mulai boot, day-pack, back-pack, celana, kemeja flannel, jaket polar, sweater cloudwalker, hingga pakaian dalam semacam celana boxer semuanya hasil carding. Belum lagi barang untuk kegiatan outdoor seperti caving, arung jeram dan sebagainya, hampir semua dari hasil carding.

Saat itu, menurut seorang kawan mahasiswa Universitas Atma Jaya Jogjakarta bahwa banyak warnet di sana yang kemudian berubah fungsi menjadi tempat game net. Teman yang dikenal dengan nama panggilan Bagel, setiap harinya kerja sambil kuliah menjaga sebuah game net center di Jalan Demangan Baru.

Sepulang dari Yogya, untuk beberapa lama, aku tidak terlalu sering lagi bersentuhan dengan komputer. Hidup menggelandang di jalanan menjadikanku hanya sesekali melihat komputer kalau sedang ada perlu di warnet. Hanya saja, aku takjub dengan teknologi komputer karena seorang teman mampu membuat satu album musik dengan menggunakan piranti lunak (software) saja. The Chloroplast memproduksi seluruh lagunya hanya dengan komputer.

Memasuki perkuliahan di Universitas Hasanuddin, komputer mulai terasa seperti kebutuhan pokok. Belajar berbagai software grafis pada semester awal dan membunuh waktu dengan berbagai game sederhana menjadikan fungsi komputer hampir benar-benar sentral. Aku memiliki laptop sendiri, sebuah Acer Travelmate generasi pertama pada tahun 2006 pemberian seorang teman. Pada saat itu, di kampus baru ada beberapa orang yang memiliki barang canggih itu. Tahun 2007, aku pertama kali bersentuhan dengan OS Linux Ubuntu 7.0 yang kuinstal pada PCku di rumah kantor tempat kami tinggal. Saat itu, aku sangat tertarik menggunakan Linux entah karena berbeda atau karena semangat open source movement. Semangat ini memungkinkan pemutakhiran kandungan dan kinerja piranti lunak sesuai kebutuhan penggunanya. Hanya saja, persentuhan pertamaku dengan Linux tidak begitu berhasil, aku sama sekali asing dengan operating system itu.

Tahun 2007 juga, aku berhasil membuat halaman website statis berbasis lycoss mengerjakan tugas kuliah seorang teman. Adalah software macromedia yang kugunakan dalam pengerjaan website tersebut. Kabarnya, temanku itu lulus mata kuliah ini.

Tahun 2008-2009 aku mulai berkenalan lebih serius dengan dunia Linux. Meski hingga saat ini, aku belum bisa apa-apa dengan Linux, sangat standar seperti menggunakan operating system lainnya. Mula-mula aku menggunakan Linux Debian 5.0 selama beberapa tahun. Aku suka Debian. OS ini merupakan salah satu induk Linux dengan turunannya seperti Ubuntu, Linux Mint, dan semua OS Linux yang menggunakan paket ekstensi deb sebagai source-nya. Linux membawaku mengenal beberapa nama seperti Linus Torvald dan Richard Stalmann.

Dunia jejaring sosial semakin menjadikan komputer sebagai pusat kebudayaan kelas menengah perkotaan. Dimulai dari situs myspace.com, friendster.com, facebook.com hingga yang teranyar microblogging seperti plurk.com dan twitter.com. Rasa-rasanya, apa saja bisa kita perbincangkan dalam dunia internet. Keluhan, kesenangan, lelucon, hobi dan sebagainya terekam dalam timeline jejaring sosial. Teknologi selular turut membantu dengan inovasi yang mendukung jejaring sosial.

Selama perkuliahan tujuh tahun, praktis kehidupanku sepertinya telah terintegrasi ke dalam dunia komputer. Aku susah membayangkan jalannya hidupku tanpa komputer hingga hari ini. Sejak tahun 2006, ke mana pun aku pergi, hampir tidak pernah lupa membawa laptop dalam tas. Hingga saat ini, ketika dunia jejaring sosial menjadi salah satu inti kehidupan sosial masyarakat metropolis, rasanya komputer telah menjadi artefak zaman karena inovasinya yang begitu cepat, menyisakan sampah teknologi dengan hadirnya upgrade terbaru.

Sepertinya, sebagian perkataan kepala sekolahku SD benar, tetapi tidak sedikit juga yang berakhir mengecewakan.[Darmadi]

5 Comments
  • daengrusle
    Posted at 15:07h, 30 Januari Balas

    Komputer memang menyimpan sejarah. Narasi sejarah yg mengawal kronik modern manusia kini.

  • fadalays
    Posted at 00:57h, 31 Januari Balas

    Seingat saya biaya menggunakan jasa internet di cyber cafe sekitar Rp 12.000,- /jam rasanya waktu itu pengguna diberi segelas juice sambil mengakses internet. Di warnet lain tarif sekira Rp 7.000-Rp8.000. Cyber cafe tempo itu adalah salah satu internet cafe terbesar di Makassar. Di gedung yang sama lantai dasar adalah swalayan Hawa Baru, di lantai dua Cyber Cafe dan di lantai tiga Pizza Ria Cafe. Dengan “fasilitas” tersebut bisa dibayangkan tempat tersebut merupakan tempat nongkrong para muda menengah atas. Didukung dengan sekolah-sekolah unggulan nan elite di sekitar jalan itu. Sebut saja SMPN 6 Makassar dan Sekolah Nusantara. Juga bank-bank swasta, lapangan karebosi dan pusat perdagangan masa itu pasar sentral.

  • fadalays
    Posted at 00:59h, 31 Januari Balas

    Maaf, cyber surf yah namanya.

  • Pong Padang
    Posted at 08:01h, 01 Februari Balas

    iya…cyber surf dengan minuman black oreo hahahahaha

  • greenfaj
    Posted at 03:07h, 08 Februari Balas

    hah? kak madi, nulis disini ya? hehehehe

Post A Comment