tanahindie | Dewi Bulan di Kajang
332
post-template-default,single,single-post,postid-332,single-format-standard,ajax_fade,page_not_loaded,,qode-title-hidden,qode-content-sidebar-responsive,qode-theme-ver-10.0,wpb-js-composer js-comp-ver-4.12,vc_responsive

Dewi Bulan di Kajang

Sejak Tanahindie dan ruangrupa meluncurkan Gerobak Bioskop Dewi Bulan April 2010 lalu, baru setengah tahun kemudian program ini berkesempatan membentangkan layarnya di luar Makassar. Tempat yang mendapat giliran adalah Desa Lembang Lohe, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba—berkisar 180 kilometer arah tenggara Makassar.

Kedatangan saya, Anchu, dan Dedy sore jam empat itu mendapat sambutan senyum warga Lembang Lohe. Kami tiba dan beristirahat di rumah Pak Rijal, seorang staf desa. Ia langsung menyilakan masuk. Tak lama berselang, istrinya muncul dari balik tirai membawa kopi dan sepiring kue. Sebentar saja kami mengobrolkan perjalanan, Pak Rijal lalu mengajak kami membicarakan teknis kegiatan sebentar malam.

Pak Rijal rupanya sudah menyiapkan layar dan sound system. Anchu seminggu lalu sudah meminta orang-orang di Lembang Lohe menyiapkan dua peralatan tadi. Karena layar yang ada di gudang Tanahindie terlampau besar dan susah membawanya dari Makassar dengan hanya memakai panther, sebutan mobil angkutan antar kabupaten di Sulawesi Selatan.

Menurut Anchu, fasilitator yang bertugas di desa itu, saat membincangkan rencana kegiatan ini dengan pihak desa, mereka sempat kebingungan memikirkan bahan apa yang bisa dipakai sebagai layar pertunjukan. Tiba-tiba Pak Desa memberi ide agar menggunakan saja baliho bergambar istri seorang pejabat setempat yang terbentang di sudut jalan desa. Baliho itu sudah tidak berfungsi lagi karena programnya sudah selesai, begitu kata Pak Desa. Warga pun beramai-ramai mengangkat baliho tersebut ke tengah lapangan dan memasangnya melintang terbalik, sebab bagian belakang baliho itu masih putih polos dan cocok untuk menembakkan proyektor.

Kami menuju lapangan sepakbola desa, tempat Dewi Bulan akan memancarkan layarnya, yang cukup menyeberang jalan. Rumah Pak Rijal berada tepat di simpang tiga jalan desa. Letak ini memungkinkan warga dapat menonton dari dua sisi jalan jika tak ingin beranjak dari atas kendaraan. Lapangan sore itu sedang ramai oleh pemuda desa yang bermain sepak takraw. Melihat kami menghampiri, mereka melemparkan senyum ramah.

Bersama Pak Rijal, berempat kami mengangkat baliho ke sudut lapangan. Layar baliho itu kami pasang lebih menyerong agar warga bisa menonton nyaman dari pinggir jalan maupun beranda rumah masing-masing. Beberapa warga segera datang membantu kami ketika melihat baliho itu kami angkat. Dua batang balok tiga meter dipasang miring menjadi penyanggah tiang kiri dan kanan layar biar lebih kokoh. Cuaca sore itu sangat cerah. Kami optimistis Dewi Bulan tidak berhalangan. Posisi layar pun sudah mantap.

Sekarang menuntaskan soal listrik. Pak Rijal berembuk dengan warga. Salah seorang di antaranya lalu menawarkan aliran listrik dari rumahnya. Saya mengulur kabel dua puluh meter yang saya bawa dari Makassar. Aduh! Kurang panjang. Butuh beberapa meter lagi. Untung seorang warga bergegas menuju rumahnya, yang juga terletak di depan lapangan, mengambil gulungan kabel dan menyambungnya. Listrik kini siap!

Saya menekan tombol ‘on’ proyektor. Cahaya biru samar menyembur membentuk persegi empat. Perlahan warnanya kian tegas. Tapi, tiba-tiba, layar berubah putih lagi. Proyektor padam. Daya listrik rumah tadi rupanya tidak kuat. Berulang kami coba tapi hasilnya sama. Sementara sore berubah gelap. Pak Rijal mengusulkan agar nanti selesai salat magrib baru kami lanjutkan pekerjaan. Satu per satu warga pulang. Lapangan pun sepi.

Saya, Ancu, dan Dedy bergegas menuju rumah Pak Desa, yang tak jauh dari rumah Pak Rijal. Kami hendak membicarakan rencana yang sebentar lagi berlangsung. Ibu Desa menyambut kami. Pak Desa belum selesai salat. Ibu Desa lalu datang lagi dan menyuguhi kopi, sepiring dadar gulung, dan sesisir pisang di atas tudung saji. Tanpa dipersilakan, saya langsung menyambar kue dadar itu, kue kesukaan saya sejak kecil. Anchu masih bermain-main dengan rokok di tangan, sedang Dedy menyeruput kopi.

Tak lama, Pak Desa muncul dengan kopiah. Ia lelaki berperawakan tinggi besar dengan kulit sawo matang. Anchu lalu mengeluarkan sepaket buku dari tasnya dan menyerahkan ke Pak Desa. Buku-buku itu akan disumbangkan ke perpustakaan kantor desa. Pak Desa menyambut buku itu dengan senyuman.

Kami segera mengobrolkan kegiatan dan proses persiapannya di lapangan tadi. Pak Desa memberikan kami masukan. Tak lama berselang, Ibu Desa datang menyilakan kami menyantap sajian makan malam yang ia siapkan. Usai makan malam, kami kembali ke ruang tamu dan kembali berbincang sebentar dengan Pak Desa. Setelah itu, kami pamit pulang untuk mempersiapkan acara.

Dari beranda rumah Pak Rijal, lapangan masih sepi. Pak Rijal mengatakan bahwa nanti setelah Isya baru kegiatan diselenggarakan. Sambil menunggu, kami menikmati suasana malam di Lembang Lohe. Beberapa pemuda ikut berbaur bersama kami.

Begitu lepas Isya, lapangan mulai ramai. Bocah-bocah bermain kejar-kejaran dalam kegelapan. Kami segera menyiapkan peralatan. Warga desa di lapangan bertambah. Pak Desa bahkan sudah hadir. Rencananya dia akan memberi sambutan untuk kegiatan ini. Pak Rijal mengurusi sumber listrik. Ia memindahkan sumber aliran ke rumah warga yang lain. Setelah listrik siap, saya mulai menjalankan perangkat yang lain. Proyektor dan laptop bekerja dengan sempurna. Dedy masih berusaha menghubungkan dua sound system dengan bantuan beberapa pemuda desa. Begitu terhubung, rupanya mata colokan sound ini tidak cocok dengan terminal laptop. Membutuhkan terminal R1 untuk bisa menghubungkannya. Kami mulai bingung di mana bisa mendapatkan terminal macam itu. Pak Desa dan beberapa warga menghampiri. Kami mengeluhkan masalah terminal tadi. Seorang warga kemudian berlari pulang mengambil terminal R1. Kami mulai tenang. Satu masalah dapat teratasi. Dan Dewi Bulan siap untuk Lembang Lohe.

Kami mulai menayangkan video pesan-pesan kesehatan yang sudah disiapkan Anchu—mulai dari cara mencuci tangan yang baik sampai menjaga kebersihan lingkungan. Anchu juga sebenarnya orang di balik keberangkatan Dewi Bulan ke Lembang Lohe. Ia bertugas sebagai fasilitator untuk program kesehatan salah satu lembaga donor internasional yang mendampingi pemerintah Bulukumba merancang program kesehatan. Namun, belum selesai tayangan video-video tadi, tiba-tiba hujan turun. Kontan saja, saya, Dedy, dan Anchu  bergegas mencabut laptop dan proyektor lalu membawanya ke rumah Pak Rijal. Warga lain juga membantu mengangkat sound system dan menggulung kabel. Penonton berlarian meninggalkan lapangan, bernaung di rumah panggung penduduk yang terdekat. Sebagian warga bersama kami berkumpul di rumah Pak Rijal. Hanya gerimis kecil memang, tapi sudah cukup untuk membuat penonton kabur. Lapangan kembali sepi. Tinggal layar putih yang masih berdiri kokoh di sudut. Gerimis masih turun. Berhenti sebentar, kemudian turun lagi.

Keadaan cuaca tidak mengurungkan niat warga untuk menyaksikan layar tancap. Ketika berkumpul di rumah Pak Rijal, warga justru memikirkan pilihan lain agar bisa menonton layar tancap. Ada yang mengusulkan balai desa, sementara Pak Rijal menyodorkan ide agar proyektor ditembakkan ke dinding rumahnya saja. Warga lain juga menyebut beberapa tempat lain yang mereka anggap memadai. Di tengah ramai usulan tempat, gerimis malah berhenti. Sekisar lima menit kami memastikan bahwa hujan benar-benar berhenti. Begitu yakin, kami kembali ke lapangan memasang alat-alat layar tancap.

Kami mengira, penonton akan sepi setelah hujan turun. Kami pikir, mereka semua pasti sudah pulang karena layar tancap tidak jadi terselenggara. Namun perkiraaan kami meleset. Begitu alat siap dijalankan, para penonton kembali memadati lapangan. Kami tidak tahu dari mana mereka datang. Setahu kami, sekisar setengah jam setelah hujan turun, suasana desa kembali sepi. Tapi, mereka tiba-tiba sudah berkumpul lagi. Para bocah mengisi barisan terdepan. Mereka tertawa karena adegan kartun yang memperagakan cara mencuci tangan yang baik.

Malam itu, Dewi Bulan memutar Janur Kuning, film tontonan awam di masa Orde Baru. Film itu berkisah perjuangan Indonesia melawan Belanda, dengan tokoh sentral Soeharto, sempat diputar di televisi maupun layar tancap. Sehingga, dari sekian kali penyelenggaraan Dewi Bulan, kunjungan ke Bulukumba inilah yang paling mendekati suasana layar tancap tahun 1980-an silam.

Pemutaran film ini berdasarkan usulan Pak Desa. Judul usulan Pak Desa sudah saya sejak menjelang berangkat ke desa ini. Setelah hujan, kami memutar satu lagi video pesan kesehatan sebelum masuk ke film utama. Lapangan makin padat. Tampak di tepi jalan yang bercahaya remang-remang, berpasang-pasang kekasih menyaksikan layar tancap dari atas motor mereka.

Dentuman meriam dan rentetan tembakan dari sepasang sound system memecah kesunyian malam di Lembang Lohe. Wajah-wajah penonton serius menyaksikan Janur Kuning. Sekilas, mereka terbawa ke masa lalu, masa perjuangan. Saya dan penonton lain menggelar tikar di lapangan agar bisa menonton santai dan nyaman. Bintang-bintang bermunculan.

Namun, belum cukup sejam film berjalan, cahaya proyektor redup namun suara film tetap berjalan. Saya dan Anchu segera memeriksa perangkat. Rupanya daya listrik yang masuk terlalu besar, mengakibatkan proyektor terlalu panas dan otomatis berhenti bekerja. Untuk mengatur aliran listrik, stavolt berdaya 220 volt yang dibutuhkan. Di belakang, penonton riuh sebab film berhenti di salah satu adegan klimaks. Ketika kami menjelaskan kepada Pak Desa masalah ini, Pak Desa langsung menelepon ke rumahnya meminta anaknya membawakan stavolt yang ia pakai sehari-hari untuk kulkas. Lima menit kemudian, perangkat yang dibutuhkan datang. Saya segera menghubungkan stavolt dengan proyektor. Film kembali dan penonton fokus lagi ke layar.

Akibat gerimis sesaat tadi, Dewi Bulan terlambat sekisar sejam. Pemutaran baru mulai pukul sembilan tepat. Satu setengah jam kemudian berjalan, satu per satu penonton mulai meninggalkan lapangan, terutama kalangan bocah karena para orangtua mencari anak mereka untuk segera tidur karena malam sudah larut. Yang pemuda-pemudi masih di atas motor mereka. Acara baru selesai pukul dua belas malam. Dedy sempat tidur di tikar bersama beberapa warga. Anchu bahkan tertidur sambil duduk.

Rampung kegiatan, warga membantu Dedy dan Anchu membereskan peralatan. Semua diangkat ke rumah Pak Rijal. Setelah beristirahat sejenak, Ibu Rijal memanggil kami menyantap makan malam yang sudah ia siapkan. Rupanya sejak habis magrib tadi ia menyiapkan makan malam untuk kami yang sedang di rumah Pak Desa. Pak Rijal sejak tadi juga belum makan malam lantaran menunggu kami sampai selesai kegiatan. Kami yang tak enak hati, bergegas menuju meja makan. Tak berapa lama kami menikmati tidur malam yang terlambat.[]

(Nur Muhammad Ahmad, bisa dihubungi via orangminoritas@gmail.com)

1Comment
  • eko
    Posted at 02:15h, 06 Desember Balas

    Senang sekali membaca cerita ini. Sedaaaapppp….

Post A Comment