29 Okt Dewi Bulan Turun di Makassar
LELAKI PARUH BAYA berperawakan tinggi dan besar itu berjalan sangat cepat saat melintas di depan Kampung Buku. Ia sesekali menundukkan kepala, seperti tak ingin terusik oleh keramaian sekitar. Lelaki itu mengenakan baju koko berwarna putih dan sarung coklat bermotif garis kotak-kotak. Di atas kepalanya bertengger kopiah putih bundar, sedang di pundaknya melintang kain sorban. Ketika adzan magrib berkumandang, ia mempercepat langkah. Di ujung simpang tepat di depan kantor Lurah Pandang, jalan berbelok ke kiri dan perlahan sosoknya hilang di balik bangunan.
Saya, Anchu, dan Piyo tertawa cekikikan menyaksikan video SKJ 88. Senam Kesegaran Jasmani dalam video tersebut diperagakan oleh seorang gadis Jepang dengan mimik wajah yang polos, serupa orang yang sedang ‘diplonco’. Perempuan berambut sepundak itu tidak sedang berpakaian senam ataupun pakaian olahraga; melainkan berpakaian kantor dengan rok selutut. Piyo dan Anchu tak henti mengomentari video tersebut sembari mengenang masa-masa muda mereka di sekolah dulu. Saya sendiri semakin tak bisa menahan tawa menyaksikan dua orang lelaki yang melintas dalam video tersebut tampak kebingungan memikirkan apa yang sedang dilakukan gadis Jepang itu.
Seusai tayangan video SKJ 88, Anchu yang bertindak sebagai operator mengganti tontonan dengan tayangan video belajar salat. Kami bertiga menyaksikannya saksama sambil tersenyum. Video kartun itu dilengkapi tata cara dan bacaan salat. Di tengah-tengah penayangan tiba-tiba saja seseorang berteriak di belakang kami.
“Bagus itu! Bagus!”
Kami kaget, langsung membalik. Rupanya lelaki paruh baya itu imam masjid Al-Haq Kompleks BTN CV Dewi. Rupanya, sedari tadi, ia sudah berdiri di belakang kami dan ikut menyaksikan tayangan video belajar salat itu.
“Bagus ini di’ untuk anak-anak! Cepat ki pintar karena ada penjelasan gerakan sama bacaannya! Bagus begini diputar duluan sebelum main filmnya, sebagai selingan toh supaya belajar tong itu anak-anak,” komentar pria berkopiah, sumringah.
Anchu lantas beranjak dari tempat duduk dan menghampiri Pak Imam. Ia menanyakan kegiatan apa yang sedang dilaksanakan. Anchu memberikan papara singkat tentang program. Tak lama setelah mereka melakukan diskusi, Pak Imam memohon pamit. Itulah kali pertama Pak Imam menyapa kami dengan senyum sumringah setelah hampir tiga tahun Kampung Buku bermukim di Kompleks CV Dewi. Nama ini adalah nama tenar Kompleks Panakkukang Indah, terletak di Jalan Abdullah Daeng Sirua, Makassar.
Pada bulan kedua ini, malam Minggu pekan kedua Mei, tepat purnama sempurna, gerobak bioskop Dewi Bulan akan menayangkan film Ibunda, karya Teguh Karya. Saat malam semakin meninggi, penonton kian ramai. Kentongan gerobak bakso Mas Gondrong, yang setiap malam berkeliling di kompleks ini seolah menjadi penanda memanggil orang-orang untuk datang. Karpet biru yang digelar di halaman Kampung Buku dipenuhi rombongan bocah yang khusyuk menonton video Unyil yang ditayangkan sebagai pengantar sebelum film utama dimulai.
Gerobak Bioskop merupakan buah inisiatif Tanahindie (Makassar) dan ruangrupa (Jakarta). Tanahindie adalah ruang mandiri yang didirikan sejak 1999 di Makassar, yang menggalakkan program berbasis seni dalam pengertian seluas-luasnya, dalam bentuk pameran, penulisan, penelitian, dan penerbitan. Tanahindie mengerjakan pembuatan sampul setiap buku-buku terbitan Ininnawa. Tanahindie tidak berada di bawah payung Komunitas Ininnawa, melainkan mitra kerja yang mengurusi segala keperluan berorientasi seni yang dibutuhkan oleh Penerbit Ininnawa, termasuk mengurus perpustakaan Kampung Buku. Hal itu pula yang mendorong keputusan untuk menggelar Dewi Bulan di Kampung Buku sebagai ruang publik yang menjadi tempat mengakses bacaan untuk warga sekitar.
Setiap orang boleh datang membaca gratis. Namun bila ingin meminjam buku dan membacanya di rumah, si peminjam harus menjadi anggota dan akan dikenai biaya administrasi dan biaya peminjaman. Biaya-biaya yang terkumpul diakumulasi dengan satu tujuan saja: menambah koleksi buku! Jadi, intinya, para anggota Kampung Buku-lah yang memperbaharui buku koleksi perpustakaan ini.
Awalnya, perpustakaan ini hanyalah biblioteka Penerbit Ininnawa. Manfaatnya hanya untuk Penerbit; sebagai sumber bacaan pendukung naskah yang berada dalam penyeliaan. Belakangan, perpustakaan sederhana ini dibuka untuk umum. Tidak mengherankan bila Kampung Buku banyak dikunjungi oleh para mahasiswa yang datang mencari referensi untuk tugas-tugas kuliah mereka.
Selain perpustakaan umum, Kampung Buku sejatinya sebuah agensi yang bertanggung jawab atas pendistribusian buku terbitan Ininnawa dan beberapa penerbit lain yang menjadi mitra kerja Ininnawa seperti Insist Press. Pendirian agensi ini bertujuan menyelamatkan buku-buku Ininnawa yang disantap diskon besar oleh para raksasa toko buku di Makassar.
Ruangrupa, artist’ inisiative yang didirikan tahun 2000 oleh kelompok seniman di Jakarta, merupakan organisasi nirlaba yang mendorong kemajuan gagasan seni rupa dalam konteks urban dan lingkup luas kebudayaan melalui pameran, festival, laboratorium seni rupa, lokakarya, penelitian dan penerbitan jurnal. Ruangrupa membuat program pegelaran gerobak bioskop dan menyaring sepuluh kota di seluruh Indonesia. Makassar sendiri merupakan salah satu kota yang terpilih untuk diselenggarakannya program ini dan menjadi kota yang pertama tempat pegelaran diselenggarakan.
Ruangrupa memfasilitasi kegiatan ini dengan seperangkat alat-alat pemutaran berupa layar, proyektor, sebuah laptop untuk memutar sekaligus dengan sebuah hardisk yang berisi film-film yang akan diputar. Tidak hanya itu, ruangrupa juga menyediakan sepasang mini sound untuk mendukung lancarnya program gerobak bioskop ini.
Program gerobak bioskop di Makassar diberi nama Dewi Bulan. Nama ‘Dewi Bulan’ diambil dari nama salah satu nama bioskop yang pernah ada dan terkenal di Makassar. Seiring perkembangan kota, akhirnya Bioskop Dewi pun gulung tikar dan hilang sama sekali. Mungkin sebagian besar generasi kalangan yang lahir belakangan muda baru di Makassar tidak mengenal ataupun tahu kalau Bioskop Dewi itu pernah ada. Alasan lain yang menyempurnakan sekaligus menguatkan adalah secara kebetulan tempat pelaksanaan gerobak bioskop ini diselenggarakan di BTN CV Dewi. Kata ‘Bulan’ sendiri, ia mengatakan bahwa bioskop ini akan kita putar sebulan sekali tepat pekan bulan purnama.
Saya, bertindak sebagai manajer program, ditunjuk setelah mempertimbangkan nama lain. Mulanya Ancu jadi kandidat. Ia berpengalaman mengelola kegiatan serupa Dewi Bulan, yakni SOLATA (Sorot Layar Tamalanrea). Solata, yang harfiahnya ‘kawan kita’ dalam bahasa Toraja, digelar ketika Komunitas Ininnawa bermarkas di kawasan Jalan Perintis Kemerdekaan Tamalanrea, sekisar enam kilometer utara Kampung Buku sekaang. Lebih jauh, pengelola SOLATA pernah dipercayakan untuk kegiatan Europe On Screen.
DEWI BULAN resmi melakukan peluncuran kegiatan pada 22 April 2011. Mirwan Andan yang merupakan eksekutor gerobak bioskop dari ruangrupa menawarkan agar pemutaran perdana diselenggarakan pada Minggu malam tanggal 23 April 2011. Namun pada saat yang bersamaan pementasan teater I Lagaligo juga sedang berlangsung di Makassar. Akhirnya keputusan untuk penyelenggaraan peluncuran Dewi Bulan ini disepakati pada tanggal 22 April.
Pengelola Dewi Bulan hanya punya waktu dua hari menjelang launching. Saya dan teman panitia lain mulai bekerja mempromosikan kegiatan ini. Media internet menjadi sarana paling mutakhir untuk melakukan pekerjaan ini. Layanan sms juga tak luput dieksekusi untuk mengajak semua teman-teman yang terdaftar dalam phone book agar datang ke acara ini.
Sejak sore panitia mulai sibuk mengurusi persiapan teknis, mulai dari pemasangan screen, setting proyektor hingga menata kursi-kursi tempat duduk para undangan. Selepas shalat magrib, semua perangkat telah terpasang. Acara akan dimulai pada pukul 20.00. Sambil menunggu para tamu yang datang, panitia menayangkan beberapa video pendek sebagai pengantar. Acara terlambat kurang lebih setengah jam dari jadwal yang sudah ditetapkan. Ketika waktu telah menunjukkan pukul 20.30 acara pun dimulai.
Saya membuka acara dengan memberikan pemaparan singkat program gerobak bioskop Dewi Bulan. Jimpe menjelaskan hubungan kerjasama Tanahindie dengan ruangrupa dalam penyelenggaraan program ini. Setelah itu barulah Mirwan Andan, sang eksekutor gerobak bioskop dari ruangrupa memaparkan apa dan mengapa gerobak bioskop ini mereka buat. Para penonton cukup menikmati jalannya penjelasan ketika Andan memberikan gambaran tentang ruangrupa dan apa yang telah mereka kerjakan.
Jalannya acara semakin menarik saat Andan mulai memberikan penjelasan tentang program OK Video, karya-karya dalam komplikasi 10 tahun seni video Indonesia 2000 – 2010. Pada beberapa judul film yang diperlihatkan seperti sinema elektronik ataupun azab perempuan cantik dan pacarnya membuat para penonton tertawa cekikikan menyaksikannya. Namun di beberapa film lain seperti kumpulan foto yang dibuat film, ataupun undang-undang anti globalisasi yang dibuat lagu menjadikan mereka tampak lebih serius menontonnya. Proses ini cukup menguras banyak waktu sebab cukup banyak referensi film yang diperlihatkan sehingga pemutaran film utama menjadi terlambat. Beberapa penonton yang terlihat mulai bosan berpindah tempat duduk ke area belakang.
Malam semakin meninggi dan sampailah kita pada akhir acara. Sebagai film pamungkas, film Nagabonar diputar.
PADA DASAWARSA 1970–1980-an, marketing perusahaan-perusahaan jamu dan rokok bertualang menembus permukiman masyarakat di pelosok Nusantara untuk menggelar layar tancap. Ketika mobil penyelenggara tiba di satu daerah tertentu maka para penduduk pun kegirangan seperti menyambut pahlawan perang yang baru pulang. Anak-anak berlarian di belakang mobil berebut pamflet film yang akan ditayangkan. Biasanya, sebelum dan pada saat acara berlangsung, pihak perusahaan jamu atau rokok menggelar barang dagangannya. Mereka terus berpromosi mengajak para penonton untuk membeli.
Pegelaran layar tancap pada saat itu tak luput diisi dengan penayangan pesan-pesan pembangunan dari pemerintah sebagai pengantar sebelum film ditayangkan. Biasanya pesan pembangunan tersebut berisi program BKKBN atau reboisasi. Fenomena ini fenoman khas di masa Orde Baru.
Layar tancap tidak hanya bertindak sebagai hiburan semata yang datang dan pergi begitu saja. Ia tinggal dan melekat menjadi sebuah hiburan baru bagi masyarakat. Seperti yang terjadi di daerah Pacitan, Jawa Timur. Hiburan layar tancap diadopsi menjadi permainan baru oleh anak-anak. Mereka menamainya permainan Beskop-Beskopan. Permainan ini merupakan versi konvensional dari wayang kulit. Mereka membuat pola dari kertas karton dan digunting untuk membentuk karakter yang akan dimainkan, sementara layarnya mereka buat dari kain bekas atau sarung bekas. Untuk memainkan karakter, mereka mengikatnya pada sebuah benang panjang yang melintang. Karakter tersebut kemudian ditarik-tarik oleh ‘ki dalang’ dari balik layar dengan diterangi lampu minyak.
Pegelaran layar tancap gerobak bioskop Dewi bulan memberikan efek positif bagi Kampung Buku dan sekitarnya. Di depan perpustakaan ini terdapat dua buah bangunan kos-kosan putri yang tergolong mewah. Fasilitasnya lengkap mulai dari kulkas, tempat tidur, lemari, AC, hingga laundry pakaian. Kos-kosan ini banyak dihuni oleh orang-orang yang bekerja kantoran dan mahasiswa. Menariknya, sejak sore hingga tengah malam, anak-anak muda kompleks CV Dewi ini selalu mengendarai motor mereka dengan kecepatan tinggi setiap melintasi daerah depan kos-kosan tersebut. Bagi anak-anak kecil yang masih bau kencur juga tak mau kalah dengan ikut melajukan sepeda sembari mengumandangkan lengkingan suara bocah mereka. Entah apa maksud dan tujuan dari tindakan mereka, mencari perhatian, ingin dipuji, mau eksis, entahlah. Yang pasti dengan diselenggarakannya layar tancap di Kampung Buku, laju kendaraan di jalur ini perlahan mulai melambat. Tak terlewatkan juga, setiap kali pegelaran gerobak bioskop Dewi Bulan ini diselenggarakan, para penghuni kos-kosan tersebut juga ikut memeriahkan jalannya acara dengan menonton dari lantai dua bangunan hunian mereka.[]
(Nur Muhammad Ahmad, Manajer Program DEWI BULAN)
No Comments