15 Jun Dewi Bulan Turun di Makassar
Seorang lelaki paruh baya berperawakan tinggi dan besar berjalan sangat cepat saat melintas di depan Kampung Buku. Sesekali ia menundukkan kepala seperti tak ingin terusik dengan keramaian di sekitarnya. Lelaki itu mengenakan baju koko berwarna putih dan sarung coklat bermotif garis kotak-kotak. Di atas kepalanya bertengger kopiah bundar yang juga berwarna putih serupa kopiah haji. Sementara di pundaknya melintang kain sorban. Ketika adzan magrib berkumandang, ia pun semakin mempercepat langkahnya tak ingin terlambat tiba di masjid. Di ujung simpang tepat di depan kantor Lurah Pandang, jalan berbelok ke kiri dan perlahan sosoknya hilang di balik bangunan.
Saya, Anchu, dan Piyo tengah asyik menyaksikan video SKJ 88 sembari tertawa cekikikan. SKJ 88 dalam video tersebut diperagakan oleh seorang gadis Jepang dengan raut wajah yang sangat polos seperti sedang diperalat. Ia tidak sedang berpakaian senam ataupun pakaian olahraga; melainkan berpakaian kantor dengan rok selutut. Piyo dan Anchu tak henti mengomentari video tersebut sembari mengenang masa-masa muda mereka di sekolah dulu. Saya sendiri semakin tak bisa menahan tawa menyaksikan dua orang lelaki yang melintas dalam video tersebut tampak kebingungan memikirkan apa yang sedang dilakukan gadis Jepang itu.
Seusai tayangan video SKJ 88, Anchu yang bertindak sebagai operator mengganti tontonan dengan tayangan video belajar shalat. Kami bertiga menyaksikannya dengan saksama sambil tersenyum. Video ini dikemas dalam bentuk kartun dengan dituntun narasi penjelasan tata cara dan bacaan. Di tengah-tengah penayangan tiba-tiba saja seseorang berteriak di belakang kami.
“Bagus itu!, Bagus!”.
Sontak kami pun terkaget dan berbalik. Rupanya lelaki paruh baya itu imam masjid Al-Haq BTN CV. Dewi yang belakangan saya ketahui. Sedari tadi ia sudah berdiri di belakang kami dan ikut menyaksikan tayangan video belajar shalat tersebut.
“Bagus ini di’ untuk anak-anak! Cepatki pintar ka ada penjelasan gerakan sama bacaannya! Bagus begini diputar duluan sebelum main filmnya, sebagai selingan toh, supaya belajar tong itu anak-anak”. Komentarnya penuh sumringah.
Anchu lantas beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri Pak Imam. Ia menanyakan kegiatan apa yang sedang dilaksanakan. Anchu kemudian memberikan pemaparan singkat tentang program. Tak lama setelah mereka melakukan diskusi, Pak Imam memohon pamit. Itulah kali pertama Pak Imam menyapa kami dengan senyum sumringah setelah hampir tiga tahun Kampung Buku bermukim di Kompleks BTN CV. Dewi. Nama ini adalah nama tenar Kompleks Panakkukang Indah, Jalan Abdullah Daeng Sirua, Makassar.
Pada bulan kedua ini, malam minggu pada pekan kedua Mei, tepat purnama sempurna, gerobak bioskop Dewi Bulan akan menayangkan film Ibunda, film karya Teguh Karya. Saat malam semakin meninggi, penonton pun semakin ramai. Kentongan gerobak bakso miliki Mas Gondrong yang setiap malam berkeliling di kompleks ini seolah menjadi penanda memanggil orang-orang untuk datang. Karpet biru yang digelar di halaman Kampung Buku dipenuhi segerombolan anak kecil yang tengah asyik menyaksikan video Unyil yang ditayangkan sebagai pengantar sebelum film utama dimulai.
Pegelaran Gerobak Bioskop merupakan buah inisiatif dari ruangrupa di Jakarta. ruangrupa merupakan artist’ inisiative yang didirikan tahun 2000 oleh kelompok seniman di Jakarta. Organisasi nirlaba yang mendorong kemajuan gagasan seni rupa dalam konteks urban dan lingkup luas kebudayaan melalui pameran, festival, laboratorium seni rupa, lokakarya, penelitian dan penerbitan jurnal. ruangrupa membuat program pegelaran grobak bioskop dan menyaring sepuluh kota di seluruh Indonesia.
Makassar sendiri merupakan salah satu kota yang terpilih untuk diselenggarakannya program ini dan menjadi kota yang pertama tempat pegelaran diselenggarakan. Ruangrupa menjalin hubungan kerja sama dengan Tanahindie dan Kampung Buku. Tanahindie menjadi lembaga mitra kerja untuk menyelenggarakan gerobak bioskop di Kota Makassar. Sementara Kampung Buku disepakati untuk menjadi tempat pegelarannya mengingat Kampung Buku sendiri merupakan salah satu ruang publik yang menjadi tempat mengakses bahan bacaan.
Kampung Buku berfungsi sebagai perpustakaan umum dimana setiap orang boleh datang membaca secara gratis tanpa dipungut biaya sepeserpun. Terkecuali jika pembaca ingin meminjam buku yang ingin ia baca, barulah dikenakan biaya peminjaman. Buku-buku tersebut dapat dipinjam jika sekiranya pembaca telah terdaftar sebagai anggota perpustakaan Kampung Buku. Perpustakaan yang tergolong sederhana ini memiliki sejumlah bahan bacaan yang cukup untuk menjadi penunjang kegiatan akademik. Maka tak mengherankan jika Kampung Buku banyak dikunjungi oleh para mahasiswa yang datang mencari referensi untuk tugas-tugas kuliah mereka bahkan untuk penggarapan skripsi sekalipun.
Selain perpustakaan umum, Kampung Buku sendiri merupakan sebuah agensi yang bertanggung jawab atas pendistribusi seluruh buku-buku yang diterbitkan Penerbit Ininnawa. Tidak hanya itu, beberapa penerbit lain yang menjadi mitra kerja seperti Insist Press, serta beberapa penerbit yang berada di luar Makassar dan ingin memasarkan buku-buku terbitannya maka menyerahkan pengelolaannya ke Kampung Buku. Kampung Buku ini didirikan oleh Penerbit Ininnawa sebenarnya adalah untuk menyelamatkan penjualan buku-buku Ininnawa yang habis disantap diskon besar oleh para raksasa toko buku di Makassar.
Tanahindie adalah ruang mandiri yang didirikan sejak 1999 di Makassar, yang menggalakkan program berbasis seni dalam pengertian seluas-luasnya, dalam bentuk pameran, penulisan, penelitian, dan penerbitan. Sejauh ini, Tanahindie mengerjakan pembuatan sampul setiap buku-buku terbitan Ininnawa. Tanahindie bukanlah bagian dari payung Komunitas Ininnawa. Ia merupakan mitra kerja yang mengurusi segala keperluan berorientasi seni yang dibutuhkan oleh Ininnawa. Para pustakawan dan pengelola
Kampung Buku adalah para awak Tanahindie.
Ruangrupa sendiri sebagai pencetus program memfasilitasi kegiatan ini dengan seperangkat alat-alat pemutaran berupa sebuah screen layar, sebuah proyektor, sebuah laptop untuk memutar sekaligus dengan sebuah hardisk yang berisi film-film yang akan diputar. Tidak hanya itu, ruangrupa juga menyediakan sepasang mini sound untuk mendukung lancarnya program gerobak bioskop ini.
Gelaran gerobak bioskop di Makassar diberi nama Dewi Bulan. Nama ‘Dewi Bulan; adalah buah ide dari Jimpe, sang punggawa Penerbit Ininnawa sekaligus roda penggerak Tanahindie. Menurut pemaparannya, Dewi sendiri diambil dari nama salah satu nama bioskop yang pernah ada dan terkenal di Makassar. Seiring maraknya pembangunan serta kemajuan kota ditambah lagi kemacetan perekonomian, akhirnya bioskop Dewi pun gulung tikar dan hilang sama sekali. Mungkin sebagian besar generasi muda baru di Makassar tidak mengenal ataupun tahu kalau Bioskop Dewi itu pernah ada.
Alasan lain yang menyempurnakan sekaligus menguatkan adalah secara kebetulan tempat pelaksanaan gerobak bioskop ini diselenggarakan di BTN CV. Dewi. Olehnya itu ia memilih Dewi. Untuk Bulan sendiri, ia mengatakan bahwa bioskop ini akan kita putar sebulan sekali dan pada saat bulan purnama. Sesederhana itulah nama Dewi Bulan disandangkan untuk pegelaran gerobak bioskop di Makassar.
Saya sendiri bertindak sebagai manager program yang ditunjuk langsung oleh Jimpe setelah mempertimbangkan beberapa nama yang lain. Pada mulanya Jimpe akan mempercayakan program ini kepada Mansyur Rahim. Mengingat Anchu (sapaan akrabnya) mempunyai kesibukan lain di luar kota maka ia pun mengurungkan niatnya. Beberapa alasan mengapa sebelumnya Jimpe mengajukan Anchu untuk menangani program adalah karena ia telah memiliki pengalaman dalam hal pegelaran layar tancap.
Anchu pernah menangani SOLATA (Sorot Layar Tamalanrea) yang cukup lama melakukan kegiatan putar film di Makassar. Waktu itu ketika Komunitas Ininnawa masih bertempat di Jalan Perintis Kemerdekaan, sekisar enam kilometer utara Kampung Buku sekarang. Bahkan para pengelola SOLATA pernah dipercayakan untuk kegiatan Europe On Screen.
Dewi Bulan resmi melakukan peluncuran kegiatan pada 22 April 2011.
Mirwan Andan yang merupakan eksekutor gerobak bioskop dari ruangrupa menawarkan agar pemutaran perdana diselenggarakan pada Minggu malam tanggal 23 April 2011. Namun pada saat yang bersamaan pementasan teater I Lagaligo juga sedang berlangsung di Makassar. Akhirnya keputusan untuk penyelenggaraan launching Dewi Bulan ini disepakati pada tanggal 22 April 2011.
Persiapan launching dilakukan selama dua hari sejak tanggal ditetapkan. Saya dan teman-teman panitia yang lain mulai bekerja terutama melakukan publikasi. Media internet menjadi sarana paling mutakhir untuk melakukan pekerjaan ini. Layanan sms juga tak luput dieksekusi untuk mengajak semua teman-teman yang terdaftar dalam phone book agar datang ke acara ini.
Sejak sore panitia mulai sibuk mengurusi persiapan teknis, mulai dari pemasangan screen, setting proyektor hingga menata kursi-kursi tempat duduk para undangan. Selepas shalat magrib, semua perangkat telah terpasang. Acara akan dimulai pada pukul 20.00. Sambil menunggu para tamu yang datang, panitia menayangkan beberapa video pendek sebagai pengantar. Acara terlambat kurang lebih setengah jam dari jadwal yang sudah ditetapkan. Ketika waktu telah menunjukkan pukul 20.30, acara pun dimulai.
Saya membuka acara dengan memberikan pemaparan singkat program gerobak bioskop Dewi Bulan. Kemudian dilanjutkan oleh Jimpe yang menjelaskan hubungan kerjasama Tanahindie dengan ruangrupa dalam penyelenggaraan program ini. Setelah itu barulah Mirwan Andan, sang eksekutor gerobak bioskop dari ruangrupa memberikan pemaparan tentang apa dan mengapa gerobak bioskop ini mereka buat. Para penonton cukup menikmati jalannya penjelasan ketika Andan memberikan gambaran tentang ruangrupa dan apa yang telah mereka kerjakan.
Jalannya acara semakin menarik saat Andan mulai memberikan penjelasan tentang program OK Video, karya-karya dalam komplikasi 10 tahun seni video Indonesia 2000 – 2010 ruangrupa. Pada beberapa judul film yang diperlihatkan seperti sinema elektronik ataupun azab perempuan cantik dan pacarnya membuat para penonton tertawa cekikikan menyaksikannya. Namun di beberapa film lain seperti kumpulan foto yang dibuat film, ataupun undang-undang anti globalisasi yang dibuat lagu menjadikan mereka tampak lebih serius menontonnya. Proses ini cukup menguras banyak waktu sebab cukup banyak referensi film yang diperlihatkan sehingga pemutaran film utama menjadi terlambat. Beberapa penonton yang terlihat mulai bosan berpindah tempat duduk ke area belakang.
Malam semakin meninggi dan sampailah kita pada akhir acara. Sebagai film pamungkas, untuk launching gerobak bioskop Dewi Bulan adalah film Nagabonar yang diperankan oleh Dedy Mizwar bersama Nurul Arifin. Film ini sedikit membawa kita ke era masa lalu dimana penjajahan masih berlangsung di Indonesia dan bagaimana rakyat Indonesia mempertahankan negerinya, tanah leluhur tempat mereka dilahirkan. Film ini dikemas dalam bentuk komedi dan cukup menghibur para penonton Dewi Bulan.
PADA DASAWARSA 1970–1980-an, marketing perusahaan-perusahaan jamu dan rokok bertualang menembus permukiman masyarakat di pelosok Nusantara untuk menggelar layar tancap. Ketika mobil penyelenggara tiba di satu daerah tertentu maka para penduduk pun kegirangan seperti menyambut pahlawan perang yang baru pulang. Anak-anak berlarian di belakang mobil berebut pamflet film yang akan ditayangkan.
Biasanya, sebelum dan pada saat acara berlangsung, pihak perusahaan jamu atau rokok menggelar barang dagangannya. Mereka terus berpromosi mengajak para penonton untuk membeli. Pegelaran layar tancap pada saat itu tak luput diisi dengan penayangan pesan-pesan pembangunan dari pemerintah sebagai pengantar sebelum film ditayangkan. Biasanya pesan pembangunan tersebut berisi program BKKBN atau reboisasi. Fenomena ini fenoman khas di masa Orde Baru.
Layar tancap tidak hanya bertindak sebagai hiburan semata yang datang dan pergi begitu saja. Ia tinggal dan melekat menjadi sebuah hiburan baru bagi masyarakat. Seperti yang terjadi di daerah Pacitan, Jawa Timur. Hiburan layar tancap diadopsi menjadi permainan baru oleh anak-anak. Mereka menamainya permainan Beskop-Beskopan. Permainan ini merupakan versi konvensional dari wayang kulit. Mereka membuat pola dari kertas karton dan digunting untuk membentuk karakter yang akan dimainkan, sementara layarnya mereka buat dari kain bekas atau sarung bekas. Untuk memainkan karakter, mereka mengikatnya pada sebuah benang panjang yang melintang. Karakter tersebut kemudian ditarik-tarik oleh ‘ki dalang’ dari balik layar dengan diterangi lampu minyak.
Pegelaran layar tancap gerobak bioskop Dewi bulan memberikan efek positif bagi Kampung Buku dan sekitarnya. Di depan perpustakaan ini terdapat dua buah bangunan kos-kosan putri. Kos-kosan ini tergolong mewah. Fasilitasnya lengkap mulai dari kulkas, tempat tidur, lemari, AC, hingga laundry pakaian. Kos-kosan ini banyak dihuni oleh orang-orang yang bekerja kantoran dan mahasiswa. Menariknya, sejak sore hingga tengah malam, anak-anak muda kompleks CV.
Dewi ini selalu mengendarai motor mereka dengan kecepatan tinggi setiap melintasi daerah depan kos-kosan tersebut. Bagi anak-anak kecil yang masih bau kencur juga tak mau kalah dengan ikut melajukan sepeda sembari mengumandangkan lengkingan suara bocah mereka. Entah apa maksud dan tujuan dari tindakan mereka, mencari perhatian, ingin dipuji, mau eksis, entahlah. Yang pasti dengan diselenggarakanya layar tancap di Kampung Buku, laju kendaraan di jalur ini perlahan mulai melambat.
Tak terlewatkan juga, setiap kali pegelaran gerobak bioskop Dewi Bulan ini diselenggarakan, para penghuni kos-kosan tersebut juga ikut memeriahkan jalannya acara dengan menonton dari lantai dua bangunan hunian mereka.
Nur Muhammad Ahmad, 2011
Sorry, the comment form is closed at this time.