19 Feb Jaga Diri dengan Ransel di Train Station
Sartika Nasmar, seorang aktivis bidang kesehatan reproduksi akhir tahun lalu berangkat ke India untuk sebuah pertemuan. Tika, nama panggilannya, membagi pengalaman perjalanannya berkereta. Ia bercerita siasat yang baik ketika di atas alat transportasi umum yang sumpek, sekaligus laten bagi kaum yang kerap mendapat perlakuan tak pantas. Ini catatan pertamanya dari dua tulisan tentang India yang ia kirim untuk weblog ini.
Pagi hari yang lumayan dingin. Saya memasuki sebuah hostel tempat teman saya menginap, resepsionis menyapa saya dengan ucapan, namaste—berarti ‘salam’. Saya naik ke lantai tiga. Mengetuk pintu. Masuk dan melihat teman saya baru saja bangun. Saya membuka jendela dan melihat ke bawah. Menemukan tempat ibadah penuh kalungan bunga, gambar dewa Shiva dan patung-patung kecil Ganesha.
Pagi itu, saya dan dua teman menuju ke sebuah warung makan untuk sarapan. Kami memesan tiga kopi hitam dan roti bakar. Kopi India lumayan enak, tidak kental. Menurut saya, kopi di Indonesia lebih spesial. Tapi, tetap saya nikmati hingga habis.
Teman saya memeriksa peta untuk beberapa tujuan dengan menggunakan kereta cepat. Pukul 12.00, kami berangkat menuju Delhi Metro Train Station (DMTS) R.K. Ashram Marg. Jaraknya dekat dari hostel kami. Kami berjalan kaki. Berbagai tawaran taksi, rickshaw hingga auto-rickshaw hadir di perjalanan pendek kami. Mereka gigih sekali menawarkan harga dan layanan dari mahal menjadi murah. Mereka bahkan mengikuti kami hingga ke stasiun.
DMTS adalah stasiun angkutan kereta cepat dalam kota New Delhi. Ada ratusan stasiun di tiap area. Kereta datang per enam menit. Untuk tiba di tujuan, tak membutuhkan waktu hingga berjam-jam. Dan, murah tentunya.
Kehadiran Delhi Metro merupakan satu kenyamanan yang ditawarkan di New Delhi. Sesuai misinya, menciptakan standar kelas dunia dalam hal keselamatan, keandalan, ketepatan waktu, kenyamanan dan kepuasan pelanggan. Dan, sebagai pelanggan, saya bisa merasa puas.
Kami antri untuk membeli dua koin metro. Seorang teman antri di tempat lain untuk kartu deposit metro yang mereka sebut ‘smart card’. Untuk koin, kami membayar hanya Rs 32 untuk dua koin. Sedang untuk smart card, teman saya mendepositkan Rs 100 untuk beberapa kali perjalanan. Kami lalu masuk. Di pintu masuk terdapat beberapa jalur yang tertutup. Kami melewati pintu pemeriksaan. Laki-laki dan perempuan pisah. Petugas perempuan memeriksa saya dengan sebuah alat. Lalu ke tempat pemeriksaan barang seperti yang ada di bandara. Setelah itu, menempelkan koin di alat sensornya dan pintu terbuka. Canggih, pikirku.
Untuk tiket, mereka menggunakan sistem koleksi tiket otomatis. Jika masuk menggunakan koin, harus disimpan. Jangan sampai hilang. Ketika keluar dari stasiun akan dibutuhkan lagi. Koin akan dimasukkan ke dalam lubang pipih seperti celengan dan besi pintu akan terbuka otomatis.
Di area stasiun terdapat banyak peta di dinding. Kami memeriksa peta. Tujuan kami adalah stasiun Chandni Chowk. Ada beberapa jalur yang berbeda warna sebagai petunjuk. Dan, kami harus singgah di beberapa stasiun. Pertama, kami melewati jalur garis biru dan menunggu kereta tujuan stasiun Rajiv Chowk. Kereta datang begitu cepat. Kami menunggu pintu terbuka dan masuk berebutan. Tak ada kursi, kami berdiri. Saya memegang tiang agar tak jatuh.
Stasiun pertama adalah tujuan kami, Rajiv Chowk. Hanya sekitar lima menit sudah tiba. Kami turun dan mencari jalur warna kuning. Ada petunjuk arah gambar anak panah dan jejak kaki. Kami mengikutinya. Dan menunggu kereta. Kali ini tujuan berikutnya adalah stasiun Chandni Chowk. Kami melewati dua stasiun yakni New Delhi dan Chawri Bazar. Hanya sekitar delapan menit perjalanan, kami sudah tiba di tujuan dan menuju pintu keluar.
Dari satu kereta ke kereta lain dijamin tak akan tersesat. Delhi Metro dilengkapi dengan beberapa fasilitas seperti sistem komunikasi modern dan sistem kendali kereta. Setiap mendekati satu stasiun, akan ada suara perempuan dan laki-laki dalam dua bahasa yakni Hindi dan Inggris yang menyebutkan nama stasiun dan memberi peringatan agar Anda tak bersandar di dekat pintu yang akan terbuka otomatis.
Di stasiun juga dilengkapi dengan beberapa fasilitas seperti eskalator dan lift hingga ketika harus berjalan dan berpindah kereta tak akan kelelahan. Di dalam stasiun juga tersedia kompleks perbelanjaan dari rumah makan hingga toko oleh-oleh.
Selama di New Delhi, kami banyak menggunakan transportasi publik ini untuk mengakses beberapa tempat. Meski kadang berdesakan dan harus berhati-hati terhadap pelecehan seksual. Ransel saya letakkan di depan dada. Tangan tak ingin menggantung, tapi memegang tiang. Yang menyebalkan karena pernah sekali kami naik Delhi Metro Train dan seseorang kentut di dalam sana. Rasanya ingin muntah. Baunya menyebar di gerbong yang ber-AC tersebut. Entah pelakunya makan apa tiap hari hingga kentutnya sebau itu. Kami sempat melirik ke seorang teman, curiga.
“Not me,” tanggapnya, cepat. Kami tertawa bersama.
Di beberapa stasiun sebenarnya tersedia beberapa blok tempat untuk antri berdasarkan jenis kelamin. Saya mendapatinya di stasiun Rajiv Chowk. Ada plan berwarna pink yang bertuliskan Women Only. Di sana adalah tempat khusus perempuan antri. Gerbong yang singgah tepat di depannya hanya diisi oleh perempuan saja. Begitu pun gerbong laki-laki. Namun kadang, tetap saja bercampur.
Suatu waktu saat ingin ke Lajpath Nagar sendirian, seorang laki-laki naik ke gerbong khusus perempuan. Ia mungkin tak sadar karena sedang menerima telefon. Seorang ibu menepuk bahunya. Ibu itu menggunakan bahasa Hindi. Entah apa yang diucapkannya. Tapi laki-laki itu kemudian melihat sekeliling dan segera berlari kecil sambil terus berpegang ke tiang menuju gerbong khusus laki-laki.
Penumpang lain tertawa. Saya juga.[]
fadalays
Posted at 01:36h, 20 FebruariSeandainya di Indonesia paling tidak di Makassar ini ada regulasi yang mengatur keselamatan perempuan dalam beraktifitas tentu akan sangat menentramkan tapi tidak. Pernah beberapa tahun silam saya mengalami pelecehan di sebuah swasta terbesar di negri ini sebab antrian laki-laki dan perempuan dicampur. Protes pun ke pihak bank tetap mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Menuntut pun kemungkinan besar akan merugikan, salah-salah malah korban yang dilibatkan dalam masalah dan bukannya membantu.