tanahindie | Lebih Dekat ke Perbatasan dengan CdTB
531
post-template-default,single,single-post,postid-531,single-format-standard,ajax_fade,page_not_loaded,,qode-title-hidden,qode-content-sidebar-responsive,qode-theme-ver-10.0,wpb-js-composer js-comp-ver-4.12,vc_responsive

Lebih Dekat ke Perbatasan dengan CdTB

Bagaimana wujud pernyataan bahwa dunia jurnalisme mutakhir kini harus bertumpu pada kedalaman liputan? Mari kita sambut kedatangan film dokumenter Cerita dari Tapal Batas (CDTB) yang menambah rujukan kita sebagai salah satu karya yang merayakan itu.

Cerita dari Tapal Batas (CDTB) merupakan film dokumenter berdurasi 60 menit berlatar Dusun Badat Lama, Kalimantan Barat, perbatasan Indonesia dan Malaysia. Film ini menceritakan 3 (tiga) isu sekaligus menghadirkan tiga tokoh: Ibu Martini dalam isu pendidikan, Mantri Kusnadi di bidang kesehatan, dan Ella yang menjadi tokoh terkait perdagangan manusia.

CDTB ingin menunjukkan kenyataan miris yang selama ini tersembunyikan dari ‘wajah’ negara yang bernama Indonesia. Sebuah potret kehidupan dari sejumlah orang biasa dengan segala persoalannya di dusun terluar tepat garis batas Indonesia-Malaysia, namun masih menjadi bagian dari negara kesatuan ini.

Melalui Martini, (guru SD yang harus mengajar 6 kelas SD Badat Lama), Kusnadi (mantri kesehatan yang harus turun gunung dan keluar masuk desa demi melayani masyarakat di cakupan wilayah Kecamatan Entikong), dan Ella (sosok korban perdagangan manusia di Singkawang), kita menyaksikan sebuah optimisme yang besar dari mereka akan negeri tercinta, Indonesia!

Namun di luar perjuangan ketiga manusia ini, saya harus mengirim salam salut atas  kejelian tim kerja Cerita dari Tapal Batas saat memilih isu. Tokoh Martini dan mantri kesehatan Kusnadi mewakili isu pendidikan dan kesehatan yang menjadi deretan isu utama pembangunan Indonesia. Demi dunia pendidikan ABPN dan APBD harus minimal 20 persen (selain dari gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan) dan minimal 5 persen untuk kesehatan. Isu lain, perdagangan manusia, kian melengkapi cerita ini dengan tepat lantaran cerita ini berlatar wilayah perbatasan.

Film ini sangat mungkin menyita perhatian karena datang bercerita tentang sesuatu yang sejak lama diabaikan oleh pemerintah, yakni manusia-manusia perbatasan. Di dalam rentetan gambarnya memperlihatkan orang-orang di kawasan ini tampak selalu ‘mendua’, kendati kenyataannya mereka berdaya memilih yang terbaik bagi mereka sendiri. Mereka memilih ‘status’ sebagai warga negara Indonesia, sementara dalam pekerjaan mereka meminta bayar mata uang Ringgit—lantaran pilihan jalur terdekat produksi dan distribusi kebutuhan dan keinginan mereka tersedia dalam mata uang Malaysia.

Dokumentasi

Film dokumenter, sebagaimana tulisan atau cerita naratif, berfungsi sama. Keduanya bercerita pada kita tentang sesuatu yang lebih mendalam, lebih karib, dan merasuk ke denyut kehidupan subjek liputan. CDTB menjelajahi hutan Kalimantan bagian barat dan menemui Martini yang tampak marah lantaran harus merangkap banyak tugas; mulai dari kepala sekolah, guru kelas I sampai VI, sampai menjadi petugas kebersihan sekolah.

Apa yang dilakukan tim CDTB merupakan laku dalam dunia jurnalisme, mengabarkan sesuatu tentang hal-hal baru dari dekat. CDTB menjadi istimewa karena membawa kabar dari perbatasan. Dunia jurnalistik memerlukan bentuk baru. Penjelasan perlu lebih naratif lantaran kabar yang beredar begitu cepat dan sekadar meliput rumus 5W + 1H, sebagaimana yang kerap muncul dalam paparan jurnalisme daring (dalam jaringan, online). Semua kabar beredar lekas dan saling timpa. Fungsi dokumenter, baik tulisan narasi maupun film dokumenter, memberi kita peluang dan waktu lebih dekat pada objek yang sedang ditulis atau diliput–yang memungkinkan ‘pelibatan’ kita dalam cerita bersangkutan.

Dunia jurnalistik kini kian semarak dengan kehadiran berita-berita portal dotcom dan sejenisnya. Pada satu sisi kecepatan, jenis ini sungguh melesat luar biasa. Namun pada segi lain, media konvensional mulai jarang digubris, yang ditandai dengan menurunnya tiras media cetak. Sejumlah koran malah harus mengubah diri menjadi berita dunia maya, sebagaimana yang terjadi pada Chicago TribunePhiladelphia Inquirer, atau Seattle Post Intellengencier di Amerika Serikat pada paruh akhir 2000. Sejak lama, perkembangan teknologi telah menjadi perihal yang menyertai perkembangan sosial dan politik dunia. Contoh terdekat ketika Revolusi ESDA II di Filipina pada Januari 2001 yang berhasil menggulingkan Presiden Filipina, Joseph Estrada, dengan bantuan teknologi SMS (short message service). Warga lewat SMS saling memanggil untuk berkumpul di Jalan Epifanio de los Santos Evenue, kepanjangan dari ESDA, nama yang belakangan melekat pada gerakan tersebut.

Arfan Sabran menyebut, CDTB menarik karena sejak awal sudah menunjukkan pada kita persoalan apa yang hendak diketengahkan dokumenter tersebut. “Sangat sinematik. Ini juga yang kita harap teman-teman yang membuat gambar yang bicara. Sangat detail. Dari segi bentuk menggabungkan cara bercerita dan exspository (orang yang muncul),” jelas Arfan, dalam Kick Off Roadshow CDTB di Dewi Bulan, program layar tancap Tanahindie, yang berlangsung di Kampung Buku, Juli 2012 lalu.

Arfan yang juga pendiri komunitas film Rumah Ide Makassar, menyebut, apa yang diperlihatkan CDTB sebagai gaya yang baru muncul di sinema Indonesia. Selama ini, kata Arfan, dokumenter masih sering dipandang sebagai alat advokasi semata, seolah-olah sangat personal, seolah sebuah diary film maker dan bercerita ke penonton. Namun, “Gaya film CDTB menarik karena narasinya langsung kuat di awal cerita,” tambah pemenang Eagle Award 2006 lalu lewat dokumenter berjudul Suster Apung ini.

Hal ini, kata Arfan, bisa dikatakan gejala umum film dokumenter Indonesia lantaran pasca 1998 film dokumenter banyak berbicara hak asasi. Perbedaan dari CDTB yakni masuk ke wilayah personal, aku diari, muncul sangat personal dari ketiga tokoh.

Ichwan Persada, produser CDTB mengungkapkan, sebenarnya dokumenter ini awalnya dipersiapkan sebagai salah satu perangkat promosi untuk film berjudul BATAS. Tapi ia dan tim memandang bahwa dokumenter ini bisa ‘berlari’ sendiri. Maka tim CDTB meramu sedemikian rupa. Mereka membuang lima puluh persen narasi film tersebut. “Pas ketika pengambilan suara Darius (sebagai narator), kami minta agar Darius tidak ngomong menggebu-gebu. Narasinya tone rendah. Emang kayak orang bercerita. Karena menurut saya, gambarnya sudah cerita. Kenapa bikin filmnya ‘cerewet’ lagi,” ungkap Ichwan.

Selama beberapa tahun belakangan, isu perbatasan Indonesia-Malaysia timbul tenggelam. Namun isu itu tak pernah benar-benar hilang dan masih terus saja meletup. Lewat trio Ichwan Persada (produser), Wisnu Adi (sutradara) dan Marcella Zalianty (produser eksekutif) film ini pun lahir. Kisah-kisah ketiga sosok dalam film itu rupanya menyentuh hati para dewan juri Festival Film Indonesia 2011. CDTB pun akhirnya sukses menembus ketatnya nominasi Film Dokumenter Terbaik 2012.

Kisah luar biasa dari “Cerita Dari Tapal Batas” juga mendapat dukungan dari sejumlah pihak yang tak diragukan kapabilitasnya. Di antaranya Waluyo Ichwandiardono (penyunting gambar), Thoersi Argeswara (penata musik – mendapat 3 nominasi FFI 2011 sekaligus!), Darius Sinathrya (narator) dan Efek Rumah Kaca (menyumbangkan lagu “Menjadi Indonesia”).

Kick Off CDTB di Dewi Bulan

SESI DIALOG kick off CDTB juga mengemuka pertanyaan bahwa apa benar dokumenter tidak mendatangkan duit? Menurut Ichwan, dokumenter hampir sama dengan fiksi. Maksud dari pernyataannya itu bahwa banyak film fiksi tidak beredar di bioskop sepertiPostcard from the Zoo. Tapi hanya film yang diputar di bioskop itu kepalang dan terlanjut dianggap sebagai ‘film komersial’. Padahal, itu hanya soal pilihan menyajikan film bersangkutan.

Menurut Ichwan, pembuat film di Makassar amat potensial. Gambar-gambar yang diproduksi oleh Rusmin Nuryadin disebutnya matang. Sayangnya, film sebagai salah satu titik industri kreatif Makassar belum mendapat dukungan dari banyak pihak. “Ini juga perlu mendapat dukungan dari orang-orang yang berfokus pada keproduseran,” tanggap Ichwan.

Produserlah yang mempertemukan keinginan pihak pemodal/penanam saham dengan pembuat film. Keduanya, kata Ichwan, perlu dijembatani agar produksi film bisa terwujud. Bagaimana pun, film membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Pembuatan film memerlukan tekad besar untuk mewujudkan rencana produksi filmnya. Orang-orang yang bertindak sebagai produser adalah kalangan yang memikirkan bagaimana mengembalikan dana ketika ada dana dari pihak investor.

Apakah atmosfer itu mendukung di Makassar? Dari amatan keseharian, Mawar menyebut bahwa ada satu kecenderungan atau budaya yang kerap muncul di kalangan kreatif Kota Daeng, yakni budaya ‘gengsi’, hal yang hanya bisa diimbangi dengan milintansi tinggi.

Ia menyatakan salut atas perjuangan sebuah band dari Bali, Navicula yang membawa isu penyelamatan orangutan Kalimantan dalam bermusik mereka. Mereka, kata Mawar, merencanakan tur yang dalam waktu bersamaan harus pula mendapatkan dana untuk membuat film dokumenter isu yang mereka sedang usung.

Hal lain yang ditengarai adalah berbagi pengetahuan di kalangan penggiat dunia kreatif Makassar. Darmadi menyebut bahwa orang-orang lama dunia film belum sempat menyebar kiat-kiat mereka bagaimana mengerjakan dan membiayai produksi film.

Agaknya, bagi saya, obrolan malam itu bukan hanya membincangkan sebuah dokumenter berjudul Cerita dari Tapal Batas. Hal penting lain yang mengemuka dan harus menjadi pikiran adalah bagaimana strategi bekerja kreatif di Makassar dengan segala keterbatasan yang sudah dilontarkan oleh sejumlah kalangan yang hadir malam itu.[]

Anwar Jimpe Rachman, 2012

No Comments

Sorry, the comment form is closed at this time.