27 Mar Lembaran Halaman yang Hilang
/1/
TEKNOLOGI fotografi kian terjangkau siapa saja. Dari komputer desktop, telepon seluler, hingga perkembangan sejumlah aplikasi fotografi di dunia maya yang diunduh gratis memungkinkan bagi siapa saja menggeluti dunia fotografis.
Untuk skala Indonesia, pada tahun 2006 pasar kamera DSLR sebesar 20.000 unit. Begitu pula dengan bervariasi model dan harga telepon seluler yang nyaris seluruhnya telah dilengkapi kamera oleh tidak kurang enampuluhan merek handphone di dunia yang jelas beredar pula di negeri ini. Dengan data kuantitatif ini kita bisa perkirakan bahwa betapa besar peluang semaraknya dunia fotografis. Pada akhir 2013 tenar istilah “selfie”, kata yang dipakai untuk jenis foto diri yang dijepret sendiri menggunakan kamera dijital atau kamera telepon genggam.
Data di atas juga seperti ingin menunjukkan pada kita bahwa seni fotografi kian berpeluang dirambah orang yang sama sekali baru terhadap wilayah seni yang satu ini.
Bagaimana menyikapi perkembangan ini? Fotografer atau yang mengakrabi sejak lama dunia seni fotografi kini ditantang untuk menguji kemampuannya mendekati lebih karib subjek yang mereka abadikan. Dengan begitu, fotografi kemudian berubah menjadi cara atau metode mendokumentasikan ruang dan manusia yang tergerus perubahan-perubahan lingkungan yang cepat.
Untuk itulah, pameran karya fotografi ini diajukan ke khalayak umum untuk memberi penegasan bahwa kamera menjadi pisau bedah dalam melihat persoalan-persoalan spesifik, seperti fenomena kehidupan di wilayah kota. Fotografi berubah menjadi wahana dan cara kerja pada sebuah situs/wilayah yang dipilih.
Sebuah kawasan bernama Buloa yang terletak di Kecamatan Tallo, Makassar. Kawasan itu kini berkembang menjadi wilayah sengketa karena peluang yang diciptakan oleh kota dan segala perkembangannya. Tapi bukan itu yang menjadi fokus pendokumentasian ini, melainkan pada para penghuni kawasan itu sekarang: manusia-manusia dan lingkungan sekitar. Pameran ini berniat besar menegaskan ulang salah satu fungsi dan esensi dari fotografi sebagai seni dokumentasi.
/2/
JUDUL pameran “Lembaran Halaman yang Hilang” dipilih untuk mengajukan pikiran bahwa karena pembangunan kota mengarusutamakan modal dan berbagai indikator ekonomi makro justru menimbun hidup warga lainnya. Upaya pameran ini mencoba menghadirkan kembali dan membaca ulang sejumlah ‘halaman’ yang dilupakan selama ini dalam ‘buku’ bernama Kota. Tujuannya satu: agar menjadi pertimbangan bagi semua pihak yang berandil atas pembangunan Makassar.
Tajuk pameran ini dipilih juga didorong oleh alasan lain. Tanahindie dan jaringan menganggap tahun 2014 merupakan saat tepat untuk membangun kerjanya dari dan kembali ke “halaman rumah”. Wacana ini akan dikerjakan bersama dengan jaringan dalam berbagai bentuk, mulai pertunjukan, pameran, sampai perisalahan dan penerbitan.
Kami menganggap “halaman rumah” adalah titik mula kerja-kerja kebudayaan. Kami memandang bahwa halaman rumah sebagai salah satu ranah penting tempat memulai pertemuan tatap muka, membahas, dan bekerja. Kami bersama jaringan semata mengerjakan (atau hanya mereka-reka) ulang apa yang selama ini menjadi kebiasaan leluhur. Bedanya hanya lokus kami di kota bernama Makassar, sebuah kawasan yang menampakkan jelas bagaimana ekspansi modal demikian masif yang perlahan menghabisi ruang-ruang bersama warga, seperti halaman.
/3/
Pameran ini bertujuan: (1) menyemarakkan dunia fotografi di Makassar, dengan membuka peluang untuk generasi baru fotografer di Makassar; (2) membuka peluang lain seperti pameran fotografi dokumentatif; dan (3) sebagai proses dan membuka dialog yang berkaitan dengan perekaman atau pendokumentasian kawasan-kawasan tertentu di Makassar.
Anwar Jimpe Rachman, 2014
Sorry, the comment form is closed at this time.