28 Mei Malaria dan Kelapa Sawit, Dua Demam di Topoyo
Fasilitas sebuah warung dalam perjalanan menuju Topoyo (AJR) |
TOPOYO, desa yang terletak 180-an kilometer jalan poros Mamuju-Pasangkayu, hanyalah hutan lebat di awal 1980-an. Pelan-pelan desa ini terbuka seiring berjalannya program transmigrasi. Belakangan terbit harapan warga. Kabar yang santer mengemuka menyebutkan bahwa desa ini akan menjadi salah satu daerah penting dan utama cikal kabupaten Mamuju Tengah, yang konon sudah mendapat restu dari Pemerintah Pusat sampai Pemerintah Sulawesi Barat.
Pak Lamma, 67 tahun, tak pernah menyangka ini.
“Saya waktu datang ke sini tahun 1986, (Topoyo) baru lahan yang baru ditebang. Saya sempat bilang, ‘saya orang yang pertama tinggal di sini’,” seru Pak Lamma. Maksud Lamma ‘di sini’ adalah tanah seluas dua hektar yang kini ia tinggali bersama istri dan Dewi, anak perempuan tunggalnya yang tahun lalu ia nikahkan.
Ia ingat betul, tiba pertama kali di lahan jatahnya, tunggul-tunggul kayu berdiameter 100 senti kering bersebaran. “Butuh tiga tahun untuk membakar tunggul-tunggul itu,” cerita Lamma.
Lahan dua hektar tersebut merupakan tanah pembagian setiap orang yang ikut program transmigrasi. Lamma merupakan satu dari 74 KK (kepala keluarga) yang bergabung dalam bertransmigrasi gelombang I di Topoyo. Gelombang II (40 KK dari Kabupaten Wajo) dan Gelombang III (40 KK dari Kabupaten Enrekang) menyusul tak lama berselang.
“Pokoknya, 1986-1987 itu Topoyo terisi kurang lebih 250 KK,” terang Lamma.
Program transmigrasi, berdasarkan tuturan Lamma, selalu menyertakan penduduk lokal. Penduduk lokal di sini adalah penduduk dalam lingkup provinsi. Ketika itu, Mamuju masih bagian dari Sulawesi Selatan.
Topoyo adalah daerah yang terletak sekisar 180 kilometer di utara Mamuju, ibukota Sulawesi Barat. Desa itu terletak di pegunungan sebagaimana awamnya daerah di Sulbar. Perkebunan berkembang di sana, meliputi kelapa sawit dan jeruk manis, yang ditanam oleh warga transmigran berlatar beragam etnik.
Lamma mengungkapkan, transmigrasi Topoyo dan transmigrasi Wai Pute, desa tetangga barat Topoyo berbeda. Wai Pute merupakan transmigrasi PIR (perkebunan inti rakyat) untuk karet. Karena karet tidak berhasil warga mengganti menanam kelapa sawit. Seingatnya, tidak kurang 250 KK dari Jawa dan Bali menempati Wai Pute ketika itu. Perkembangan terakhir ini memadatkan daerah sekitar terutama Wai Lotong dan Desa Tumbu. Wai Lotong sendiri awalnya juga banyak ditempati oleh Jawa. Namun Wai Lotong berkembang sendiri. Belakangan, pemiliknya lalu menjualnya kepada orang lain dari Bugis dan etnik lain.
Malaria
Laiknya daerah hutan rambahan, malaria merupakan penyakit endemis di daerah ini. Untuk menangkal, ia minum obat telan dua pagi dua siang dan dua sore. Itu, kata dia, sudah bisa tahan setahun. Selain malaria, hal lain tentang Mamuju yang sampai di Makassar masa akhir 1960-an adalah Mamuju adalah tempat banyak orang yang ‘meracun’ orang baru.
“Padahal, banyak yang muntah darah karena gizi rendah. Makan sagu saja. Sedang panas badan, bertamu di rumah teman, muntah darah, dikira diracun. Padahal itu TB. Saya sejak dulu tidak percaya ada orang yang tega berani meracun orang. Waktu saya ke sini, pertanyaan saya pertama adalah ‘adakah masjid?’ Oh ada. ‘Adakah orang sembahyang?’ Oh ada. Kalau orang masih sembahyang, berarti mereka percaya pada Tuhan. Mereka tidak akan jahat sama orang lain,” begitu Lamma menjelaskan keyakinannya.
Malaria tak luput juga menimpa keluarga Lamma. Butuh perjuangan berat, mengingat di zaman itu, fasilitas pengobatan tidak semendingan sekarang. Ia menuturkan, ketika Dewi sakit malaria, ia berjuang keras untuk mencapai puskesmas yang adanya di Babana, 20 kilometeran dari Topoyo. Mencapai pelayanan kesehatan harus menyeberangi dua sungai.
“Kalau lagi beruntung, kita bisa menumpang di truk yang sedang membawa kayu. Tapi tetap saja jalanan sangat tidak memadai. Berlumpur,” katanya. Peristiwa itu terjadi ketika anak perempuannya, Dewi berumur 4 tahun. Dewi, yang kini mengandung enam bulan, lahir dan besar di Topoyo pada tahun 1988.
Bagi penduduk setempat, karena kurangnya pengetahuan tentang penyakit ini, setiap demam dan gigilan warga selalu dianggap sebagai dudungeng saja (cacar/sarampa’) atau kambuloang (demam keserempet mahluk halus).
Lamma sendiri tidak banyak mempraktikkan pengobatan tradisional. Mengobati sakit malarianya ia mengonsumsi obat-obatan medis. Dia mengakui, minum air perasan pepaya adalah obat yang manjur. Namun itu jarang ia pakai. Ia lebih yakin keampuhan obat medis.
LAMMA, itu saja namanya; nama tipikal Bugis. Ia lahir tahun 1944 di Baringeng, Soppeng Sulawesi Selatan. Ayah ibu Lamma menetap di Parepare. Namun khawatir keselamatan karena pendudukan Jepang, ibunda Lamma mengungsi ke Soppeng. Umur sekisar sebulan ibunya memboyong Lamma ke Parepare.
Besar dan tumbuh di Parepare, pemuda Lamma kemudian berangkat ke Makassar untuk berkuliah. Ketika itu ia masuk pendidikan sarjana muda di jurusan Komunikasi Massa di Universitas Veteran Republik Indonesia (UVRI), Jalan Gunung Bawakaraeng, Makassar. Perjalanan nasiblah yang membawa Lamma ke Topoyo. Lelaki berkumis dan berjanggut putih ini kini dianggap salah seorang tetua Desa Topoyo.
Memasuki dekade 1970-an, sampai kabar di telinga pemuda Lamma bahwa ayahnya yang bekerja di Mamuju sana jatuh sakit. Jalan dari Makassar ke Mamuju belumlah tembus. Semuanya ditempuh lewat laut. Setidaknya 18 jam naik kapal. Lamma, saat itu bekerja sebagai tata usaha di UVRI, meninggalkan Makassar menuju Mamuju.
“Sampai di sini ternyata Beliau tidak apa-apa. Rupanya Beliau hanya rindu sama saya,” kenang Lamma, tertawa.
Menyimak suara dan cara tertawa begitu juga tampakannya, saya jadi ingat Karni Ilyas, wartawan senior yang bertugas di TVOne. Hanya beda rambut, kumis dan cambang tipis yang ia pelihara sudah memutih.
Maksud menjenguk ayah di Mamuju, rupanya mengubah jalan hidup Lamma. Di sana ia mendapat tawaran bekerja dari majikan sang ayah, Oe I Ming. Pengusaha berdarah Tionghoa itu memintanya jadi kepala perwakilan sebuah kongsi, CV Hubungan Baru. Usaha CV ini dirintis di Lombang-Lombang. Perusahaan ini membeli kopra. Ia bekerja di situ sampai 1973-1978. Perusahaan itu kemudian bubar karena sang pemilik meninggal. Ia dikirim ke Kabuluang, dekat Belang-Belang. Di sana, oleh Oe Tek Piaw, anak mantan majikannya, ia disuruh beli kopra dan rotan. Satu tahun lebih di sana, anak pemilik perusahaan kongsi membangun pabrik minyak. Setahun saja dia di sana. Lamma berhenti dengan alasan pekerjaan terlalu berat.
Usai bekerja sebagai perwakilan, pada 1981 ia bekerja di PTP XXVII yang menanam karet di Tangkau. Tapi karena tanaman penghasil getah putih itu tidak bertumbuh baik, tanaman perkebunan diganti jadi kelapa sawit. Seiring itu, PTP diganti oleh PT Astra Surya Lestari. Selesai bertugas di PTP XXVII, ia bekerja di bagian logistik di PT Bina Trijaya Perkasa, perusahaan yang dikontrak PTP XXVII untuk pembersihan lahan (land clearing) tahun 1985. Setahun kemudian, kedekatannya dengan seorang petinggi Dinas Transmigrasi, ia pun ikut transmigrasi dan menjadi warga Topoyo.
Kini, Lamma setiap hari bertugas sebagai sekretaris desa Topoyo. Di kantor yang terletak di jalan poros Topoyo-Desa Tumbu itu ia bersama Kades, yang juga kemenakannya, menjalankan tugas mengurus administrasi Topoyo dan segala tetek bengeknya.[]
No Comments