21 Mar Melintasi Portal Kampus
(Ade Firman)
Moh Mahfud MD dalam tulisannya Menggugat Perguruan Tinggi (Koran Sindo, edisi 12-03-2016) menilai bahwa kini ada kekhawatiran melemahnya nilai-nilai moral dan idealisme perjuangan perguruan tinggi bagi masa depan negeri ini. Perguruan tinggi saat ini lebih asyik dengan dirinya sendiri, padahal seharusnya ia memiliki kepedulian mendalam dan harus menjadi menara air bukan menara gading, tidak boleh elitis melainkan harus populis dan berpijak di bumi sendiri.
Pandangan samacam itu kenyataannya mempengaruhi cara pandang saya ketika berkunjung ke pameran seni rupa dengan tema Portal digelar selama tiga hari oleh mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar, 14-17 Februari 2016.
Lokasi pameran ini digelar di batas Kota Makassar – Gowa Jalan Hertasning, tepatnya di salah satu gedung perumahan elite Citra Land Celebes Makassar. Perhatian kita sesekali akan teralihkan karena keberadaan karya-karya yang terpajang jika melintasi pintu masuk dan keluar perumahan itu. Pengemudi mobil yang melintas tampak mencuri pandangan dari dalam kaca menengok karya-karya tersebut. Begitu pun orang-orang yang berkunjung dengan keperluan menarik uang di mesin ATM yang berada dekat tempat pameran itu.
Sebelumnya saya mengira pameran itu menjadi pameran yang mewah sebab pilihan lokasi di perumahan elite yang cukup dikenal di kota ini. Biaya penyewaannya itu mungkin tidak sedikit. Asrul, salah satu mahasiwa yang berpameran mengaku bahwa lokasi ini masuk dalam pilihan tempat sebab dengan menyebut tempat ini kebanyakan orang tentu sudah tahu dan mudah untuk menemukan lokasinya. Belakang saya ketahui bahwa salah satu alasan memilih tempat ini karena sedikit mengurangi beban keuangan tim kerja. Tempat pameran ternyata tidak dipungut biaya.
Dugaan saya sebelum ke sana, sama dengan kebanyakan kegiatan kampus lainnya, pameran ini mungkin menjadi eksklusif setelah dikesankan dengan kehadiran undangan yang kebanyakan dari mahasiswa. Meski pameran itu digelar di luar kampus, kemungkinan yang hadir melulu orang-orang kampus. Mahasiswa dinilai memiliki penyakitnya sendiri, yakni asik sendiri. Hal ini saya agaknya begitu yang hampir selalu saya jumpai ketika hadir dalam sejumlah kegiatan teman-teman mahasiwa. Dari undangan yang hadir hanya civitas kampus sampai kecenderungan yang hanya melibatkan masyarakat kampus dalam sejumlah pergelarannya.
Sejauh ini, kampus cenderung menjadi lingkungannya sendiri dibanding lingkungan luar. Perguruan tinggi dianggap terpisah dengan lingkungan di luarnya. Menjadi menarik ketika ada peristiwa seperti ini, justru ada persentuhan antara mahasiswa-mahasiswa seni rupa dengan siapa saja di luar kampus. Di kampus lain mungkin telah mencoba hal yang sama, tetapi masih belum optimal, mungkin dikarenakan masih sebatas inisiatif mahasiswa tanpa dukungan penuh dari dosen dan sebagainya. Anwar Jimpe Rachman memberi tepuk tangan untuk upaya itu dalam awal kata sambutan kuratorialnya.
Dugaan saya itu menjadi keliru ketika mengetahui turut mengundang pula sejumlah guru dari SMK 2 Somba Opu dalam malam apresiasinya. Sedikit banyak dugaan saya runtuh. Justru sebaliknya, pameran ini sepenuhnya didukung pihak kampus dengan melibatkan pengampu dari luar kampus yang diminta untuk mengkurasi karya-karya mahasiswanya. Bukan hanya kali ini saja, seniman dan pengampu dari luar kampus juga sering dilibatkan jika menggelar pameran yang serupa, kata salah seorang perupa yang saya temui sore hari kedua pameran.
Kelima mahasiswa yang berpameran itu adalah Andi Qul Anshar, Asriandy, Asrul, Hamka Djabir dan Muhammad Rezim. Jenis karya yang dipamerkan adalah karya lukis, ilustrasi, desain grafis dan kriya dengan ragam isu yang disajikan. Andi Qul dengan karya tiga dimensinya yang disajikan dengan nuansa blackmetal dengan pandangan agama. Asriady menyuguhkan karya desain grafis dengan teknik smudge painting yang menghadirkan kembali para peraih Nobel dari dunia Islam. Asrul dengan lukisan mata di atas kanvas-kanvasnya dengan muatan isu kebakaran hutan dan penggusuran. Karya kriya yang agaknya sudah jarang digunakan disajikan Hamka dengan menawarkankannya dengan teknik celup dan campuran cat. Sedang Rezim menggambarkan kebudayaan masa lalu Bima dan mengabarkan tentang kelangkaan satwa rusa yang pernah menjadi aikon daerah dan kampung halamannya dalam karya ilustrasi yang disajikannya.
Dalam obrolan santai saya bersama Asriady pada hari kedua pameran ini, “portal” seperti “pintu tanpa penghalang”, yang bermakna bahwa dalam berkarya seni kita mesti bebas berekspresi seluas-luasnya. Meski Asrul mengakui bahwa karya-karya mereka sangat jauh dibanding seniman dengan keterampilan yang lebih dulu mahir. Asrul yang saya jumpai di hari terakhir pameran berharap bahwa semoga pameran ini tidak hanya untuk tugas akhir saja, dan perlu terus berkarya berkali-kali untuk mempertajam kemampuan mereka.
Menurut saya, yang menarik bertautan dengan tema pameran dan perilaku kampus kini, sepertinya ada kegelisahan serupa yang coba disampaikan kelima seniman ini tentang batas-batas dan perilaku perguruan tinggi dari tema yang sengaja diusungnnya. Yang disebut-sebut sebagai dikotomi mahasiswa dan masyarakat di luar kampus yang sebetulnya tidak perlu ada.
Mengutip pengantar kurator, Anwar Jimpe Rachman pada pembukaan pameran ini, tema “portal” dimaknai sebagai pintu menuju tiga masa. Portal layaknya berfungsi sebagai alat ungkap dan jalan menuju fenomena pada keadaan tertentu di masa yang dapat dimaknai atau sekaligus dihidupkan (masa lalu), ditelusuri (masa sekarang), dan diprediksi (masa depan).
Jika portal merupakan sebuah pintu dengan tonggak yang melintang di suatu gerbang pesan yang tersirat pada tema pameran ini jika disesuaikan dengan ilustrasi fungsi portal di atas, kita akan menemukan sebuah jalan menuju kerelaan berkarya yang merdeka tanpa palang. Kerelaan yang saya maksudkan adalah upaya keluar dari palang atau suatu hal yang membatasi ekspresi berkarya. Saya rasa, kita semua tentu mengetahui bahwa ekspresi, tentang apa pun itu, sebaiknya tanpa batas. Seni diajukan untuk diekpresikan seluas-luasnya, tanpa palang.
Jika kita mengandaikan, portal bisa kemudian dimaknai sebagai pintu gerbang kampus, tempat yang dianggap sebagai tempat memproduksi pengetahuan-pengetahuan, maka kita hanya membutuh kerelaan melintasinya. Merelakan pengetahuan-pengetahuan itu yang semestinya berlintas tanpa batas ruang. Menimpali itu, Asrul berharap semoga melalui pameran ini semoga karya-karya (pengetahuan) mereka bisa lebih dekat dengan kehidupan di luar kampus.
Saya jadi teringat dengan upaya kawan-kawan saya di UKM Seni Universitas Muslim Indonesia yang membuka diskusi pada pra-produksi dan pasca-produksi pertunjukan “Ku-Partai Batu” bersama penggiat dan peneliti kota di Kampung Buku. Upaya ini sengaja dilakukan untuk memperkaya wacana dan sudut pandang para awak produksi. Cara itu juga menjadi semacam belajar bersama dengan melibatkan siapa saja yang bukan melulu civitas kampus. Diskusi yang dilakukan pada 2012 lalu dalam merespons pembangunan mega proyek reklamasi Pantai Makassar melalui pertunjukan teater Ku-Partai Batu di Jalan Metro Tanjung Bunga, tepatnya depan Siloam Hospital.
Agaknya kampus mestinya perlu lebih terbuka dengan dunia di luarnya, bukan justru menciptakan dikotomi masyarakat kampus dan masyarakat di luarnya.[]
No Comments