
15 Jun Membicarakan Graffiti di Bawah Purnama
“Film jadi pemicu interaksi tatap muka”
Penggiat film Amerika Serikat, Jon Reis berkeliling dunia selama tiga tahun. Ia berburu seni graffiti di lima benua. Dari New York, London, Amsterdam, Paris, Rio de Janiero, Tokyo, hingga Cape Town. Melakukan wawancara dengan seniman dinding yang kebanyakan bergerak ‘di bawah tanah’. Pada 2007, hasil perjalanannya itu ia tuangkan dalam sebuah dokumenter berjudul Bomb It dan mendapat penghargaan.
Bomb It yang berdurasi 97 menampilkan eksplorasi aneka bentuk coretan dan interaksi antar gerakan pasukan cat semprot di seluruh dunia. Tentang upaya para seniman jalanan untuk mengontrol ruang publik. Juga perjuangan mereka melawan hukum, menghindari kejaran petugas kemanan, dan mendapat cacian dari masyarakat.
Lewat film itu terlihat jelas bagaimana bentuk dan gaya graffiti telah berevolusi. Dari coretan atau tag kecil di dinding-dinding bangunan dalam kota ke ukuran lebih besar, misalnya sisi luar kereta bawah tanah. Menggunakan tipografi dan gambar ikon yang lebih rumit. Ada yang sampai menutupi seluruh sisi bangunan bertingkat, bahkan menutupi papan iklan billboard di jalanan.
Seniman yang diwawancarai rata-rata menggunakan identitas anonim untuk melindungi diri mereka. Di antaranya TAKI 183, Shepard Fairey, Os Gemeos, Tracy 168, dan banyak lagi. Memang, selama ini graffiti masih menjadi perdebatan, antara sebuah seni atau vandalisme. Terlepas dari itu, Jon Reiss lewat komentar seorang pengamat di salah satu adegan dalam Bomb It ingin menyampaikan bahwa manusia telah menulis di dinding sejak zaman prasejarah.
Komunitas Tanahindie memilih Bomb It sebagai salah satu tontonan pada bioskop Dewi Bulan untuk edisi Mei. Diputar dengan membentangakan layar di pekarangan Kampung Buku, Kompleks CV Dewi, jalan Abdullah Daeng Sirua, Kamis (15/5) malam pekan lalu. Di bawah purnama, tiga puluhan orang menyimak. Duduk melantai, jongkok, juga berdiri. Sambil mengunyah kacang goreng dan menyesap kopi yang diseduh sendiri-sendiri.
Pemutaran film itu kemudian memicu obrolan di antara sesama penonton. Bukan soal teknis film. Tapi seputar denyut aktivitas graffiti di dalam kota Makassar. Mereka saling bertukar pikiran. Sesuatu yang disengaja. Tanahindie memang memaksudkan bioskop Dewi Bulan demikian. “Film tidaklah penting. Yang utama bagaimana interaksi di depan layar. Bukan mengupas yang di belakang layar,” kata penggiat Tanahindie, Anwar Jimpe Rahman, usai nonton bareng.
Malam itu Jimpe mengundang Darmadi, pemuda lulusan Universitas Hasanuddin. Ia dianggap tahu banyak soal graffiti. Ia lulus di kampus setelah menyelesaikan penelitian dan skripsi tentang seni coretan semprot itu. Sehingga, dia bisa jadi penghubung obrolan antara penonton lainnya. Film yang diputar juga jadi salah satu tontonan favoritnya. “Saya beberapa kali menonton film ini. Dan beberapa kali juga saya menemukan hal yang baru setelah menontonnya,” kata Madi membuka percakapan.
Madi sepakat dengan komentar seorang pengamat di film yang menganggap graffiti telah berkembang sejak zaman pra sejarah. Awal mulanya ketika manusia masih tinggal di gua, dan meninggalkan jejak berupa tanda telapak tangan. Beberapa orang telah membuktikan fakta itu dengan berbagai penelitan ilmiah. “Banyak situs purbakala yang menandai fenomena itu,” ujarnya.
“Sepanjang sejarah dunia, graffiti selalu ada. Cuma fungsinya yang berubah-ubah. Berevolusi. Awalnya manusia menggunakannya untuk memberi tanda aktivitas dan tempat tinggal mereka. Sekarang graffiti bisa dilihat dengan banyak sudut pandang,” ia menjelaskannya panjang lebar, serta beberapa kali terlibat tanya jawab dengan sesama penonton.
Umumnya, Madi mengatakan, graffiti adalah coretan di dinding datar. Pada dasarnya merupakan sebuah upaya perlawanan. Lewat coretan di dinding atau ruang publik, pembuatnya bisa melawan apa saja. Entah itu sebagai kritik kebijakan pemerintah, atau sekadar penyadaran akan sesuatu yang sedang berlangsung di masyarakat. “Sebuah resistensi masyarakat terhadap kekuatan dominan, dan pasti ada di setiap kota-kota besar,” ia menambahkan.
Obrolan juga menyinggung Bansky, penggiat graffiti anonnim asal Inggris. Pria itu merupakan salah satu tokoh panutan dalam dunia graffiti. Coretan-coretannya nyeleneh dan beda dengan graffiti umumnya. Bansky, misalnya, pernah mencoret dinding beberapa kilometer hanya dengan bentuk garis panjang. “Sederhana, tapi bagi orang itu memang mengganggu. Bagaimana susahnya membersihkannya,” kata Madi.
Seorang penonton yang juga aktif melakukan coret-coret di dinding kota Makassar, turut mengutarakan pemikirannya tentang graffiti. Lelaki itu menganggap unsur perlawanan pada graffiti perlahan memudar. Ia mencontohkan fenomena di Yogyakarta, di mana pemerintah menyediakan tempat –biasanya dinding- bagi seniman untuk bebas berkreasi dengan cat semprot. “Padahal justru graffiti lebih menantang jika dilakukan dengan sembunyi-sembunyi.”
Pada Dewi Bulan edisi Mei, Tanahindie memutar tiga film. Dua film lainnya berdurasi pendek di bawah lima menit. Karya Irwanto Hamid, anggota Liga Film Mahasiswa Unhas. Masing-masing berjudul Reuni dan Seed. Irwanto juga sempat berbagi pengetahuannya tentang dinamika perfilman di Makassar khususnya di kalangan mahasiswa.
Dewi Bulan awalnya merupakan program gerobak bioskop yang dikenalkan komunitas Tanahindie dan ruangrupa (Jakarta) sejak April 2011. Awalnya merupakan gerakan nasional di sepuluh kota besar di Indonesia. Makassar, yang dianggap paling sukses menyelenggarakan, lalu melanjutkannya dengan nama Dewi Bulan. Edisi Mei bertepatan dengan peringatan tiga tahun.
Nama ‘Dewi’ merupakan bentuk penghormatan untuk Bioskop Dewi, representasi dari bioskop-bioskop di Makassar yang tergilar perkembangan kota. Sekaligus menandai nama kompleks tempat pemutaran film, kompleks CV Dewi. Ada pun tambahan “Bulan’, merujuk waktu pemutaran film yang selalu bertepatan dengan suasana purnama. Logonya memplesetkan logo produsen film Columbia, “untuk lucu-lucuan.”
Aneka genre dan jenis film pernah diputar di Dewi Bulan. Bagi Jimpe, film tidaklah terlalu penting. Yang paling penting adalah interaksi antara orang-orang komunitas dan lingkungan sosial terdekat. Sebagai bentuk perayaan tatap muka secara langsung. Makanya, di setiap akhir pemutaran film, selalu ada diskusi antar sesama penonton.
Kota yang sehat, kata Jimpe, adalah yang masyarakatnya sering bertatap muka. Di perkembangan Makassar yang semakin sibuk, orang-orang justru semakin sulit bertemu. Tanahindie berupaya menjadikan kota ini kembali menarik lewat berbagai agenda tatap muka, salah satunya Dewi Bulan. “Bagaimana orang bertukar gagasan, bersilaturahmi.”
Aan Pranata, Tempo Makassar, 2014
Sorry, the comment form is closed at this time.