02 Mar Merebut Ruang di ‘Kota Menor’
Pada Sabtu 17 November 2007, pukul 19.00 Wita, perupa Firman Djamil (FD) menampilkan performance art berjudul “The Death After Election” (TDAE), di halaman Komunitas Ininnawa, Jalan Perintis Kemerdekaan, Makassar. Firman menyuguhkannya sebagai penyadaran untuk warga sekitar agar bangkit mengupayakan ruang yang terasa kian sempit bagi warga. Sepekan kemudian, Panyingkul! (www.panyingkul.com) memberi ruang untuk liputan peristiwa ini.
Firman mendahului peristiwa ini dengan menggantung dua bilah bambu, tempat mencantol tiga tanda peringatan bagi pengendara yang terpasang di kiri dan kanan ruas Jalan Perintis Kemerdekaan. Rambu yang terpasang itu sempat digunakan para penyeberang jalan bila ingin menyeberang (meski kini sudah tidak ada). Lajur jalan itu memang tak membuat warga sekitar merasa aman menyeberang, meski ketika itu Pemerintah Makassar melebarkan jalan itu sampai dua puluh meter.
Bagi warga Makassar, jalan benar-benar tak pernah menjadi ruang gerak leluasa. Para pejalan kaki dan penunggang sepeda tak pernah melenggang aman dan terus memancang cemas kalau bergerak di kota ini. Kaum ‘fakir ruang’, para warga, selalu kalah berebut tempat dengan para pengendara kendaraan yang lebih besar. Pengelola jalan (pemerintah) pun tidak menyediakan jalur khusus untuk mereka.
Ruang publik tidak melulu soal ruang gerak warga. Ruang publik juga berarti ruang yang menyediakan hal-hal alami seperti penghasil oksigen bagi penghuni kota. Karena itu, alangkah tak wajarnya kota ini ketika rumah toko (ruko) dan bangunan ganjil lainnya mematut diri di ruang dan lahan yang harusnya berisi tumbuhan, bukan beton.
Menjelang pemasangan rambu itu, Firman bersama Ika dan Bram, dua mahasiswa Universitas Muslim Indonesia (UMI) menjinjing dupa berapi. Mereka menyeberang jalan di Sabtu malam itu dengan langkah lambat. Ketiganya mungkin menikmati amannya ruas jalan besar itu.
Warga sekitar bergabung dengan panitia ikut membantu mengatur lalu-lintas untuk momen tiga menit tersebut. Hasil perbincangan saya dengan Firman semalam menjelang peristiwa itu, memang ruang-ruang yang melompong inilah yang hendaknya warga rebut. Tak sesaat pun jalan tersebut kosong seperti itu. Para supir angkutan pun maklum; mereka menepikan kendaraan. Pengendara motor ambil tempat, ikut menonton seperti warga sekitar. Sebelum perbincangan ini, terjadi tiga pengendara menabrak penyeberang jalan di titik ini. Dan hanya dalam dua minggu!
Firman dan dua rekannya memasang celemek yang tersampir di sandaran kursi. Mereka mundur. Pelan sekali. Satu. Dua. Tiga. Empat langkah. Mereka berbalik. Sebuah godam tergeletak di belakang mereka. Mereka mengambil godam bersamaan. Eksekusi dilakukan. Godam diayun ke dupa. Hancur berkeping-keping. Apinya ke mana-mana. Lalu giliran kursi—yang dibungkus poster, stiker, dan segala pernik kampanye pilkada yang baru saja lewat—dihantam palu besar. Lumat!
Panitia dengan bantuan warga segera mengumpulkan bangkai-bangkai kursi. Mereka menyiramnya dengan minyak tanah. Tak lama kayu jadi arang. Seorang panitia segera membawa masuk beberapa ekor ikan laut ke tengah kerumunan untuk dibakar. Sekitar setengah jam kemudian, para warga, pemain, dan panitia berbaur makan bersama di Kafe Ininnawa.
Makan bersama itu bukanlah sekadar jamuan makan malam biasa. Itu masih bagian dari performance. “Spirit sebuah performance outdoor adalah melibatkan orang-orang biasa sebanyaknya dalam sebuah pertunjukan, seperti makan-makan ini,” terang Firman.
Demi Ruang Sempit Bilik Suara
Segala objek maupun subjek di atas tampil sebagai fenomena bersusulan. Semua asal-usul dan hikayatnya bisa dilacak. Dimulai ketika setiap warga juga mendapat ruang lebih dalam bilik suara. Mereka memilih langsung kepala daerah. Semua itu karena gelombang wacana otonomi daerah. Orde Baru yang memusatkan perhatian pada Jawa, terpukul oleh arus sungsang ‘desentralisasi’.
Ruang-ruang aktualisasi ‘orang-orang daerah’ pun muncul. Para ‘bakal calon kepala daerah’ sibuk menawarkan program mereka lewat bentangan spanduk di tempat strategis. Spanduk-spanduk tawaran mereka untuk warga bermunculan di jalan raya dan tempat umum lain selama 19 Oktober-1 November 2007. Kebijakan pemerintahan setiap daerah mengagungkan pembangunan fisik telah menelan tingkat kenyamanan hidup warga. Lalu di mana lagi tersedia ruang bagi warganya?
Firman, bersama tim kerjanya, mengumpulkan spanduk-spanduk yang tak terpakai itu. Meski mengkhawatirkan akan kemarahan pendukung dan tim kerja ketiga pasangan calon gubernur, mereka bersikukuh pada asumsi, “Itu sudah milik kita bersama. Karena (atribut kampanye) itulah yang mereka tawarkan ke kita semua. Jadi kita berhak memilikinya,” kilah Firman ketika itu.
Perebutan Ruangbaca
Di awal 2000, sekelompok anak muda, yang mengusung ‘niat baik’, menamai diri mereka sebagai Komunitas Ininnawa. Ininnawa adalah bahasa Bugis yang berarti ‘niat baik’, ‘harapan’, atau ‘cita-cita’. Dengan kenekatan yang ajaib, mereka membangun perpustakaan dan menerbitkan buku yang merisalahkan kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan.
Ininnawa percaya, menyediakan ruang dan kesempatan yang lapang bagi warga mengakses bacaan-bacaan tentang diri mereka, adalah sebuah kerja yang patut dilakukan. Setidaknya, perubahan pola pikir tentang masalah apapun selalu berhulu pada bacaan. Pelan-pelan, ruang bernama Ininnawa menjadi ruang alternatif bagi proses pertukaran pikiran dan pengalaman berbagai kalangan.
Lima tahun setelah berdirinya Ininnawa, komunitas ini menerbitkan buku “Makassar Nol Kilometer”. Buku hasil kerja kolaborasi Ininnawa, Media Kajian Sulawesi, dan Tanahindie itu mencatat tema-tema renik dan ‘biasa’ yang ada di sekitar mereka, seperti ragam makanan, ruang-ruang publik, juga peristiwa singkat berulang yang warga alami. Buku yang kemudian mendapat sambutan hangat dari banyak kalangan itu seperti memberi tanda, setidaknya di Makassar, gelombang perebutan ruangbaca terjadi. Betapa warga selama ini menjadi pemamah tema buku-buku yang begitu berjarak dari ‘diri’ mereka. Warga selalu ingin melihat diri mereka sendiri.
Ruang Maya dan Ruang Keluarga
Dua hari setelah Firman menampilkan TDAE di paruh akhir tahun 2007 itu, Panyingkul! (www.panyingkul.com) memberitakan performance ini. Panyingkul! merupakan portal berita jurnalisme warga yang meletakkan Makassar sebagai episentrum. Berseberangan dengan media konvensional yang menjadikan Jakarta sebagai titik tolak; hal yang menjadikan Makassar layaknya seorang manusia paling menor. Televisi, kotak ajaib di ruang keluarga itu, bersalin bentuk jadi tukang rias. Si tukang rias cuma punya dua modal kerja: demonstrasi dan kerusuhan. Di kedua tangan sang perias yang tak pernah tidur itu, demonstrasi dan kerusuhan berubah jadi pelembab dan pupur yang ditabur tebal ke wajah tiga juta jiwa yang menetap di kota ini.
Inti dari semua: setiap warga berkuasa atas cerita dari pengalaman bergulatnya dengan entitas lain di lingkungan tempatnya berhirup udara. Di sini, di situs ini, warga menyediakan tempat bagi diri mereka sendiri, baik menjadi subjek maupun objek.
Semangat serupa yang ditulis oleh Bertolt Brecht [1898-1956] dalam ‘Pertanyaan Seorang Buruh yang Membaca’, “Pada setiap halaman tercatat satu kemenangan. Siapakah yang memasak untuk pesta kemenangan?”
Memang, tak ada jalan, pungkas Firman, kecuali warga mengupayakan sendiri ruang bagi diri mereka. (Anwar Jimpe Rachman)
Catatan: Versi lebih singkat tulisan ini pernah dimuat di Jarakpandang, terbitan khusus 10 Tahun ruangrupa.
Catatan: Versi lebih singkat tulisan ini pernah dimuat di Jarakpandang, terbitan khusus 10 Tahun ruangrupa.
No Comments