tanahindie | Pelras, I La Galigo, dan Bugis
313
post-template-default,single,single-post,postid-313,single-format-standard,ajax_fade,page_not_loaded,,qode-title-hidden,qode-content-sidebar-responsive,qode-theme-ver-10.0,wpb-js-composer js-comp-ver-4.12,vc_responsive

Pelras, I La Galigo, dan Bugis

Bagaimana batas dan seberapa jauh jarak antara ’fakta’ dan ’fiksi’? Bagaimana memperlakukan keduanya? Pertanyaan yang berkisar antara kedua itu memang kerap menjadi bahan debat ketika dunia sastra berhadapan dengan ilmu sosial lainnya, semisal antropologi. Namun pertanyaan itu telah dijawab dengan sangat baik oleh Christian Pelras lewat Manusia Bugis [Penerbit Nalar, 2006], buah penelitiannya selama 40 tahun lebih di jazirah selatan Pulau Sulawesi. 

Bagi Pelras, I La Galigo sebagai fiksi, adalah sumur inspirasi penelitian yang tak akan kering. Karena itu, meski ditentang keras oleh peneliti tentang Sulawesi Selatan lainnya seperti Ian Caldwell dan si penulis Warisan Arung Palakka (Ininnawa, 2004) itu, Leonard Andaya, ia tetap menjadikan kitab Bugis itu menjadi panduan dalam penelitian terhadap suku yang selalu diidentikkan sebagai bangsa pelaut ulung itu, terutama pada periode-periode Bugis Awal. 

Ia mafhum benar kalau teks I La Galigo sarat unsur-unsur mitologis dan bumbu lainnya sebagaimana galibnya sebuah karya epos dan harus digunakan penuh cermat. Tapi di satu sisi, ia pun yakin benar kalau jalan yang ditempuhnya tidaklah salah. Latar cerita La Galigo bukanlah negeri khayalan. Tempat yang digambarkan dalam teks tersebut justru mengacu pada lingkungan geografis yang dapat diketahui oleh pendengar pertama cerita dari pengalaman langsung mereka, begitu kilahnya, dalam halaman 55. Tempat yang dimaksudnya itu adalah Luwu, Wotu, Baebunta, Larompong, Tempe, Soppeng, Lamuru, Sidenreng, Suppa, Sawitto, dan Maru’/Maros (hal 59). 

Penggunaan teks I La Galigo sebagai sumber penelitiannya tak lepas dari kurangnya bukti mengenai peradaban masyarakat Bugis pada periode awalnya. Padahal, karya sastra besar itu benar-benar dapat memberi gambaran mengenai pandangan orang Bugis terhadap masa lalu mereka yang mungkin didasarkan atas fakta yang benar (hal 54). Bahkan secara khusus, periode kedua Bugis, yang berada dalam kisaran abad ke-11 hingga ke-13 itu, disebut oleh antropolog Universitas Sorbonne Paris itu sebagai ‘periode La Galigo’. Periode ini diyakininya sebagai periode keemasan yang berkaitan dengan ekspansi perdagangan antarpulau dan internasional, yang menyebabkan lahirnya berbagai kerajaan seperti Luwu, Cina, dan Soppeng serta Suppa’ (hal.395). 

Perlakuan Pelras terhadap I La Galigo sebenarnya hal yang lumrah dan sudah secara umum diterima dalam dunia antropologi. Kris Budiman dalam Bila(-kah) Antropologi dan Sastra Bertemu [1999] menyebut, dalam kasus masyarakat-masyarakat melek huruf, ahli-ahli antropologi beralih ke sumber-sumber tertulis seperti berita-berita di surat kabar atau karya-karya sastra.Karena sastra, baik lisan maupun tulis, kata Heddy Shri Ahimsa-Putra [1999], dapat diperlakukan sebagai ”pintu masuk” untuk memahami kebudayaan itu sendiri. 

Salah satu pendekatan yang memungkinkan dipakai untuk itu adalah pendekatan strukturalisme Levi-Strauss. Pendekatan ini menyebut fenomena kebudayaan pada dasarnya serupa fenomena linguistik, yang merupakan fenomena simbolik yang lahir untuk dan dari kebutuhan manusia untuk melakukan komunikasi, untuk bertukar pesan (Ahimsa: 1999). 

Pelras dengan I La Galigo di tangan, membedah masyarakat Bugis berikut pelurusan berbagai identitas yang kepalang dilekatkan ke mereka. Sebutlah sanggahan yang paling mengemparkan kesejarahan Sulawesi Selatan, ketika lelaki sepuh itu menyebut nenek moyang Bugis bukanlah pelaut seperti yang berkembang selama ini. Nenek moyang suku yang berkembang menjadi sekitar 4 juta jiwa itu justru pedagang, meski lantaran perkembangan perekonomian dunia telah membawa mereka berlayar sampai ke belahan dunia yang lain, yang kemudian memberi kesempatan dan andil manusia-manusia Bugis dalam pendirian negara yang kini dikenal dengan nama Singapura.Demikian pula ketika ditemukannya bahwa, jenis kelamin ketiga (calabai; lelaki yang berkelakuan serupa perempuan) dan keempat (calalai; perempuan yang berlaku bagai lelaki tulen) tetap mendapat tempat setara dengan laki-laki dan perempuan di dalam strata masyarakat Bugis.Temuan-temuan yang, bisa jadi, membuat masyarakat Bugis kontemporer berbangga diri itu tak lepas dari kitab I La Galigo sebagai hasil dari tradisi tulis yang berkembang begitu pesat dalam masyarakat Bugis. Bahkan setelah ’periode I La Galigo’ berlalu, tradisi tulis dalam bentuk catatan harian terus berlanjut, terutama di kerajaan-kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan. 

Catatan harian itu tidak memuat masalah pribadi melainkan mencatat kejadian-kejadian sosial yang penting. Kebiasaan menulis catatan itu ”agaknya hanya ada di Sulawesi Selatan dan orang yang telah mengalami pengaruh kultural itu. Kita tidak pernah mendengar jenis kesusastraan ini di wilayah kebudayaan Jawa maupun Melayu” (Noorduyn 1965:143).]

 Kekuatan sekaligus kelemahan buku setebal 449 halaman itu tak lain karena begitu ensiklopedik. Memang kita akan dihantar masuk dunia manusia Bugis seutuhnya, lengkap perangkat budaya yang mereka hasilkan, seperti rumah panggung, kerajinan, serta benda budaya lainnya. Hanya saja di lain sisi, karena kepalang melakukan inventarisasi budaya yang ada dalam dunia Bugis, Pelras pun akhirnya hanya memaparkan hal-hal yang normatif dan begitu banyak ’mengumbar’ kejayaan manusia Bugis di saat lampau saja. Sehingga pertanyaan tentang bagaimana manusia Bugis kontemporer adalah pekerjaan rumah yang ditinggalkan lelaki dari Prancis ini. 

Dengan mengemukakan begitu banyak kejayaan orang Bugis di masa lalu, bukan tak mungkin sifat megalomania (poji ale atau memuji dan berbangga diri) orang Bugis makin berkembang saja lantaran paparan Pelras itu. Fenomena ini dapat terlihat jelas pada penampilan orang-orang Bugis ketika ke pesta atau keramaian yang mengenakan begitu banyak perhiasan (emas) di sekujur tangan dan lengan mereka. 

Tapi selain itu, dengan buku ini pula, Pelras seakan ingin menegaskan bahwa karya sastra, di mana pun ia berada dan dilahirkan, terus menimbulkan persilangan, gumul, juga senggama, antara fakta dan fiksi, tentang bangsa-masyarakat di sebuah zaman. Hasil gumul itulah kelak yang memancarkan spektrum yang melahirkan warna-warna tafsir tentang kelahiran sebuah masyarakat, bagi generasi berikutnya, ketika sumber lain tak dapat menjelaskannya.Dan I La Galigo, setelah memesona ribuan pasang mata karena keelokannya di panggung sejumlah negara, kali ini kembali menyita perhatian karena melahirkan anak yang rupawan. Manusia Bugis namanya.

2 Comments
  • daengrusle
    Posted at 07:40h, 13 November Balas

    ketiadaan sumber-sumber sejarah ttg periode awal kebudayaan bugis memungkinkan para sejarawan berpaling kepada karya sastra di jaman itu. tentu saja sangat subyektif, namun setidaknya bisa dijadikan bahan acuan untuk beberapa hal tertentu, terutama tokoh dan tempat yang menjadi pijakan para sejarawan memulai meneliti.

    terimakasih utk sharenya

  • F. Daus AR
    Posted at 12:32h, 16 November Balas

    Kenapa buku The Bugis tidak diterbitkan lagi,,,sya belum baca langsung

Post A Comment