29 Okt Sepekan setelah Dewi Bulan
Malam minggu itu, Liverpool main pukul 22.00. Saya mendapat pesan seluler dari Bram, seorang kawan lama, kalau dia sudah di Warung Kopi 88. Warkop ini kira-kira 200 meter dari rumah saya di Kompleks CV Dewi.
“Ayo ke warkop, di sana kita nonton sekalian,” ajak saya pada Madi agar meninggalkan ruang nonton rumah saya. Madi meninggalkan pertandingan Manchester City versus Everton.
Darmadi adalah penggemar Liverpool. Gemarnya sudah sampai akut. Pada pagi kunjungannya ke Kampung Buku, Madi–panggilan akrab saya mengikuti kawan dan sahabatnya–sudah mengenakan baju merah berlambang klub bola asal kota Beatles itu.
“Orijin nih!” kata Madi, unjukkan label monogram di bagian dalam baju merah cerahnya.
“Siapa yang kasih?” tanya saya, senyum-senyum.
“Ada teman dari Jakarta.”
Baju itu mungkin basah dan bau. Pagi sampai siang, Madi membantu saya membersihkan rumah dan memperbaiki beberapa bagiannya. Sorenya dia pamit karena janjian dengan seorang kawannya di Tamalanrea.
Saya menyesal juga memanggil Madi ke Warkop 88 dengan janji ‘sekalian menonton’. Tidak ada bentangan layar besar yang biasanya ada bila saya berkunjung ke sana. Mungkin malam tertentu saja pengelola warkop ini memasangnya.
Di sebuah meja, Bram dan dua kawannya sudah menunggu. Bram, sampai kini saya tidak tahu nama lengkapnya. Dia kawan lama yang saya kenal waktu membantu Firman Djamil mempersiapkan perfomance artThe Death After Election, 2007 lalu. Firman Djamil, Bram, dan seorang perempuan bernama Ika mengusung dupa di kepala mereka dan menyeberang Jalan Perintis Kemerdekaan, tepat depan bekas markas Komunitas Ininnawa.
Bram kini menempuh pendidikan magister hukum. Mungkin di Universitas Muslim Indonesia, tempat ia menyelesaikan strata satunya sekaligus tempatnya aktif berteater. Dia sekarang aktif di LBH Makassar. Namun dia tidak ingin ketinggalan isu dunia seni. Untuk itu pula kami janjian, sepekan setelah Gerobak Bioskop Dewi Bulan.
Dalam perbincangan kami di Dewi Bulan, Bram ingin sekali mendengar dan berbagi perihal ruang publik, tema usungan yang kami alami ketika performance art di halaman Komunitas Ininnawa empat tahun lalu.
Pada awal perbincangan kami, Darmadi mewanti-wanti akan minggat untuk menonton Liverpool main sejam lagi. Perbincangan kami lanjutkan.
Kami awalnya berlima saja. Bondan lalu datang. Beberapa saat kemudian Aswin, mahasiswa program magister Ilmu Hubungan Internasional Gadjah Mada Yogyakarta bergabung. Sebelum pertemuan itu, saya memang mengajaknya via sms untuk nimbrung bertukar pendapat tentang ruang publik, topik yang ingin ia jadikan fokus penelitian. Tak saya sangka, Aswin rupanya mengajak juga teman yang lain, Endriadi, seorang dosen luar biasa di HI Unhas. Empat meja kecil Warkop 88 pun kami dempetkan, sebab muncul juga beberapa teman yang lain, seperti Wandi (aktif di AcSI), Arif (teman yang baru datang dari Jakarta), juga Iccang, dan beberapa teman yang hanya duduk di luar untuk keperluan lain.
Bram dan saya mulanya berbasa-basi tentang keadaan teman-teman di Tanahindie, yang setiap bulan mendorong Dewi Bulan. Begitu juga Bram; mengabarkan kesibukannya pasca-performance art dengan Firman Djamil. Kami memang nyaris tidak pernah saling berkabar. Ada dua hal yang mempertemukan percakapan saya dengan Bram, yakni Firman Djamil dan ruang publik.
Basa-basi itu lalu jadi poin masuk kami dalam perbincangan. Dan selanjutnya bergiliran kami memberi tanggapan, membuat anggapan, dan menyebar kesan-kesan tentang pemahaman kami satu-satu soal ruang publik.
“Tapi maaf, kalau Liverpool sudah main, saya harus menyingkir,” ujar Madi, memohon izin lebih dulu.
Kata Endri, persoalan ruang publik awalnya hanya ekonomi. Contoh, bagaimana pabrik dibangun di dekat jalan agar leluasa menuju pelabuhan. Bila terjadi macet atau kerusuhan, maka kekuatan-kekuatan politis dikerahkan demi melancarkan segala yang berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi.
Dalam dunia yang lebih senyap, dunia graffiti, Madi mengungkap bahwa perlawanan-perlawanan selalu terjadi di ruang publik. karena, intinya, ruang publik menjadi tempat membuat opini publik. Jika ada kekuatan yang dominan, masyarakat selalu melakukan resistensi. Salah satu jalan dengan melakukan coretan di banyak tempat, sekadar menyampaikan penyadaran bahwa sesuatu hal sedang berlangsung dalam hidup kita (masyarakat).
Saya memberi klarifikasi mengapa peristiwa seni menjadi pintu masuk obrolan ini. Seni kerap menjadi ‘tameng’ yang ampuh untuk mengajak warga berpartisipasi (baik secara sukarela ataupun tidak sadar masuk) dalam sebuah upaya pengklaiman ruang yang sebenarnya diperuntukkan untuk semua orang.
Obrolan hari itu berakhir sekisar pukul 23.00. Saya perkirakan, Liverpool sudah istirahat dan masuk babak kedua. Setengah jam kemudian saya pulang karena desakan satu hal. Namun Madi tidak beranjak. Mungkin dia lupa kalau mau menonton. Dia bahkan masih tinggal mengobrol dengan Bram dan kawan-kawan
No Comments