01 Feb Serba Gratis di Dunia Komputer
LINUX bukanlah sesuatu yang baru dalam perjumpaan perdanaku pada tahun 2007. Geliat dunia open source sudah berjalan dalam dunia komputer, mungkin, sejak dasawarsa 1970-an. Semangatnya mewakilli ‘anti’ terhadap kemapanan yang dibangun oleh sistem operasi semisal Windows.
Ada tiga hal mendasar utama perbedaan Linux dan Windows. Pertama, terkait dengan lisensi, Linux pemenangnya. Kita leluasa memasukkan sistem operasi (operating system—OS) ini ke komputer. Windows lain. Sistem operasi yang dikembangkan Bill Gates dan kawan-kawannya mengharuskan kita membeli lisensi dalam bentuk cakram padat berisi program asli. Bukan rahasia lagi kalau program Windows yang dipakai di Indonesia adalah produk bajakan. Kedua, saat membeli produk asli program berlogo jendela ini pun kita tidak bisa lagi memutakhirkan (update) program yang sudah masuk. Sebenarnya sih bisa, tapi harus bayar! Ketiga, tak ada virus dalam kamus Linux—hal yang tentu berbeda dengan Windows.
Akhir tahun 2007, aku mulai menggunakan Ubuntu GNU/Linux 7.0 pada sebuah PC di kantor sekaligus rumah tempatku tinggal. Saat itu, aku mencoba menginstal Ubuntu pada salah satu PC yang paling sering kugunakan. PC itu sebenarnya adalah inventaris kantor, tetapi hanya aku yang menggunakannya. Bosku memberikan PC tersebut khusus sebagai media eksperimenku, untuk hardware maupun kejahatan internet.
Aku memperoleh disk instalasi Ubuntu dari seorang teman yang memesannya langsung ke kantor pusat Ubuntu di Belanda. Nama perusahaan pengembang Ubuntu adalah Canonical Incorporation. Ubuntu merupakan sistem operasi komputer dengan inti program berbasis Debian sehingga paket source-nya adalah aptitude deb. (sejenis paket sistem operasi) untuk instalasinya. Ubuntu merupakan sistem operasi GNU/Linux gratis untuk siapa saja. Saya kadang heran jika mendapati orang yang menjualnya. Setahuku, untuk memperoleh CD instalasi Ubuntu sangatlah mudah dan tanpa biaya sama sekali. Cukup dengan memesannya online ke markas Ubuntu di Belanda. Ubuntu bisa diperoleh tanpa harus memikirkan biaya pengirimannya karena semua gratis.
Awal menginstal Ubuntu memang berhasil, tetapi terdapat beberapa bagian dari komponen sistem operasi yang belum berfungsi seperti sound card. Saat itu, sepertinya aku ‘menabrak tembok’. Mencari jawaban di internet tak banyak membantu. Sementara menemukan orang yang mengerti Linux di pergaulanku sepertinya bukan pilihan.
Akhir tahun 2008, laptop rongsokanku yang bermerek dagang Acer Travelmate 380TCi mulai dijelali dengan OS Debian GNU/Linux versi 5.0. Saat itu, aku begitu senang karena laptopku tidak bisa berfungsi dengan operating system berlogo jendela. Debian Lenny menyelamatkannya. Meski Debian yang kugunakan saat itu versi rilis Sid yang berarti ‘belum stabil’, tetapi berkat bimbingan seorang kawan perasaanku selalu stabil menggunakannya.
Saat itu, jaringan internet di kampus Universitas Hasanuddin terbuka, kendati baru di fakultas tertentu. Beberapa kawan dan kenalan lama ternyata sudah belajar Linux sebelumnya. Mereka giat, tidak seperti diriku yang lebih tertarik pada pewacanaan free software open source. Aku selalu kepayahan belajar software-nya. Kami sering menghabiskan malam di kampus untuk aktivitas online sembari belajar Linux.
DEBIAN adalah salah satu operating system berbasis pada GNU/ Linux. Pengembang Debian sendiri bernama Ian Murdoch. Ian menamai GNU/Linux yang dikembangkannya dari kombinasi namanya sendiri dengan sang kekasih, Debra Lynn, yang disingkat Debian. Debian dikenal sebagai OS gratis yang stabil dan merupakan inti Linux yang dipakai puluhan OS linux lainnya, seperti Ubuntu dan Linux Mint.
Sejak Debian GNU/Linux 4.0, Linux mulai menggunakan nama rilis dengan mengambil nama tokoh dalam film Toy World. Contoh: versi rilis Debian 4.0 bernama ‘Etch’, versi 5.0 lebih akrab disebut ‘Lenny’, versi 6.0 beralias ‘Squeeze’, dan rencananya, versi 7.0, bakal dinamai ‘Wheezy’. Adapun nama kode tidak stabil dari debian untuk semua versi tidak stabilnya adalah Sid, tokoh dalam Toy World yang berperangai suka merusak mainan.
GNU sendiri merupakan microkernel (inti dari kernel, sejenis bahasa mesin) yang dikembangkan oleh Richard Stalmann, sosok yang lebih dikenal saat ini sebagai bapak Free Software Foundation (FSF). GNU adalah kependekan dari ‘Gnu is Not Unix’, sebuah akronim yang memusingkanku. Debian adalah Linux dengan microkernel non Unix yaitu GNU, makanya namanya adalah Debian GNU/Linux.
Perkenalan dengan LUGU
Awal tahun 2009, wabah facebook.com melanda Makassar. Dunia kampus yang selalu merepresentasi kuasa budaya kelas menengah menjadi garda depan pemakai situs jejaring sosial itu. Seakan jika tidak memiliki akun facebook, Anda dianggap berasal dari planet lain. Kadang pun perbincangan offline masih juga tentang facebook. Facebook hadir seperti ikon pembeda, menciptakan lokus-lokus baru di dalam kelas menengah. Facebook seakan menjadi penanda yang up to date dengan yang tidak, yang gaul dengan yang tidak, yang berpikiran terbuka dengan yang tidak, sampai yang ‘kota’ dengan ‘desa/kampung’.
Aku membuka akun facebook sekitar tahun 2007 akibat persuasi seorang sahabat. Bukannya menyesal, aku memiliki cerita sendiri bagaimana ber-facebook pada tahun itu. Di kota ini, hanya ada beberapa orang yang berhasil kudapatkan, itupun sebagian besar telah kukenal. Facebook awal di Makassar setidaknya berada dalam satu lingkaran pertemanan yang sama. Setelahnya, silakan berteman lintas negara.
Banyak hal menarik di facebook bagiku saat itu. Terdapat beberapa game yang membuat kecanduan. Keranjinganku ber-facebook menciptakan pola hidup yang aneh sendiri untuk dijalani. Jaringan internet gratis kampus turut mendukung. Begadang satu dua malam atau lebih atas nama kesenangan mungkin sesuatu yang konyol. Belakangan, di akhir tahun 2008, aku menutup akun facebookku.
Aktivitas facebook mengantarku berjumpa tatap muka (offline) dengan beberapa kawan yang juga kadang online malam hari di kampus. Beberapa dari mereka selalu bercerita tentang Linux dan tetek-bengeknya. Jelas saja aku tertarik dengan pembicaraan itu, mengingat selama ini aku belum benar-benar bisa dikatakan berhasil menginstal OS Linux untuk kugunakan.
Awalnya, perkenalanku dengan LUGU (Linux User Group Ujungpandang) lewat salah seorang teman karib yang lebih duluan tergabung. Aku menggunakan sistem operasi Linux juga dari bimbingannya. Saat itu, temanku itu dikenal di pergaulan sebagai pengguna Debian setia. Kadang hal semacam itu menjadi guyonan yang menghidupkan kebekuan suasana online malam-malam gelap di belantara kampus Unhas. Banyak cerita yang kami hembuskan membendung angin malam, termasuk kisah Richard Stalmann, penemu GNU dan bapak Free Software Foundation.
Linux, bagiku ketika itu, bukan sekadar menarik tampilan GUI-nya jika dibanding dua OS mainstream berlogo jendela dan atau apel busuk. GUI (Graphical User Interface) linux yang kukenal berbasis GNOME atau KDE memang tidak mengecewakan, apalagi bila berhasil menjalankan efek tampilan seperti Compiz atau Compiz Fuzion, nama program efek yang membungkus tampilan di komputer. Lebih dari compiz, Linux bagiku sebuah kenyataan dari beberapa teori sosial yang sedang kukonsumsi. Linux, utamanya Debian, sedang berdiri tegap gagah berani melawan kapitalisme neoliberalisme pada dunia IT. Debian bukan hadir sebagai alternatif, tetapi suatu keharusan. Saat ini seandainya aku memiliki laptop pribadi, aku pasti menggunakan single OS dan itu Debian. Di LUGU hanya ada satu atau dua orang yang kukenal menggunakan Debian. Mungkin lebih dari itu, aku lama jarang berhubungan atau sekadar berkumpul bareng teman-teman LUGU. Sebagian berpendapat bahwa menggunakan Debian untuk pengguna Linux yang sudah cerdas, sebagian lagi menganggap Debian itu ketinggalan zaman. Tapi aku menganggap revolusi itu mestinya berawal dari Debian.
Sampai sekarang, sebenarnya aku tidak pernah benar-benar berada di tengah-tengah LUGU sebagai seorang yang dikenal. Kenalanku teman-teman LUGU dulunya mereka yang senang bermain plurk.com, sejenis microblogging. Plurk menjadikanku kenal dengan teman LUGU lainnya. Plurk, yang kemungkinan besar lebih awal populer sebagai microblogging berbasis linimasa, cukup berperan mengakrabkanku banyak orang yang tertarik belajar Linux maupun yang telah hebat mengenai Linux. Mungkin bisa kukatakan bahwa, plurk cukup membantu LUGU dalam menyosialisasikan kegiatannya.
LUGU sendiri yang kutahu itu komunitas pengguna Linux Makassar. Komunitas ini tidak membatasi diri pada penggunakan OS Linux tertentu; semua Linux mungkin ada di LUGU. LUGU memiliki struktur organisasi karena, yang aku tahu, LUGU memiliki bendahara.
Pernah aku ikut beberapa kali rapat persiapan kegiatan LUGU. Dalam rapat, aku bisa bertemu dengan beberapa nama yang melegenda di Makassar sebagai ahli slackware, ahli ini dan itu. Aku selalu merasa bangga berada di sekitar mereka, walau sama sekali tidak paham Linux. Mereka menyapa siapa saja dengan ramah. Beberapa orang yang terkenal kehebatannya dalam dunia komputer, terkesan sangat santun dan tidak menonjolkan diri (low profile). Dan yang paling menarik, bahwa senior-senior di LUGU itu senang berbagi termasuk pengetahuan, tentu saja dengan caranya masing-masing.
Salah seorang dari senior di LUGU, tanpa sepengetahuannya, aku menjulukinya Sophisticated Electric male. Aku menganggap bahwa benda yang dialiri listrik, jika rusak pasti bisa ia perbaiki. Dari teknologi sederhana hingga yang supercanggih pasti bisa dia reparasi. Dia senang berbagi, apa saja yang menyenangkan. Kadang sehari di plurk dia membagikan voucher selular hingga dua atau tiga kali. Seandainya banyak orang seperti dia di Indonesia, mungkin kita tidak butuh lagi berutang ke luar negeri.
Tentu saja setiap hal selalu memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. LUGU yang kukenal masih sebatas kelebihan-kelebihannya saja, baik pergaulan maupun organisasional. Mungkin karena aku memang tidak pernah berada di tengah-tengahnya, sehingga yang kutahu masih minim. Tetapi apapun itu, menurutku, LUGU itu salah satu tempat belajar terbaik yang pernah kudapatkan. Tempat berbagi terbaik yang masih seperti itu hingga kini. Betapa tidak, beberapa kawan selalu menyambut dengan senyum hangat dan rangkulan persaudaraan yang sama jika aku memiliki masalah yang harus kubagi ke teman-teman di LUGU.
Aku hanya sedang bertanya-tanya, apakah perlu berterimakasih kepada facebook yang secara tidak langsung menjadi gerbang perkenalanku dengan LUGU? Sebuah tanya kadang tidak butuh jawaban sama sekali.[Darmadi]
Sorry, the comment form is closed at this time.