tanahindie | Shin Hyeongman dan Korea Yang Lain
176
post-template-default,single,single-post,postid-176,single-format-standard,ajax_fade,page_not_loaded,,qode-title-hidden,qode-content-sidebar-responsive,qode-theme-ver-10.0,wpb-js-composer js-comp-ver-4.12,vc_responsive

Shin Hyeongman dan Korea Yang Lain

Seluruh negara di dunia menyimpan cerita yang sama: ibu kotanya selalu lebih semarak dan ramai, secara sosial dan kultur bergerak lebih cepat, dan sikap orang-orangnya lebih berambisi tinggi. Ciri-ciri tersebut juga berlaku untuk Korea Selatan. Seoul, ibukota negara itu, menyimpan sejumlah cerita tentang hiruk pikuk sebuah ibu kota. Dari ibu kota itu kita tahu bahwa pengaruh kebudayaan Korea tersebar luas ke seluruh penjuru, termasuk merambah benua Eropa dan Amerika, dan tentunya Asia sendiri, kawasan di mana Semenanjung Korea terletak. Di antara pengaruh yang bisa disebut adalah goyang Gangnam Style dan serial drama Korea yang bisa membuat para pecandu drama kehidupan, bercucuran air matanya.

Tapi betulkah Korea Selatan hanyalah Seoul? Tentunya tidak. Negara berpenduduk sekitar 50 juta jiwa itu memiliki kota-kota lain yang menyimpan cerita berbeda dengan gemerlap dan gegap gempita Seoul. Gwangju adalah salah satunya.

Gwangju, kota terluas keenam di Korea Selatan, adalah kota penting bagi wajah negara itu saat ini. Pada era 1980-an, kota itu adalah zona pertarungan para aktivis pro-demokrasi Korea Selatan yang menginginkan perubahan penting yang sedang dikuasai oleh kelompok bersenjata: militer. Puncak dari pertarungan tersebut terjadi ketika meletusnya peristiwa 18 Mei 1980 yang dalam sejarah dikenal sebagai Gwangju Uprising. Peristiwa memilukan yang menelan korban jiwa sebanyak 241 jiwa itu diingat sampai saat ini oleh masyarakat Korea Selatan sebagai Gerakan Demokratisasi Korea. Dan tidak tanggung-tanggung, UNESCO menetapkan peristiwa 18 Mei sebagai salah satu dari 301 peristiwa dunia moderen yang masuk dalam Memory of the World Register.

Sejumlah museum, menara, buku, film, pelatihan dan konferensi menjadi bagian dari upaya memonumentasikan peristiwa tersebut demi mengingatkan warga Korea Selatan sendiri, dan juga warga dunia, bahwa peristiwa tragedi kemanusiaan telah terjadi di Gwangju, yang menyebabkan 241 manusia kehilangan hak untuk hidup lebih lama.

Lalu bagaimana Gwangju sekarang? Sebagaimana kota lain di Korea Selatan, Gwangju pada dasarnya tidak ingin ketinggalan dalam menikmati gross domestic product sebesar $ 1,130 trilyun dengan tingkat inflasi hanya 1,1 % negara gingsen itu. Sejumlah proyek raksasa dicanangkan, termasuk di bidang seni dan budaya. Salah satunya adalah proyek ambisius Asian Cultural Centre (ACC), sebuah mega-proyek yang ingin meraup semua praktek seni di Asia: dari yang tradisional sampai yang kontemporer. Lokasi ACC terletak sangat dekat dari titik pusat peristiwa 18 Mei.

Di tengah proyek-proyek raksasa dan monumen-monumen yang memelihara ingatan akan peristiwa 18 Mei, Gwangju memiliki pasar tradisional, Daein, terletak tidak jauh dari kompeks ACC dan May 18 Memorial Park. Pasar tradisional ini sengaja dipertahankan karena menyimpan narasi-narasi kecil tentang peristiwa 18 Mei, antara lain adalah cerita tentang perempuan penjual buah keliling yang dulu menjadi salah satu dari sekian banyak orang yang menyembunyikan dan memberi makan para aktivis yang diburu-buru oleh aparat bersenjata lengkap.

Di pasar tradisional ini pula sebuah proyek seni berskala menengah telah berlangsung beberapa tahun yang dimotori oleh Mite-Ugro-Zaza (Korea: makan-minum-tidur). Dengan memanfaatkan lapak-lapak pasar yang bisa disewa, sejumlah kelompok seni menjadikan pasar tersebut sebagai medan praktek seni sebagai sumber inspirasi, bukan hanya sebagai studio untuk bekerja. Shin, seniman yang sudah tinggal 3 bulan di Makassar dan menjalani program residensi di tanahindie, adalah salah satu dari puluhan seniman yang bergaul di Pasar Daein.

Jadi, tidak mengherankan jika tingkah laku Shin tampak sebagai “anak pasar tradisional” yang mudah bergaul dengan siapa saja di Makassar: dari orang yang sedang menyeberang maupun pelayan restoran makanan cepat saji. Meskipun terkendala bahasa, Shin mampu mengatatasi perbedaan kebudayaan dengan tingkah laku sebagai manusia biasa.

Shin sangat berbeda dengan sejumlah orang Korea di Indonesia yang pernah saya (atau mungkin orang lain juga) temui, yang memandang semua orang Indonesia sebagai; tenaga kerja yang bisa diperas tenaganya; konsumen setia dan tidak rasional bagi produk-produk kebudayaan populer Korea; atau orang berpengaruh yang bisa diajak untuk menggarap bisnis bernilai ratusan miliyar rupiah.

Mirwan Andan

Makassar, 31 Agustus 2014

 

 

 

No Comments

Sorry, the comment form is closed at this time.