tanahindie | Zawawi Imran di Kampung Buku
338
post-template-default,single,single-post,postid-338,single-format-standard,ajax_fade,page_not_loaded,,qode-title-hidden,qode-content-sidebar-responsive,qode-theme-ver-10.0,wpb-js-composer js-comp-ver-4.12,vc_responsive

Zawawi Imran di Kampung Buku

foto: Pepenk Sofyan

Penyair Zawawi Imran pernah mencium artis selama tiga hari sambil sembahyang. Luar biasanya karena wudhunya tidak batal sama sekali. Bagaimana bisa?


Ini berawal dari satu sesi istirahat di sebuah seminar, ketika Zawawi Imran kelimpungan mencari sajadah. Ia mau salat. Zawawi meminta bantuan panitia mencarikan tikar sembahyang. Tapi panitia belum juga menemukan. Zawawi Imran memutuskan memakai koran saja sebagai tikar sembahyang. Tak ada sajadah, koran pun jadi. Ketika Zawawi membereskan koran itu menjelang pulang, ia melihat, rupanya, selama tiga hari Zawawi bersujud tepat di wajah seorang perempuan bintang iklan sabun.


Lontaran kelakar Zawawi Imran tadi ia sampaikan dalam pengajian sastra di perpustakaan Kampung Buku, 23 November lalu. Cepat saja tawa hadirin menghambur. Acara pengajian sastra ini berniat sederhana saja: untuk membajak Zawawi yang mumpung sedang di Makassar untuk satu keperluan. Gagasan itu bermula dari Una, kawan jurnalis di sebuah media lokal, lewat dunia micro-blogging, Twitter. Gayung pun bersambut. Malam berikutnya, hadir beberapa penggiat sastra seperti Aan Mansyur, Luna Vidya, Loysye, Mappinawang bersama rombongan, dan beberapa jurnalis yang bertugas di Makassar.


Zawawi malam itu duduk di kursi. Sedang hadirin duduk bersila di serambi seraya masing-masing bersandar di jajaran rak perpustakaan Kampung Buku. Zawawi memang tidak bisa melipat kaki. Ia datang menggunakan tongkat penyanggah.


Seperti yang diperkirakan, Zawawi akan banyak mengutip kalimat mutiara dan kisah-kisah khasanah masyarakat Bugis dan Makassar. Banyak orang mengenal Zawawi penyair yang sangat ‘Bugis’ dan amat ‘Makassar’, kendati pria itu besar dan lahir di Sumenep, satu kabupaten di Pulau Madura. Salah satu buku kumpulan sajak Zawawi berjudul Berlayar di Pamor Badik.


Bagi Zawawi Imran, filsafat Bugis adalah filsafat pengalaman. Zawawi menceritakan tentang kisah La Pa’belle, anak Arung Matowa Wajo yang berkasus memerkosa seorang perawan, peristiwa yang terjadi pada satu hari pada tahun 1500-an. La Pa’belle melarikan diri ke baruga. Sesampai di sana, si anak raja mengakui perbuatannya. Masa itu umum diketahui bahwa siapa saja yang mendatangi kediaman raja menyatakan bersalah usai melakukan kejahatan, maka ia akan diampuni. Namun Aruang Matowa menegaskan, “Ia datang ke kediaman orangtuanya.”


Hukuman mati tetap dipersiapkan. Karena, “Ade’ temakkeana’ temakkeappo (hukum tak mengenal anak tak mengenal cucu) !”


Cerita tentang Arung Matowa Wajo ini ia tutup dengan membacakan selarik puisi tentang raja Wajo nan adil itu.


Bukan sekali Zawawi mengutip pepatah Bugis atau kata bijak nenek moyang Makassar dalam pengajian sastra malam itu. Zawawi berkopiah dan berbaju lengan panjang abu-abu juga menceritakan bagaimana ia memandang Jusuf Kalla sebagai representasi kerendahhatian seorang Bugis. Baginya, JK setelah menjadi wakil presiden malah tidak sungkan memanggul tanggungjawab sosial seperti jadi ketua PMI atau tim kampanye Pulau Komodo sebagai tujuh keajaiban dunia. “Banyak orang yang kalau sudah memimpin yang lebih tinggi tidak akan mengambil jabatan yang lebih rendah,” begitu alasan Zawawi.


Ada banyak pepatah Bugis dan Makassar yang meluncur dari mulut pria kelahiran 1945 silam ini.  Mengapa Bugis dan Makassar? Karena, kata Zawawi, kita diajarkan untuk mengambil yang baik-baik dari segala arah.


Namun belakangan dalam sesi dialog, Zawawi mengatakan, kebudayaan Bugis dan Makassar merupakan dua kebudayaan yang akrab dengan Sumenep, kampung halamannya. Zawawi menerangkan bahwa ada 120 pulau di Sumenep. Masyarakat keturunan Bugis dan Makassar menghuni sekisar 80-an pulau tersebut. “Kalau mengadakan pernikahan (di sana), orang Madura banyak yang ikut dengan adat Bugis dan Makassar,” terang Zawawi.


Bahkan, bagi orang Madura, kedua masyarakat penghuni jazirah selatan Sulawesi itu disebut ‘Orang Temur’. Sebutan itu, kata Zawawi mengandung dua pengertian. Pertama, orang yang berasal dari arah timur (Sulawesi) dan yang kedua, mereka berasal dari arah matahari terbit–arah kebaikan berawal.[]

No Comments

Post A Comment